Ethicaldigest

Terapi Hiperemesis Gravindarum, Dari Vitamin Hingga Kortikosteroid

Terapi hiperemesis gravindarum terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Ada beberapa katagori obat, sebagai monoterapi atau kombinasi, untuk mengatasi mual dan muntah. Beberapa kategori obat, berdasarkan mekanisme kerja yang berbeda, mencakup vitamin, antihistamin, antikolinergik, antagonist dopamine, fenothiazine (yang mengantagonist reseptor dopamine di sistim saraf pusat), butyrophenones, antagonist serotonin dan kortikosteroid

Vitamin B6

Pyridoxine (vitamin B6), vitamin larut air dan koenzim esensial dalam jalur metabolisme folat, adalah yang pertama dianjurkan untuk Terapi hiperemesis gravindarum. Mekanisme kerjanya tidak diketahui dan tidak memiliki efek samping. FDA menempatkannya dalam kategori A dalam kehamilan.

Dua penelitian acak terkontrol menemukan, penggunaan pyridoxine secara reguler efektif menurunkan keparahan mual, tapi tidak punya efek terhadap frekuensi episode muntah. Vutyvanich dan kawan-kawan membandingkan efek pyridoxine 25 mg/hari terhadap placebo (N = 336). Ditemukan bahwa setelah 5 hari terapi, skor mual rerata lebih rendah pada wanita dalam kelompok intervensi (2,9 ± 2,2 versus 2,0 ± 2,7, secara berurutan; P =.008), tapi tidak ada perbedaan dalam jumlah epidose muntah.

Sahakian dan kawan-kawan secara acak memberikan pyridoxine 75mg/hari atau plasebo kepada 59 wanita. Mereka membandingkan keparahan mual menggunakan skala analog visual, setelah 72 jam terapi. Hasilnya memperlihatkan, wanita dalam kelompok intervensi dengan gejala mual berat sebelum pengobatan, melaporkan penurunan gejala mual yang signifikan dibandingkan kelompok plasebo. Tapi, tidak ada perbedaan signifikan dalam skor mual untuk wanita yang melaporkan mual moderat sampai ringan di awal penelitian.

Penelitian ini juga menemukan penurunan signifikan gejala muntah pada wanita yang menggunakan pyridoxine, dibanding wanita yang menggunakan plasebo. Jumlah wanita yang tetap muntah setelah 72 jam, adalah 8 dari 31 wanita dari kelompok pyridoxine. Sementara pada kelompok plasebo adalah 15 dari 28 wanita. Pyridoxine adalah terapi tunggal, karenanya bermanfaat menurunkan keparahan mual dan mempunyai efek ringan pada muntah. Manfaat terapeutik dari pyridoxine mungkin dipengaruhi dosis pemberian.

Antihistamin

Antihistamin menghambat reseptor histamin di sistim vestibular (H 1 receptors) dan zona pemicu kemoreseptor (H 2 receptors). Agen-agen ini adalah lini pertama pada terapi hiperemesis gravindarum. Lebih dari 20 penelitian terkontrol menyelidiki berbagai antihistamin. Yang menarik, wanita yang terpapar antihistamin dalam trimester pertama kehamilan, mengalami penurunan risiko malformasi minor dan mayor, ketika dibandingkan dengan wanita yang tidak terpapar antihistamin selama kehamilan (OR, 0,76; 95% CI, 0,60–0,94).

Data dari 7 penelitian acak terkontrol yang menilai efektifitas berbagai antihistamin menemukan, antihistamiun secara signifikan menurunkan gejala muntah (risiko relatif [RR] = 0,34; 95% CI, 0,27–0,43). Tetapi, penelitian ini menggunakan beberapa antihistamin berbeda dengan dosis berbeda . Jadi, tidak jelas regimen mana yang paling efektif.

Sebagai kesimpulan, meski antihistamin aman dan efektif, kegunaannya terbatas oleh efek samping. Karena antihistamin sering menyebabkan rasa kantuk, banyak wanita tidak bisa atau mau menggunaakan obat ini sepanjang hari. Tidak ada penelitian hingga saat ini, yang menilai keamanan dan efikasi antihistamines non sedasi (seperti., loratadine, cetirizine, atau  fexofenadine) untuk terapi hiperemesis gravindarum.

