Ethicaldigest

The Art of Neuromyelitis Optica Management

Dito Anurogo, MD1, Taruna Ikrar, MD, M.Pharm, Ph.D.2,3

Neuromyelitis optica (Devic’s disease) adalah penyakit inflamasi kronis dari sistem saraf pusat, yang memengaruhi persarafan optik dan spinal cord mengakibatkan gangguan visual dan mielopati.

Secara etimologi, peradangan di saraf mata dalam dunia kedokteran disebut optic neuritis, sedangkan peradangan di saraf tulang belakang (spinal cord) dalam dunia medis dinamakan myelitis. NMO menyerang persarafan di mata dan tulang belakang (hampir) bersamaan. Itulah mengapa penyakit ini disebut neuromyelitis optica (NMO), atau lengkapnya neuromyelitis optica spectrum disorder.

Kasus neuromyelitis optica (NMO) telah diketahui Allbutt dan Erb sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19. Tahun 1894, Eugène Devic dan mahasiswanya Fernand Gault, memperkenalkan istilah “neuromyelite optique aigue” (acute optic neuromyelitis). Tahun 1907 Acchioté, dokter Turki, mengusulkan istilah “sindrom Devic”. Tahun 1927, Beck mendeskripsikan kasus NMO bercirikan atipikal, seperti: perjalanan relaps. Tahun 1999, Wingerchuk dkk memerluas kriteria klinis untuk mendiagnosis NMO.

Epidemiologi

Mayoritas kasus NMO bersifat sporadis, dapat terjadi di semua negara, namun lebih sering terjadi di populasi Negro, Asia dan India. Prevalensi NMO diperkirakan 1-4,4 per 100 ribu di dunia barat. Beragam studi di Jepang, Kuba, Denmark, Meksiko, Perancis, Hindia Barat menunjukkan insidens 0,053-0,4 per 100 ribu penderita /tahun dan prevalensi 0,52-4,4 per 100 ribu. Di USA, prevalensi NMO diprediksi 1-2% dari penderita multiple sclerosis (MS). Di masa lalu, banyak (>20%) penderita NMO salah didiagnosis dengan MS, terutama karena belum tersedia tes NMO-IgG.

Perempuan lebih banyak menderita NMO disbanding pria, dengan rasio 9:1. Onset usia berkisar 35-45 tahun pada dewasa, dengan rerata 39 tahun. Pada anak-anak, onset sekitar 4,4 tahun. Jadi, semua (usia, jenis kelamin) berpotensi NMO.

 Pada 20-30% kasus, serangan NMO didahului infeksi/ vaksinasi. Adanya riwayat penyakit terkait virus dilaporkan pada 30% penderita NMO monofasik dan 23% penderita NMO berulang.

Kekambuhan dapat terjadi dalam 3-6 bulan pertama, setelah sembuh. Untuk NMO berulang, wanita 3-9 kali lebih sering daripada pria, sedangkan pada bentuk monofasik rasio wanita:pria 1:1. Kebutaan (minimal satu mata) dapat terjadi setelah penyakit berlangsung selama 7-8 tahun. Rerata 5-tahun survival dilaporkan 68% di Amerika Utara selama tahun 1977 hingga 1997; ini jauh berbeda dengan riset terkini yang menyatakan rerata 5-tahun survival lebih dari 90%. Hanya sebagian penderita mengalami disabilitas minor dalam kurun waktu 10 tahun.

Etioimunopatogenesis

Kelainan otak diduga sebagai penyebab NMO. Misalnya lesi di otak bagian hipotalamus inferior dan hipofisis. Dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), tampak nyata keterlibatan tulang belakang bagian bawah dalam kaitannya dengan ketidaknormalan cervical cord, lesi substansi putih yang dalam dan multipel (terutama di otak bagian supratentorial), lesi di ganglia basal dan perubahan terkait usia.

Nekrosis spinal cord yang memanjang melewati bagian multipel dengan keterlibatan substansi putih dan abu-abu adalah patognomonis NMO. Nekrosis dapat menghasilkan kavitasi di spinal cord atau saraf optik. Sebagai tambahan, untuk demielinasi dan nekrosis dengan kavitasi, eosinofil dan neutrofil umumnya dijumpai di infiltrat inflamasi dari lesi aktif dengan penebalan vaskuler dan hialinisasi. Dijumpai pula deposisi imunoglobulin dan komponen komplemen di vasculocentric rim dan pola rosette pada lesi aktif NMO. Berdasar penemuan ini, jelas bahwa NMO adalah gangguan humoral yang mengenai daerah perivaskular.

