Ethicaldigest

Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA.

Peminatnya jarang, sementara kasus penyakit jantung cukup banyak. Itulah alasan untuk mendalami kardiologi. Lulus menjadi dokter spesialis jantung, “Kalau tidak salah jumlah spesialis jantung sekitar 80 orang,” jelas Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA.

Saat masih di sekolah dasar, kebetulan tempat tinggalnya dekat dengan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi, Jebres, Surakarta. Ia sering melihat dokter bermain tenis. “Ah, enaknya jadi dokter,” pikirnya. Para dokter main tenis tanpa perlu bersusah payah mengambil bola, karena ada yang melayani.

Momen itu terekam di benaknya dan menjadi motivasi kuat untuk menjadi dokter. Lulus  pendidikan dokter umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1968, sebelum mengambil spesialis jantung, ia menempuh pendidikan S2 di Tulane University, New Orleans, Los Angeles, Amerika Serikat. Ia belajar mengenai epidemiologi penyakit dan penyakit tropis. Pulang ke Indonesia, ia mengambil pendidikan kardiologi di FKUI.

Prof. Harmani menjadi Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Jantung selama 8 tahun. Ketika itu ia melihat jumlah dokter jantung di Indonesia masih kurang. Pendidikan spesialis jantung hanya ada di FKUI dan Universitas Airlangga, Surabaya. Sebagai Ketua Koligium, “Dalam kurun waktu 3 tahun, tahun 2007 – 2010 saya membuka 10 pendidikan spesialis jantungsekolah.“ Masing-masing di Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Denpasar, Makasar dan Manado.

Sejak itu, jumlah dokter spesialis jantung terus bertambah hingga mencapai 800 orang. Meningkat 10 kali lipat dari era sebelumnya. Ia berharap selain jumlah dokter jantung bertambah, mereka juga mampu meningkatkan kompetensinya dan menjadi sub spesialisasi kardiologi. Untuk menjaga kesehatan, Prof. Harmani aktif berolahraga di rumahnya di Rawamangun, Jakarta Timur. “Cukup dengan sepeda statis.”