Ethicaldigest

NSAID Gastropati, Patofisiologis dan Faktor Risikonya

NSAID gastropati merupakan masalah kesehatan yang harus diwaspadai. Penggunaan obat NSAID (Non Steroid Anti Inflammation Drug) makin meluas dewasa ini. Kenyataannya, dari populasi orang berusia >65 tahun, sekitar 10-20% menggunaan NSAID. “Baik itu dalam bentuk obat penghilang rasa nyeri atau jamu-jamuan,” kata Prof. dr. Aziz Rani, Sp.PD-KGEH, Guru Besar Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Indonesia.

Di sisi lain, NSAID kini mudah ditemukan secara bebas. Masyarakat dapat dengan mudah beli di toko obat atau apotik, tanpa harus menunjukkan resep dokter. Pemakaian aspirin atau kombinasinya dengan obat antiplatelet lain juga semakin luas. “Jadi cukup banyak penyebab terjadinya peningkatan kejadian NSAID gastropati,” kata Prof. Aziz.

Data di luar negeri, sebagai mana terlihat dari penelitian ARAMIS (Atritis Rheumatism dan Aging Medical Information System) memperkirakan, ada 107.000 pasien menjalani perawatan di rumah sakit per tahun, karena komplikasi gastrointestinal terkait penggunaan NSAID.

Juga ada 16.500 kematian terkait penggunaa NSAID setiap tahun, pada pasien dengan penyakit arthritis di Amerika Serikat. Biaya yang dikeluarkan secara langsung dan tidak langsung untuk mengatasi efek samping ini, lebih 7 juta dolar Amerika di Amerika.

“Survey di beberapa Negara di Asia Timur menunjukkan bervariasinya jenis NSAID yang sering digunakan,” kata Prof. Aziz. Di Indonesia, menurut survey ini, NSAID yang paling banyak digunakan adalah diclofenac. Obat lain yang juga cukup banyak digunakan adalah piroksikam. “Ini menunjukkan bervariasnya obat NSAID yang digunakan, walau pada dasarnya efek yang dihasilkan cukup serius,” ujar Prof. Azis.

Dalam penelitian yang dilakukan dr. Ari F. Syam, Sp.PD-KGEH dan kawan-kawan ditunjukkan bahwa di antara pasien yang mengunakan NSAID secara kronis, angka kejadian tukak peptik sebesar 23%, dibandingkan non pengguna NSAID sebesar 3%. Sedangkan risiko untuk tukak dua denal sebesar 5%, dibanding non penggguna NSAID sebesar 1%.

Patofisiologi

Patofisiologi utama kerusakan NSAID gastropati adalah disrupsi fisiokimia pertahanan mukosa gaster dan inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster, melalui inhibisi aktivitas COX mukosa gaster.

Kerusakan pertahanan mukosa terjadi akibat efek OAINS secara lokal. Beberapa OAINS bersifat asam lemah, sehingga bila berada dalam lambung yang lumennya bersifat asam (pH kurang dari 3) akan berbentuk partikel yang tidak terionisasi. Dalam kondisi tersebut, partikel obat mudah berdifusi melalui membran lipid ke dalam sel epitel mukosa lambung, bersama dengan ion H.

Dalam epitel lambung, suasana menjadi netral sehingga bagian obat yang berdifusi terperangkap dalam sel epitel dan terjadi penumpukan obat pada epitel mukosa.  Akibatnya, epitel menjadi sembab, pembentukan PG terhambat, dan terjadi proses inflamasi.

Adanya uncoupling of mitochondrial oxidative phosphorylation yang menyebabkan penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP), peningkatan adenosine monophosphate (AMP), dan peningkatan adenosine diphosphate (ADP) dapat menyebabkan kerusakan sel. Perubahan itu diikuti kerusakan mitokondria, peningkatan pembentukan radikal oksigen, dan perubahan keseimbangan Na+/K+, sehingga menurunkan ketahanan mukosa lambung.

Lebih lanjut, kondisi itu memungkinkan penetrasi asam, pepsin, empedu, dan enzim proteolitik dari lumen lambung ke mukosa dan menyebabkan nekrosis sel. Inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster, terjadi melalui penghambatan aktivitas COX mukosa gaster.

Prostaglandin yang berasal dari esterifikasi asam arakidonat pada membran sel, berperan penting dalam memperbaiki dan mempertahankan integritas mukosa gastroduodenal. Enzim utama yang mengatur pembentukan PG, adalah COX yang memiliki dua bentuk yaitu COX-1 dan COX-2. Masing-masing enzim tersebut memiliki karakteristik berbeda, berdasar struktur dan distribusi jaringan. COX-1 yang berada pada lambung, trombosit, ginjal, dan sel endotelial, memiliki peran penting dalam mempertahankan integritas fungsi ginjal, agregasi trombosit, dan integritas mukosa gastrointestinal.