Antikolinergik

Meski skopolamin telah digunakan secara ekstensif untuk mengobati mabuk darat pada orang yang tidak hamil, dan diketahui bermanfaat menurunkan mual setelah operasi Caesar, agen ini belum diselidiki keamanan dan efikasinya dalam pengobatan mual dan muntah. Suatu penelitian epidemiologis mengenai efek teratogenik obat-obatan memperlihatkan, paparan skopolamin di trimester pertama pada 309 wanita tidak menunjukkan adanya efek teratogenik. Satu-satunya obat antikolinergik yang digunakan untuk mengobati mual dan muntah adalah dicyclomine.

Bendektin

Bendektin, suatu kombinasi disiklomin, doxylamine succinate, dan pyridoxine hydrochloride, disetujui FDA untuk pengobatan mual dan muntah dan diperkenalkan ke pasar Amerika pada tahun 1956. Pada 1976, disiklomin ditarik dari pasaran karena beberapa penelitian menemukan, obat ini tidak punya efek independen. Bendektin diformulasi ulang agar mengandung 10 mg doxylamine dan 10 mg pyridoxine dalam suatu sediaan, yang digunakan 3-4x sehari. Bendectin digunakan oleh 25-30% wanita hamil di Amerika sampai tahun 1970-an. Di awal 1980-an, Bendektin mendapat tuntutan hukum karena diduga punya efek teratogenik. Obat itu kemudian ditarik dari pasar Amerika, Juni 1983. Meski ditarik, formula yang sama dipasarkan dengan nama dagang berbeda dan terus digunakan di Kanada dan Eropa.

Ini sangat disayangkan, karena Bendektin terbukti aman dan eekatif. Dalam analisa, risiko relatif untuk malformasi janin adalah 0,98 (95% CI, 0.93–1.02),  dan efikasi Bendektin dalam pengobatan mual dan muntah (disimpulkan dari 2 penelitian acak terkontrol), memiliki risiko relative 0,53 (95% CI, 0.41–0.68).  Kutcher dan kawan-kawan membandingkan prevalensi angka penjualan Bendektin dengan cacat lahir dan angka rawat inap  karena hiperemesis gravidarum selama 20 tahun (1974–1994). Ditemukan bahwa ketika Bendektin ditarik dari pasaran, angka cacat lahir tetap tidak berubah, tapi angka rawat inap karena hiperemsis gravidarum meningkat  drastis. Pada 1999, FDA mengeluarkan pernyataan, Bendektin tidak ditarik dari pasaran dan mengundang perusahaan farmasi untuk memasukan permohonan perijinan untuk sediaan yang sama. Namun, tidak ada perusahan farmasi yang mengajukan permohonan sampai saat ini.

Antagonis Dopamin

Phenothiazin, benzamid dan butirofenon adalah tiga kelas obat yang mengantagonis reseptor dopamine. Obat-obatan utama yang digunakan untuk mual dan muntah adalah promethazine, proklorpemazin, metoklopramid dan droperidol.

Promethazin dan Proklorpemazine

Phenothiazines promethazine dan prochlorpemazine mengantagonis reseptor dopamine (D 2) dalam zona pemicu kemoreseptor sistim saraf pusat, juga memiliki efek sedang pada reseptor H 1. Tidak ada bukti peningkatan risiko efek teratogenik, akibat dari penggunaan obat-obatan ini.

Fenothiazin lebih efektif dari antihistamin, dalam mencegah atau mengurangi muntah. Tiga penelitian acak terkontrol mengevaluasi efektifitas fenothiazin, untuk mual dan muntah berat (N=400). Ada berbagai obat yang digunakan, tetapi ketika hasilnya dikumpulkan, risiko relative mual dan muntah pada wanita yang menggunakan fenothiazin, dibandingkan wanita yang menggunakan plasebo adalah 0,31 (95% CI, 0,24–0,42). Efek samping utama fenothiazin adalah sedasi, hingga secara anekdot merupakan alasan paling banyak diutarakan  mengapa wanita enggan menggunakan obat ini.