Otoantibodi sering terdeteksi di serum penderita NMO relaps atau MT berulang. Diperlukan riset tentang antibodi spesifik terhadap jaringan SSP. Tahun 2004, Lennon dkk berhasil melaporkan otoantibodi serum, NMO-IgG, yang memiliki sensitivitas 73% dan spesifisitas 91% untuk membedakan NMO dari MS.

NMO-Ig berasal dari sel-sel B perifer, mengaktivasi komplemen, terlibat dalam proses induksi inflammatory demyelination dan nekrosis di sel-sel endotel spinal cord. Antibodi diproduksi oleh sel-sel B di sirkulasi perifer dan melintasi sawar darah-otak. Target antigen untuk antibodi adalah aquaporin-4 (AQP4). Pengikatan antibodi ke AQP4, menghasilkan internalisasi dan degenerasi subsequent, yang memicu kelebihan glutamate keluar sel. Hal ini merusak neuron-neuron dan oligodendrosit. Sel-sel inflamasi ditarik ke jaringan dan menyebabkan cedera lanjutan.

Lesi di batang otak, yang ditemukan melalui pemeriksaan MRI, sulit dibedakan dengan multiple sclerosis. Pada NMO, lesi otak cenderung berlokasi di area dengan ekspresi aquaporin-4 tinggi, seperti: diensefalon, hipotalamus, aquaduktus, serta tampak luas dan udem di korpus kalosum.

Serum AQP4-IgG dan sel-sel plasma yang memroduksi AQP4-IgG memasuki sistem saraf pusat, menyebabkan pengikatan channels AQP4-IgG ke AQP4 pada astrosit. Kerusakan astrosit tergantung-antibodi melibatkan sitotoksisitas tergantung-komplemen. Mekanisme CDCC dan ADCC memicu inflamasi, injuri oligodendrosit, demielinasi dan kehilangan neuron. Glikoprotein CD59 menghambat sel lisis dengan menghambat pembentukan MAC. Singkatan: ADCC, antibody-dependent cellular cytotoxicity; AQP4, aquaporin‑4; CDC, complement-dependent cytotoxicity; CDCC, complementdependent cellular cytotoxicity; MAC, membrane attack complex; NMO, neuromyelitis optica. (Sumber: Papadopoulos, dkk 2014:494)

Beragam mediator inflamasi nyeri nosiseptif NMO, yaitu: peningkatan kadar ekspresi IL‑1-beta di makrofag atau sel-sel mikroglia teraktivasi yang ada di lesi inflamasi aktif stadium dini, peningkatan IL-6 di CSF, aktivasi aksis IL‑17–IL‑8 di CSF, peningkatan HMGB1 (high mobility group protein B1) di plasma.

Pembukaan glutamatergic Ca2+-permeable N‑methyl‑d-aspartate (NMDA) receptors memicu long-term potentiation (LTP) di sinaps serabut-C, yang dipertimbangkan sebagai mekanisme seluler kunci terjadinya amplifikasi nyeri jangka panjang (hiperalgesia).

Predisposisi genetik juga berperan penting dalam NMO. Nilai positif NMO IgG terkait erat dengan HLA-DRB1*03 (DR3) pada populasi penduduk Perancis dan Brazil, dan HLA-DPB1*0501 pada populasi penduduk Jepang. Haplotipe HLA ini terkait erat dengan beragam penyakit /gangguan otoimun dilaporkan dialami 30% pasien NMO, seperti systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit Graves, sindrom Sjögren, dsb.

Potret Klinis dan Komorbiditas

Neuritis optik (NO) dan mielitis transverse (MT) adalah patognomonis NMO. NO biasanya disertai nyeri okuler unilateral atau bilateral (jarang). Potret klinis lain terkait saraf optik adalah penglihatan kabur, skotoma, atrofi atau edema optic disc, deficit /hilang lapang pandang, hilangnya penglihatan yang permanen (satu /dua mata).

Lesi spinal cord ada di bagian servikal dan umumnya bermanifes sebagai longitudinally extensive transverse myelitis (LETM), sepanjang minimal 3 segmen vertebra. Gejala terkait spinal cord termasuk gangguan motoris dan sensoris, gangguan sfingter /seksual.