Sementara COX-2 yang diinduksi oleh rangsangan inflamasi terekspresi pada makrofag, leukosit, fibroblas, dan sel sinovial. Pada jaringan inflamasi, OAINS memiliki efek menguntungkan melalui penghambatan COX-2 dan efek toksik melalui penghambatan COX-1 yang dapat menyebabkan ulserasi mukosa gastrointestinal dan disfungsi ginjal.

Penghambat COX-2 selektif mempunyai efek menguntungkan, dengan menurunkan inflamasi jaringan dan mengurangi efek toksik terhadap saluran cerna. Namun demikian, golongan tersebut memiliki efek samping pada sistem kardiovaskular berupa peningkatan risiko infark miokard, stroke, dan kematian mendadak.

Efek samping tersebut berkaitan dengan efek antiplatelet yang minimal pada penghambat COX-2, karena tidak memengaruhi tromboksan A2 (TX-A2). TX-A2 merupakan suatu agonis platelet dan vasokonstriktor, serta secara selektif mensupresi prostasiklin endotel. Karena itu, Food and Drugs Administration (FDA) telah menarik valdekoksib dan rofekoksib yang memiliki efek samping pada kardiovaskular dari pasaran.

Selekoksib adalah penghambat COX-2 dengan efek kardiovaskular paling minimal, dan aman digunakan dengan dosis rendah 200 mg/hari. Sebagai konsekuensi penghambatan COX, sintesis leukotrien meningkat melalui perubahan metabolisme asam arakidonat ke jalur 5-lipoxygenase (5-LOX).

Leukotrien terlibat dalam proses kerusakan mukosa gaster, karena menyebabkan iskemik jaringan dan inflamasi. Peningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti  intercellular adhesion molecule-1 oleh mediator proinflamasi, menyebabkan aktivasi neutrophil-endothelial.

Perlekatan neutrofil ini berkaitan dengan patogenesis kerusakan mukosa gaster melalui dua mekanisme utama, yaitu oklusi mikrovaskular gaster oleh mikrotrombus menyebabkan penurunan aliran darah gaster dan iskemik sel serta peningkatan pelepasan oksigen radikal. Radikal bebas tersebut bereaksi dengan asam lemak tak jenuh mukosa dan menyebabkan peroksidasi lemak serta kerusakan jaringan.

NSAID juga memiliki efek lain seperti menurunkan angiogenesis, memperlambat penyembuhan, dan meningkatkan endostatin (faktor antiangiogenik) relatif terhadap endothelial cell growth factor (faktor proangiogenik).

Faktor risiko

“Dalam penanganan NSAID gastropati , yang paling penting adalah kita melakukan stratifikasi risiko,” terang Prof. Aziz. Faktor-faktor risikonya mencakup:

  1. Pernah mengalamin ulkus komplikata sebelumnya
  2. Menggunakan lebih dari satu NSAID
  3. Menggunakan NSAID dosis tinggi
  4. Menggunakan antikoagulan
  5. Pernah mengalami tukak tidak komplikata
  6. Berusia di atas 70 tahun
  7. Terinfeksi H.pylori
  8. Menggunakan steroid.

“Bila melihat obat-obatan NSAID saat ini, perkembangannya diarahkan pada obat yang bisa secara selektif menghambat COX 2, agar bisa mencegah terjadinya efek samping pada saluran cerna,” kata Prof. Aziz. Kalau melihat penelitian Hawkey dan Skelly tahun 2002, terlihat bahwa pada pasien yang tidak ada faktor risiko, risiko komplikasi ulkus sangat rendah pada orang yang menggunakan celecoxib. Tapi, pada pasien dengan faktor risiko lebih dari satu, ternyata tidak berbeda jauh dengan NSAID non selektif. Jadi, sekali lagi, stratifikasi risiko penting dalam penanganan  NSAID gastropati.

Penelitian awal dari NSAID yang selektif terhadap COX 2, memperlihatkankan kelebihan celecoxib terhadap NSAID non selektif, seperti ibuprofen dan doclofenac. Tapi, kalau dikombinasikan dengan aspirin, kelebihan itu menjadi tidak bermakna.

Pencegahan NSAID Gastropati: Pemilihan NSAID Berisiko Rendah