Metoklopramid

 Metoklopramid, suatu bezamid, memiliki mekanisme kerja di saraf pusat dan periferal. Obat-obatan ini mengantagonis dopamine (D 1) dan reseptor serotonin (5-HT 3) di saraf pusat, dan meningkatkan pengosongan lambung. Metoclopramide tidak pernah dilaporkan menyebabkan cacat lahir dan memiliki kategori B untuk kehamilan.

Tidak ada penelitian acak menyelidiki efektifitas metoklopramid oral, yang dilakukan pada wanita hamil. Meski tidak ada penelitian mengenai efektifitasnya, obat ini luas digunakan sebagai langkah kedua pengobatan mual dan muntah saat fenothiazin atau antihistamin tidak efektif. Metoklopramid tidak menyebabkan sedasi. Saat ini banyak klinisi meresepkan metoklopramid oral untuk pengobatan pasien rawat jalan, yang belumn pernah mendapatkan fenothiazine sebelumnya. Selain itu, metoklopramid sering digunakan sebagai pengobatan lini pertama yang diberikan secara intravena atau subkutan, ketika wanita hamil menjalani perawatan untuk hyiperemesis gravidarum. Cara ini dapat menurunkan kunjungan ke rumah sakit dan rehidrasi intravena.

Droperidol

Droperidol adalah antagonis dopamine terbaru, untuk pengobatan mual dan muntah berat dan/atau hiperemesis gravidarum. Droperidol merupakan bagian dari kelompok butirofenon. Obat ini lebih mujarab dari fenothiazin, dan umumnya digunakan ahli anastesi dalam operasi untuk mengendalikan mual pasca operasi. Droperidol diketahui tidak menyebabkan malformasi kongenital, tapi obat ini sedikit berisiko menyebabkan sindrom QT berkepanjangan pada ibu, yang berpotensi menyebabkan aritmia fatal. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan agar obat ini digunakan secara hati-hati.

Hanya satu penelitian acak yang telah dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas droperidolm pada terapi hiperemesis gravindarum . Nageotte dan kawan-kawan membandingkan outcome dari wanita yang dirawat inap karena hiperemesis gravidarum dan mendapatkan infus droperidol, dengan difenhidramin ditambahkan untuk mencegah gejala ekstrapiramidal, dengan wanita yang tidak mendapat penanganan. Hasilnya, wanita yang mendapat campuran droperidol dan difenhidramin mengalami penurunan lama rawat (3,1 ± 1,9 versus 3,8 ± 2,4 hari; P =.028). Dan, lebih sedikit yang masuk rumah sakit kembali (15,0% versus 31,5%; P =.015). Meski regimen ini efektif, 15% wanita yang diobati dengan droperidol dan difenhidramin mengalami gejala ekstrapiramidal dan psikotropik sementara, walau telah menggunakan difenhidramin. Sementara, tidak satu pun dalam kelompok plasebo yang mengalami hal ini.

Antagonis serotonin

Ondansetron, yang memiliki efek antagonis pada reseptor serotonin, adalah suatu antiemetik yang sangat efektif untuk mengatasi mual dan muntah karena kemoterapi. Namun, obat ini belum dievaluasi secara ekstensif pada wanita hamil. Meski demikian, obat ini telah digunakan off label, untuk wanita dengan mual dan muntah berat dan/atau hiperemesis gravindarum. Obat ini tidak menyebabkan malformasi setelah penggunaan ondansetron di trimester pertama kehamilan.

Sullivan dan kawan-kawan melakukan penelitian acak buta ganda (N = 30), yang membandingkan 10mg ondansetron yang diberikan secara intravena setiap 8 jam, dengan 50 mg promethazin yang diberikan secara intravena setiap 8 jam pada wanita yang menjalani rawat inap karena hiperemesis gravidarum. Penggunaan obat diteruskan hingga partisipan mampu makan tanpa emesis. Hasilnya, tidak memperlihatkan ada perbedaan dalam lama rawat inap, penuruan nausea atau dosis total obat.