Mielitis yang disebabkan NMO, sering disertai MT menyeluruh dengan problematika berjalan (berupa tetraplegia /paraplegia), disfungsi sfingter tingkat sensoris, nyeri dan spasme tonik paroksismal di tubuh dan ekstremitas.

Bukti terbaru menunjukkan, NMO bukan hanya melibatkan persarafan optik dan spinal cord. Gejala-gejala otak juga tampak sebagai manifestasi pertamanya. Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) di luar sistem optik dan spinal cord, dilaporkan pada 59% penderita NMO.

Pada 35% kasus serangan mielitis berat akut terkait NMO relaps, sering dijumpai dysesthetic yang nyata, nyeri radikuler, mungkin terkait dengan gejala-gejala Lhermitte. Lesi dapat meluas ke batang otak dan menyebabkan cegukan, mual yang hebat, atau gagal napas.

Dijumpai juga gejala-gejala batang otak dan nyeri neuropatik. Penderita NMO menunjukkan gejala-gejala batang otak yang khas, yaitu: cegukan dan muntah yang membandel. Keterlibatan meduler di area postrema dan nucleus tractus solitaries, area di mana ekspresi AQP4 nyata meninggi, dapat menyebabkan muntah hebat atau cegukan yang membandel. Gejala-gejala batang otak lain, yakni: mual, vertigo dan gangguan vestibuler, nistagmus, hilang pendengaran, kelemahan (otot) wajah atau paralisis fasial, nyeri wajah atau dysestesia, neuralgia trigeminal, diplopia, miosis, ptosis, dan ataksia.

Lebih dari 80% penderita NMO merasakan nyeri. Nyeri bangkitan (evoked pain) paling sering disebabkan spasme otot tonik yang amat nyeri, dan nyeri neuropatik yang terus-menerus. Di Korea, dari 40 penderita NMO, dijumpai 25% dengan spasme tonik yang amat nyeri. Nyeri neuropatik yang berkelanjutan dan membandel berlokasi di sekitar dada dan pinggang, di seluruh bagian kaki, atau di punggung. Nyeri hebat dapat terjadi di stadium awal penyakit, bahkan bisa menjadi gejala klinis pertama NMO. Pada tahapan diagnosis, area nyeri biasanya sesuai dengan lokasi lesi spinal cord yang dijumpai pada MRI.

Gejala-gejala umum penderita NMO berupa: sakit kepala, nyeri, gejala Lhermitte, gejala Uhthoff, lelah, gangguan memori, gangguan kognitif lainnya, cemas, depresi. Gejala-gejala lainnya: nyeri paroksismal spastik, tremor, mioklonus, khorea, diskinesia.

Uniknya, ada 3 wanita AQP4-IgG–seropositive dengan asymptomatic myelitis pada kasus NMO. Manifestasi extraopticospinal NMO berupa: ensefalopati mirip acute disseminated encephalomyelitis atau posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES). Gejala terkait PRES berupa gangguan kesadaran, agitasi, konvulsi, gangguan visual, diplopia, nistagmus.Gejala-gejala NMO terkait hipotalamus berupa demam, hipotermia, hipotensi ortostatik, takikardi, gangguan tidur, hiperfagi, gangguan endokrin.

Pada kasus endokrinopati terkait NMO, manifestasi klinisnya: adenoma hipofisis, amenore, diabetes insipidus, diabetes mellitus, galactorrhea, gangguan haid, gangguan hormon pertumbuhan, hiperfagi, hipertiroidisme, hiponatremia (sekresi ADH terganggu), hipotiroidisme, obesitas, peningkatan serum prolaktin, penurunan serum FSH, penurunan  serum LH.

Gangguan otoimun terkait NMO berupa alergi, anemia hemolitik, artritis rematoid, Behçet’s disease, Crohn’s disease, Graves’ disease, hepatitis (otoimun), hipo/ hipertiroidisme, myasthenia gravis, poliarteritis nodosa, polimiositis, psoriasis, purpura trombositopeni, sclerosing cholangitis, sindrom antifosfolipid, sindrom Sjögren, SLE, uveitis dan vitiligo.

