Ethicaldigest

Penting, Suplementasi untuk Pasien DMT2

Pasien diabetes, khususnya DMT2, rentan mengalami defisiensi vitamin B kompleks, sehingga perlu suplementasi. Asam folat sebaiknya diberikan dalam bentuk metilfolat. Suplemen lain yang bisa direkomendasikan misalnya ALA, Q10, carb-blocker, hingga unsoluble fiber.

Telah disinggung sebelumnya, mengatur asupan nutrisi pasien diabetes harus memerhatikan mikronutrisi, dan zat bioaktif, tidak hanya makronutrisi. Pola makan dengan membagi piring menjadi ½ bagian untuk sayur, ¼ bagian untuk sumber karbohidrat, dan ¼ bagian untuk lauk, cukup menyuplai asupan makronutrisi, mikronutrisi, dan zat bioaktif. “Namun pada pasien diabetes, tetap diperlukan suplementasi,” Dr. dr. Aris Wibudi, Sp.PD-KEMD.

Menurut Ketua Perkumpulan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI) ini, pasien diabetes sering mengalami defisiensi vitamin B kompleks, dan asam folat (vitamin B9) khususnya. Belum diketahui, mengapa pasien diabetes rentan mengalami hal tersebut.

“Metabolisme karbohidrat mutlak membutuhkan vitamin B kompleks, sedangkan asupan vitamin ini berkurang, lantaran kulit ari beras dihilangkan,” papar Dr. dr. Aris.

Khusus untuk asam folat dan vitamin B12, dijelaskan dalam studi oleh Roxana Valdés-Ramos, dkk (Endocrine, Metabolic & Immune Disorders Drug Target, 2015). Disebutkan bahwa absorpsi kedua vitamin B tersebut menurun, dengan penggunaan metformin jangka panjang. Padahal, metformin merupakan obat lini pertama. Maka, tidak heran bila banyak pasien diabetes yang mengalami defisiensi vitamin B9 dan B12.

Dampak dari defisiensi vitamin B

Masih dari studi yang sama, dipaparkan manfaat vitamin B kompleks pada pasien diabetes. Misalnya thiamin (vitamin B1), yang bertindak sebagai koenzim dalam glikasi dan transferensi aktif aldehid, serta dalam konduktivitas neural dan neuro-transmisi. Vitamin ini juga memiliki dampak positif, dalam memperlambat perkembangan berbagai komplikasi akibat diabetes.

Niacin (vitamin B3) merupakan komponen dari NAD dan NADH, yang esensial bagi produksi ATP dan efisiensi energi pada tingkat selular. Efeknya dalam memperbaiki profil lipid, ditengarai dapat mencegah berkembangnya aterosklerosis akibat diabetes.

Pyridoxine (vitamin B6) penting untuk metabolisme glukosa. Ia berperan sebagai koenzim untuk glucose-phosphorilase, untuk penggunaan glukogen di lever dan otot. Bukti menunjukkan, defisiensi vitamin B6 berdampak negatif pada beberapa komplikasi, begitu diabetes terjadi.

Cobalamin (vitamin B12), khsusus nya dalam bentuk methycobalamin, dan bukan cyanocobalamin, merupakan koenzim yang terlibat dalam sintesis metinion, pirimidin, dan purin. Defisiensi asam folat, atau polimorfisme tertentu pada gen MTGFR berakibat pada kejadian hiperhomosisteinemia yang berdampak pada peningkatan risiko kejadian stroke dan penyakit jantung koroner. Salah satu komplikasi yang paling sering muncul akibat kondisi tersebut, yakni neuropati perifer. Secara garis besar, Dr. dr. Aris menerangkan, metabolisme karbohidrat tidak sempurna akibat defisiensi vitamin B kompleks. Untuk sintesis protein diperlukan ATP, dan ATP dihasilkan dari mitokondria. “Mitokondria memerlukan NADH, sedangkan NADH didapat dari metabolisme karbohidrat. Kalau metabolisme karbohidrat tidak berjalan dengan baik, lama-lama mitokondria akan ‘teler’. Akhirnya, produksi insulin dan berbagai protein terganggu,” tuturnya.

Suplementasi vitamin B kompleks dan metilfolat

Studi mengenai suplementasi vitamin B kompleks untuk pasien diabetes, memang masih relatif terbatas dan hasilnya sangat beragam. Yang cukup banyak diteliti yakni suplementasi vitamin B12. Misalnya yang dilakukan Yogendra Narayanrao Keche, dkk (Bangladesh Journal of Pharmacology, 2016). Studi ini meneliti efek suplementasi vitamin B12 terhadap kontrol glikemik pada pasien DM2, dengan hiperhomosisteinemik yang kurang terkendali. Para partisipan berusia 30-70 tahun, dengan HbA1c >8%, dan memiliki serum homosistein >15 µmol/L atau vitamin B12 <223 pg/mL.

Kelompok perlakukan (n=20) mendapat suplemen methylcobalamin 500 µg/hari, bersama terapi antidiabetes seperti biasa. Kelompok kontrol (n=18) hanya mendapat terapi obat antidiabetes yang sesuai. Kontrol glikemik diukur berdasarkan kadar HbA1c saat baseline, dan 4 minggu setelah intervensi. Hasilnya, kadar serum homosistein turun dari 21.5 ± 2.6 menjadi 15.4 ± 6.4 (p=0,04) dengan suplementasi vitamin B12 selama 4 minggu. Kadar HbA1c turun dari 9.9 ± 0.9 menjadi 8.7 ± 0.5 (p<0,01) setelah pemberian vitamin B12, pada pasien yang mengalami defisiensi.