Delapan wanita dalam kelompok promethazine melaporkan sedasi, sementara pada kelompok ondansetron tidak ada laporan sedasi yang tidak nyaman. Meski temuan dari penelitian acak terkontrol ini negative, serangkaian laporan kasus menunjukkan keberhasilan mengobati wanita dengan hiperemesis gravindarum dengan ondasentron, setelah sebelumnya gagal merespon terapi lain. Ondansetron makin banyak digunakan sebagai antiemetisk rescue, saat wanita tetap mengalami mual muntah, meski telah diobati dengan antihistamin atau atagonis dopamin.

Kortikosteroid

Kortikosteroid terutama digunakan saat seorang wanita dirawat inap karena hiperemesis gravindarum. Ada beberapa penelitian yang mengevaluasi keamanan dan efektifitas kortikosteroid, untuk terapi hiperemesis gravindarum. ortikosteroid dihubungkan dengan sedikit penurunan risiko bibir sumbing (RR, 3.4; 95% CI, 1,97–5,69). Saat ini, ACOG merekomendasikan obat itu tidak digunakan sebelum usia kehamilan 10 minggu.

Penelitian-penelitian mengenai efikasi kortikosteroid, memberikan hasil yang bertentangan. Yost dan kawan-kawan tidak menemukan perbedaan angka rawat inap ulang antara wanita yang diberi metilprednisolon, dan wanita yang tidak ditangani dengan kortikosteroid. Peneliti ini mengacak 110 wanita yang dirawat inap karena hiperemesis gravidarum, untuk diberi pengobatan dengan 125 mg metilprednisolon secara intravena, diikuti prednisolon (40 mg selama 1 hari, 20 mg selama 3 hari, 10 mg selama 3 hari dan 5 mg selama 7 hari), versus plasebo yang diberikan bersama regimen yang sama.

Semua wanita diobati dengan promethazine dan metoclopramide selama 24 jam pertama, ketika dirawat inap. Sebaliknya, Safari dan kawan-kawan tidak menemukan perbedaan dalam rawat inap ulang antara wanita yang diobati dengan metilprednisolone, dan mereka yang diobati dengan promethazine. Safari dan kawan-kawan mengacak wanita (N = 40) yang dirawat inap karena hiperemesis gravidarum, untuk diberi metilprednisolone atau promethazine 3x sehari selama 3 hari. Setelah 3 hari terapi, wanita yang diberi 16 mg metilprednisolon (n = 20) dikurangi dosisnya selama 2 minggu. Mereka yang menggunakan promethazin (n = 20) meneruskan promethazin 25 mg 3x sehari.

Tidak ada satu pun wanita yang menggunakan metilprednisolon yang butuh dirawat inap ulang, sementara lima wanita yang menggunaan promethazin dirawat ulang dalam 2 minggu setelah keluar dari rumah sakit. Penelitian lain menggunakan prednison atau metilprednisolone, telah menggunakan regimen berbeda dan dosis berbeda. Hingga saat ini, tampaknya agen-agen ini dapat memberi perbaikan yang cepat, tetapi efikasinya dalam jangka panjang masih belum jelas.

Cairan intravena

Penggunaan cairan intravena membutuhkan perhatian. Cairan intravena adalah pengobatan penting untuk wanita yang mengalami dehidrasi, dan secara anekdot wanita melaporkan perbaikan sigifikan selama beberapa hari setelah mendapat cairan intravena. Wanita yang ingin menghindari penggunaan obat-obatan, dapat memilih untuk menggunakan cairan rehidrasi intervena intermiten. Cairan mengandung dextrose harus dihindari, karena risiko Wernicke encephalopathy dapat terjadi pada wanita yang diberi karbohidrat tinggi, saat terjadi defisiensi thiamine.

Larutan garam normal adalah pilihan terbaik untuk infus intravena, karena dapat memperbaiki hiponatremia. Klorida potasium dapat ditambah jika dibutuhkan, begitu juga  thiamine (vitamin B1) atau cairan multivitamin. Thiamine penting karena kebutuhan thiamine meningkat pada kehamilan, defisiensi dapat terjadi jika gejala muntah terjadi dalam jangka panjang.



Terapi Mual-Muntah pada Kehamilan