Ethicaldigest

Terapi Kombinasi Pertahankan HbA1c <7%

Terapi kombinasi yang diberikan lebih dini, mampu memelihara HbA1c sehingga menurunkan risiko komplikasi pada pasien DM 2. Kombinasi metformin – glibenclamide fixed dose, memiliki keunggulan tersendiri.

Metformin masih menjadi terapi lini pertama untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2 (DM2), di berbagai guideline di banyak negara termasuk di Indonesia. “Studi Steno-2 menunjukkan, terapi diabetes tanpa obat-obatan antidiabetika yang baru dan mahal, masih bisa menurunkan insiden kematian dan kardiovaskular, selama kita mencapai target untuk segala hal yang berhubungan dengan diabetes dan komplikasinya,” ujar dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD, Ph.D dari FKUI/RSCM, Jakarta, dalam Diabetes Meeting 2019 ke-28 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Tentu, penurunannya lebih besar bila kita menargetkan intervensi multifaktor, “Dan ini mencakup metformin.”

Sejak 2008, diputuskan bahwa semua obat penurun glukosa darah menjalankan CVOT (cardiovascular outcomes trials) untuk menilai keamanannya terhadap kardiovaskular. Obat-obatan ini memiliki data, terkait kemampuannya menurunkan kejadian kardiovaskular. “Sayangnya, metformin ada sebelum era studi CVOT, sehingga tidak memiliki hasil dari studi tersebut. Namun kita bisa melihat bahwa metformin mampu menurunkan komplikasi kardiovaskular,” ungkap dr. Dicky.

Metformin tidak hanya memiliki efek an­tihiperglikemi. Metformin juga memper­baiki profil lipid darah, mengurangi infla­masi dengan menurunkan CRP dan adipo­si­tokin peradangan, memiliki efek anti­trom­bolitik, serta menurunkan risiko infark miokard.

Di Indonesia, hanya 32,1% pasien DM2 yang berhasil mencapai kontrol glikemi (HbA1c <7%). Ini berkaitan dengan rendahnya kepatuhan berobat pasien, serta pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang kita lakukan selama ini mungkin kurang agresif. Sering terjadi keterlambatan peningkatan dari monoterapi ke terapi kombinasi, membuat risiko komplikasi meningkat.

Berdasarkan penelitian Del Prato, dkk (2005) dan Stratton, dkk (2000), terapi kombinasi yang dilakukan secara dini mampu membuat pasien mencapai serta mempertahankan kontrol glikemik. “Saat pola makan dan latihan tidak lagi berhasil menurunkan HbA1c, obat antidiabetika (OAD) monoterapi harus segera dimulai,” ungkap Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD-KEMD dari RS Omni Pulomas, Jakarta. Setelah HbA1c tidak lagi berhasil diturunkan dengan monoterapi, terapi kombinasi harus segera diberikan.

Terapi kombinasi dimulai dengan dual therapy; yakni metformin ditambah satu OAD lain atau insulin basal. “Gunakan obat dengan mekanisme yang berbeda de­ngan metformin,” lanjut Prof. Sarwono. Metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa, meningkatkan penggu­naan glukosa, serta memperbaiki resis­tensi in­sulin. Maka pilihan obat kedua, misal­nya yang bekerja dengan menstimulasi se­kresi insulin, seperti sulfonylurea (SU). SU memiliki efikasi glikemik yang tinggi, ri­siko hipoglikemia rendah-sedang, serta murah.

Kombinasi metformin+SU menunjuk­kan penurunan HbA1c hingga 1,7%. Te­ra­pi kombinasi ini juga memberi manfaat po­sitif, pada resistensi insulin dan de­fisiensi sel beta. Dari sekian banyak SU, kombinasi metformin+glibenclamide menampakkan penurunan HbA1c yang signifikan (1,8%). Terapi kombinasi bisa diberikan secara terpisah, atau dengan fixed dose. Masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. “Dengan pemberian terpisah, dokter lebih leluasa untuk melakukan penyesuaian dosis. Namun dengan fixed dose, kepatuhan pasien lebih baik, karena cukup satu obat yang diminum,” terang Prof. Sarwono. Penelitian oleh Melikian C, dkk (2002) menunjukkan, angka kepatuhan pasien dengan metformin+glibenclamide fixed dose mencapai 77%, diban­ding metformin+glibenclamide terpisah (54%).

Tidak ada perbedaan bermakna antara fixed dose dan dosis bebas, terhadap perbaikan HbA1c dan kejadian hipogli­ke­mia. Adapun Bell, dkk (2013) menyebut­kan, obat kombinasi fixed dose memiliki efika­si yang lebih baik ketimbang mono­te­rapi dosis tinggi, menurunkan risiko efek samping terkait monoterapi dosis tinggi, memperbaiki kepatuhan berobat, serta biaya yang lebih terjangkau.

Pada akhirnya, memilih terapi kom­bi­nasi yang tepat harus mempertimbangkan berbagai aspek. Antara lain efektivitas dalam menurunkan glukosa darah, efek ekstra­glikemik yang bisa menurunkan komplikasi jangka panjang, keamanan, tolerabilitas, kemudahan penggunaan, serta biaya. “Pengobatan bersifat individual per pasien, dengan berbagai pertimbangan klinis dokter,” pungkas Prof. Sarwono.(nid)