Perjalanan penderita NMO berupa monofasik atau relaps. Saat monofasik, kejadian NO dan LETM (<30 hari) simultan terjadi tanpa relaps apa pun, namun 80-90% penderita NMO mengalami relaps. NO dan mielitis dapat terpisah beberapa bulan /tahun, namun 55% penderita mengalami relaps saraf optik atau spinal cord pertama mereka dalam 1 tahun, setelah kejadian klinis awal; hal ini mencapai 78% setelah 3 tahun, 90% dalam 5 tahun.

Mayoritas kematian terkait NMO terjadi akibat dari mielitis servikal yang ascending dan parah, keterlibatan batang otak, yang memicu kegagalan respirasi.

Mutiara Diagnosis

Diagnosis NMO ditegakkan sesuai kriteria Wingerchuk (2006). Kriteria ini menyatukan status antibodi aquaporin-4 (AQP-4). Lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Kriteria Wingerchuk (2006)
Terdapat neuritis optik (berat)
B. Terdapat transverse myelitis
C. Sekurangnya dua dari tiga kriteria suportif berikut ini: 1. Lesi
spinal cord yang berdekatan, tampak dengan pemeriksaan MRI, meluas
hingga lebih dari 3 segmen vertebra. 2. Hasil imaging MRI otak tidak
memenuhi kriteria diagnostik Paty untuk onset multiple sclerosis (MS).
3. Hasil pemeriksaan serum positif untuk antibodi AQP-4 atau
NMO-IgG/AQP4 antibody seropositivity.

Dari kriteria Wingerchuk (2006), jelas bahwa biomarker spesifik untuk menegakkan diagnosis NMO adalah immunoglobulin G1 autoantibodies, berupa aquaporin-4 (AQP4-IgG). NMO IgG memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi  (99%) dan tingkat sensitivitas sedang (56-73%). NMO IgG tidak dapat melewati sawar darah otak (blood brain barrier; BBB), namun dapat melewati plasenta. Hindari biopsi tulang belakang untuk menegakkan diagnosis.

Selain kriteria Wingerchuk (2006), diagnosis serta tatalaksana NMO telah dirumuskan European Federation of Neurological Societies (EFNS) tahun 2010, dan Neuromyelitis Optica Study Group (NEMOS) tahun 2014.

Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium dasar yang direkomendasikan untuk konfirmasi diagnosis NMO antara lain: pemeriksaan darah, koagulasi, serum kimiawi, sedimentasi darah, glukosa darah, vitamin B12, asam folat, antibodi terkait dengan gangguan jaringan konektif (ANA/ENA, antibodi anti-ds-DNA, antikoagulan lupus, antibodi antifosfolipid, ANCA, sedimen dan analisis urin, Treponema pallidum hemagglutination assay dan antibodi paraneoplastik (terutama anti-CV2/CRMP5 dan anti-Hu).

Uji serologis serum AQP4-Ab yang diperoleh dari jaringan, sel, atau protein, adalah baku emas diagnosis NMO. Spesifisitas assays ini berkisar 90-100%. AQP4-Ab terdeteksi pada 60–90% penderita yang secara klinis dan radiologis, memenuhi kriteria NMO.

Uji serologis disertai riwayat dan cutaneous stigmata, berhasil mengungkap kekacauan humoral tambahan, juga sindrom yang tumpang-tindih dengan amyopathic dermatomyositis, rheumatoid arthritis, dan SLE.

Riset terkini menunjukkan, bila hasil pemeriksaan AQP4-Ab-negatif, maka penderita NMO dewasa dan anak masih dapat diperiksa antibodi terhadap myelin oligodendrocyte glycoprotein (MOG).

Lesi otak atipikal pada penderita NMO tampak dengan MRI.

(Pittock SJ, dkk 2006:394)

Pada MRI otak, dijumpai contrast enhancement dengan bentuk mirip awan (a cloudlike shape) dan pencil-thin ependymal enhancement adalah ciri khas NMO. Studi ultrahigh-field imaging melaporkan, lesi NMO tidak secara tipikal menunjukkan pembuluh darah sentral, hypointense rim, dan kurang tampaknya lesi kortikal. Hiperintensitas serebral T2-/FLAIR tampak pada 60% penderita NMO, meski seringkali tidak menunjukkan manifestasi klinis, dan secara tipikal tidak tampak pada gambaran T1-weighted.

Diagnostik /pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) untuk menegakkan diagnosis NMO, antara lain: sitologi, hitung sel, protein, laktat, rasio serum/albumin cairan serebrospinal, rasio serum/IgG, IgA, dan IgM cairan serebrospinal, oligoclonal bands (OCB), dan reaksi virus MRZ (measles, rubella, dan varicella zoster).