Dr. dr. Aris sendiri menegaskan, penting bagi pasien diabetes untuk mendapat suplementasi vitamin B kompleks. Memang, sebaiknya pasien disarankan dulu untuk memeriksakan kadar vitamin B-nya. Setelah suplementasi, idealnya dievaluasi bagaimana hasilnya. Ini sangat subjektif, biarkan pasien memutuskan ingin periksa lagi atau tidak. Bila pasien enggan, perkembangannya bisa dilihat secara klinis. Bagaimanapun, dokter hanya bisa menyarankan. “Pengetahuan harus disampaikan, tapi pasien yang memutuskan. Dokter tidak boleh ngotot,” ujarnya.

Yang perlu dilihat, apakah suplementasi sudah cukup atau masih kurang. “Tidak perlu takut overdosis, karena vitamin B akan dibuang lewat urin. Yang perlu dipantau ketat adalah suplementaasi vitamin larut lemak A, D, E, dan K,” papar Dr. dr. Aris.

Khusus untuk folat, kini lebih disarankan suplementasi dalam bentuk metilfolat. “Asam folat harus diubah dulu sampai menjadi metilfolat. Namun, sering kali orang tidak punya enzim untuk mengubah folat menjadi metilfolat, ini tergantung juga dari gen MTHFR-nya,” tutur Dr. dr. Aris.

Gen MTHFR memberi instruksi untuk membuat enzim methylenetetrahydrofolate reductase. Dr. dr. Aris menjelaskan, setiap orang memiliki gen MTHFR, tapi polimorfisme tiap orang bisa berbeda. Orang dengan genetik CT atau TT, cenderung memiliki homosistein tinggi, dan sering dikira defisiensi folat, sehingga diberi suplemen asam folat. “Bila homosisteinnya berhubungan dengan MTHFR, suplementasi asam folat tidak akan menurunkan homosistein, malah justru akan menekan sistem imun,” ucapnya.

Pemeriksaan gen mahal, sehingga tidak semua pasien mampu mengaksesnya. Ini bisa disiasati dengan memantau kadar homosistein. “Bila homosistein tidak juga turun meski sudah diberi asam folat, jangan tambah dosisnya. Ganti dengan suplemen vitamin B kompleks yang memiliki metilfolat, bukan asam folat,” tandasnya.

Suplementasi lain

Beberapa suplementasi lain mungkin dibutuhkan pasien diabetes, berikut ini di antaranya.

  • Alpha lipoic acid (ALA)

Suplementasi ALA untuk pasien diabetes telah banyak diteliti. Banyak studi menemukan, ALA khususnya efektif untuk pasien diabetes dengan gangguan neuropati.

Pada dasarnya, diabetes adalah kelainan metabolik yang menimbulkan stres oksidatif, hingga memicu terjadinya patogenesis komplikasi dan berbagai penyakit lain. Dipaparkan oleh Saeid Golbidi, dkk (Frontiers in Pharmacology), ALA berperan penting dalam reaksi bioenergetik mitokondria. Lipoic acid memadamkan ROS (reactive oxygen species), mengurangi bentuk oksidasi antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin E dan gluthathione. ALA juga meningkatkan sistem pertahanan antioksidan melalui ekspresi gen antioksidan yang dimediasi Nrf-2, dan dengan memodulasi peroxisome proliferator activated receptors-regulated genes.

ALA memang dikenal sebagai antioksidan. “Namun untuk pasien diabetes, ALA bukan sekadar antioksidan. Dia juga punya mekanisme tertentu untuk memperbaiki metabolisme di tingkat selular, termasuk metabolisme karbohidrat,” jelas Dr. dr. Aris Wibudi.

Ia menilai, semua pasien diabetes perlu diberi suplementasi ALA. Pendekatan ini telah mulai dilakukan di beberapa negara, dan menunjukkan hasil yang baik. ALA bisa diberikan dalam dosis 1x600mg.

  • Q10

Suplementasi Q10 bisa pula direkomendasikan. “Q10 penting untuk pernapasan sel,” terang Dr. dr. Aris. Berkurangnya kemampuan sel untuk bernapas adalah salah satu dampak yang jamak terjadi, akibat hiperglikemia dan hiperkolesterolemia. Q10 sebagai bagian dari rantai pembentuk energi, bisa membantu memperbaiki hal tersebut.

  • Carb blocker dan unsoluble fiber

Secara umum, pasien diabetes disarankan membatasi asupan karbohidrat, khususnya karbohidrat sederhana. Namun kenyataannya, tidak semua pasien sanggup mematuhinya. “Bila pasien tidak bisa mengurangi makan bubur dan gorengan misalnya, bisa kita beri carb-blocker dan unsoluble fiber,” ucap Dr. dr. Aris.

Tentu, pasien tetap perlu diedukasi pelan-pelan, agar bisa memilih makanannya dengan lebih bijak. Targetnya adalah membuat pasien berdaya untuk mengontrol penyakitnya sendiri, dan tidak semata mengandalkan obat dan suplemen. (nid)