Pada penderita NMO, selama serangan akut dijumpai pleocytosis (>50 sel/mm3) dengan neutrofil di CSF. Biomarker destruksi astrosit pada NMO adalah kadar glial fibrillary acidic protein (GFAP) di CSF.

Elektrofisiologi dan/atau optical coherence tomography (OCT), dilakukan bila tersedia fasilitas. OCT menunjukkan penurunan ketebalan retinal nerve fiber layer (RNFL) dan volume makular, hal ini penting untuk membedakan NMO dengan MS. OCT mengidentifikasi edema makular mikrosistik pada 25% penderita NMO dan 4,7% penderita MS.

Pemeriksaan pencitraan MRI adalah teknik terpenting, untuk mengetahui diagnosis banding NMO. Pada kasus tertentu yang mengarah ke diagnosis NMO, dilakukan pemeriksaan MRI seluruh sistem saraf pusat (cranialspinal cord MRI), tanpa menghiraukan ada tidaknya tanda-gejala utama.

Tatalaksana

Terapi harus diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, mengingat parah /beratnya serangan NMO, risiko tinggi terjadinya disabilitas, dan mencegah terjadinya kekambuhan. Serangan NMO akut diterapi dengan kortikosteroid (misalnya: methylprednisolone) intravena dosis tinggi dan plasmapheresis.

Pemberian methylprednisolone intravena dosis tinggi, mampu memberi respon klinis yang cepat, segera setelah pemberian infus. Berdasar riset non-genomik, efek ini dimediasi oleh efek langsung pada membran seluler dan fungsi mitokondria, menginduksi reduksi produksi adenosine-5’-triphosphate dan mempromosikan apoptosis seluler.

Sebenarnya, methylprednisolone telah digunakan sejak 1970 sebagai antiradang kuat atau agen imunosupresan dalam tatalaksana beragam penyakit/gangguan, seperti  hematologi, alergi, neoplastik, dan otoimun.

Plasmapheresis diberikan bila methylprednisolone tidak efektif. Plasmapheresis adalah teknik pemurnian darah, yang didesain untuk menghilangkan antibodi, komplemen, sitokin, dan kemokin dari plasma. Agar menjadi amat efektif, plasmapheresis harus dikaitkan dengan terapi imunosupresan, mencegah produksi imunoglobulin yang baru. Jika produksi antibodi tidak dihambat, diperlukan sesi plasmapheresis tambahan.

Riset berbasis genomik dan non-genomik mampu menjelaskan efek positif kortikosteroid bagi penderita NMO, berupa memicu reduksi inflamasi, apoptosis leukosit, supresi migrasi leukosit polimorfonuklear dan reversal dari peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler.

Untuk mencegah serangan lebih lanjut, diperlukan terapi maintenance, berupa: kortikosteroid oral dosis rendah dan obat imunosupresan nonspesifik, yakni: azathioprine dan mycophenolate mofetil.

Menurut rekomendasi Neuromyelitis Optica Study Group (NEMOS) tahun 2014, terapi lini pertama NMO adalah azathioprine dan rituximab. Terapi lini kedua adalah methotrexate, mycophenolate mofetil, dan mitoxantrone (golongan imunosupresif).

Jalur aktivasi komplemen dan target obat komplemen

Komponen-komponen utama jalur aktivasi komplemen lectin dan alternatif, klasik tampak jelas, terkait dengan C1mAb dan eculizumab—antibodi-antibodi monoklonal yang menarget komponen komplemen C1 dan C5, berturut-turut; C1inh, yang menarget C1; dan cyclic oligopeptide compstatin, yang menarget C5. Anafilatoksin C3a dan C5a menyebabkan aktivasi granulosit dengan pengikatan ke reseptor spesifik. Singkatan: AQP4, aquaporin‑4; C1inh, complement protein 1 inhibitor; MAC, membrane attack complex; MASP, mannan-binding lectin serine protease; MBL, mannose-binding protein. (Sumber: Papadopoulos, dkk 2014:501)

Regimen AHSCT (autologous non-ablative hematopoietic stem cell transplantation) ditoleransi baik, ditandai dengan adanya perbaikan klinis. Tatalaksana yang berpotensi efektif mengatasi NMO seperti: eculizumab (inhibitor komplemen), tocilizumab (IL‑6 receptor inhibitor), sivelestat dan cetirizine (inhibitor granulosit), imunoglobulin intravena, CD19-depleting agents, dan terapi anti-TNF.

Pemetaan resolusi tinggi extracellular loop amino acids yang penting untuk ikatan NMO-IgG dan epitop otoantibodi AQP4, mengidentifikasi target primer yang berpotensi terapi.

Di masa mendatang, terapi berbasis antibodi monoklonal (seperti: rituximab), reseptor anti-IL6, antikomplemen atau anti-AQP4-Ab biologis, non-pathogenic AQP4-specific antibodies (seperti: aquaporumab), inhibitor neutrophil elastase, antihistamin dengan aksi penstabil eosinofil, dan AQP4-IgG deglycosylation atau cleavage AQP4-IgG enzimatik, diharapkan mampu mengatasi NMO.

Ucapan Terimakasih: Yow-Pin Lim, MD., Ph.D., (President-Chief Scientific Officer ProThera Biologics, Inc, Providence, Rhode Island, Adjunct Asst. Professor Alpert Medical School of Brown University) atas bantuan akses jurnal ilmiah.

1Indonesian Young Health Professionals’ Society (IYHPS), korespondensi : ditoanurogo@gmail.com

2Brain and Circulation Institute of Indonesia (BCII), Indonesia

3Department of Anatomy and Neurobiology, University of California, Irvine, California 92697, USA

Referensi

  1. Banker P, et al. Mult Scler 2012;18:1050–3.
  2. Bienia B, Balabanov R. Autoimmune Diseases 2013 (2013).
  3. Bradl M, et al. Nat Rev Neurol 2014;10:529–536.
  4. Burton J, et al. Neurology 84.14 Supplement (2015): P5-259.
  5. Cree BAC, et al. Semin Neurol 2002;22(2):105-122.
  6. Dalakas MC. Nat Clin Pract Neurol 2008;4(10):557-567.
  7. Flanagan EP, et al. Neurol Clin Pract 2015;5(2):175-7.
  8. Ito S, et al. Ann Neurol 2009;66:425–8.
  9. Iyer A, et al. Autoimmunity 2014;47:154–161.
  10. Jarius S, et al. Nat Clin Pract Neurol 2008;4:202–214.
  11. Jarius S, et al. J  Neuroinflammation 2010;7:52.
  12. Jarius S, et al. J Neuroinflammation 2012;9:14.
  13. Jarius S, Wildemann B. J Neuroinflammation 2013;10:8.
  14. Jarius S, et al. Clin Exp Immunol 2014;176:149–164.
  15. Lana-Peixoto MA, Callegaro D. Arq Neuropsiquiatr 2012;70(10):807-813.
  16. Lana-Peixoto MA, et al. Arq Neuropsiquiatr 2011;69(4):687-692.
  17. Lennon VA, et al. Lancet 2004;364(9451):2106–12.
  18. Martin C, et al. Dermatology 2015;230:289-292.
  19. O’Riordan JI, et al. J Neurol Neurosurg Psych 1996;60(4):382-7.
  20. Owens GP, et al. J Biol Chem 2015;290.19:12123-34.
  21. Papadopoulos MC, et al. Nat Rev Neurol 2014;10:493–506.
  22. Pittock SJ, et al. Arch Neurol.2006;63:390-6.
  23. Ramanathan RS, et al. BMC Neurology 2014;14:51.
  24. Sahraian MA, et al. Neurol Clin 2013;31:139–152.
  25. Sandkühler J. Physiol Rev 2009;89:707–758.
  26. Sato D, et al. Arq Neuropsiquiatr 2012;70(1):59-66.
  27. Sato D, Fujihara K. Arq Neuropsiquiatr 2011;69(5):824-28.
  28. Sato DK, et al. Brain Pathology 2013;23:647–660.
  29. Trebst C, et al. J Neurol 2014;261:1–16.
  30. Weinshenker BG. Neurol Clin Neurosci 2014;2:23–27.
  31. Weinshenker BG, Wingerchuk DM. Neurology 2014;82:466–467.
  32. Wingerchuk DM, et al. Neurology 1999;53:1107–14.
  33. Wingerchuk DM, et al. Neurology 2006;66:1485–9.
  34. Wingerchuk DM, et al. Neurology 84.14 Supplement (2015):P5-265.