Ethicaldigest

Terapi Antitrombotik: Antagonist Vitamin K dan Antikuagulan Baru

Terapi  antitrombotik  yang  digunakan  untuk  mencegah stroke pada pasien atrial fibrilasi, mencakup pemberian antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan  baru),  dan  antiplatelet.  Jenis  antitrombotik  lain,  yaitu trombolitik, tidak digunakan untuk mencegah stroke pada pasien atrial fibrilasi.

Antagonis vitamin K (AVK)

Antagonis  vitamin  K  (warfarin  atau  coumadin)  adalah  obat antikoagulan  yang  paling  banyak  digunakan,  untuk  pencegahan stroke  pada  penderita atrial fibrilasi. Ada lima  penelitian  acak membandingkan AVK dengan placebo, yang hasilnya menunjukkan adanya penurunan insiden stroke iskemik dari 4,5%  menjadi 1,4%/   tahun  (relative  risk  reduction  [RRR] 68%; 95% CI,  50%  s/d  79%;  P<0.001).

Angka  kejadian perdarahan  mayor akibat penggunaan antagonis vitamin K adalah 1,3% /tahun, dibanding 1% pada pasien plasebo. Suatu meta analisa terhadap 26 penelitian mendapatkan RRR 64% (95%  CI,  49%  s/d  74%)  untuk  pencegahan  sekunder  stroke  iskemik dan  hemoragik.  Angka  absolute  risk  reduction  (ARR)  2,7% /  tahun pada penelitian-penelitian pencegahan primer, dan 8,4%/ tahun pada penelitian-penelitian pencegahan sekunder. Ada peningkatan angka kematian yang signifikan pada penggunaan antagonis vitamin K, dengan ARR 1,6% /tahun.

Bukti tambahan menunjukkan, pencegahan stroke oleh antagonis vitamin K hanya efektif bila time in therapeutic range (TTR) baik yaitu >70%. TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai, dibandingkan  keseluruhan  lama  waktu  mengonsumsi  AVK.

Karena  itu,  upaya  pengaturan  dosis  yang  terus-menerus  harus dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3. Kesulitan pemakaian antagonis vitamin K di  Indonesia,  adalah tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan INR di daerah perifer. Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan adanya faktor genetik pada etnis Indonesia, yang berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap warfarin.

Antikoagulan Baru

Saat  ini,  terdapat 3  jenis antikoagulan baru yang bukan merupakan antigonis vitamin K di pasaran  Indonesia,  yaitu  dabigatran,  rivaroxaban  dan  apixaban. Dabigatran  bekerja  dengan  cara  menghambat  langsung  thrombin, sedangkan  rivaroxaban dan apixaban bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.

Dabigatran Etexilate

Dabigatran etexilate merupakan reversible direct thrombin inhibitor, yang diberikan sebagai obat oral. Menurut dr. Edwin, dabigatran merupakan alternative  warfain untuk penanganan atrial fibrilasi non valvular. “Dabigatran memiliki respon cepat, dan diprediksi dapat mengurangi kompleksitas terapi antikoagulan konvensional,” katanya.

Efiksi dabigatran dalam mencegah stroke dan embolisme sistemik pada pasien dengan atrial fibrilas non valvular, ditunjukkan dalam penelitian terbaru RE-LY. RE-LY (Randomized Evaluation of Long-term anticoagulant therapY with dabigatran etexilate), studi acak dengan tiga lengan  yaitu membandingkan  2  jenis dosis dabigatran  etexilate [110 mg b.i.d., atau 150 mg b.i.d.] dengan adjusted-dose warfarin  (target  INR of 2–3).

Untuk primary effiacy endpoint berupa  stroke  dan  emboli  sistemik,  dabigatran 150 mg  lebih  superior  dari warfarin,  tanpa  perbedaan  signifikan  dalam  hal  primary  safety endpoint berupa perdarahan mayor. D110 non-inferior  terhadap warfarin,  dengan  20%  lebih  sedikit  kejadian  perdarahan mayor.

Angka stroke hemoragik dan perdarahan intracranial, lebih rendah pada  kedua  kelompok yang diberi dabigatran. Tapi, perdarahan  gastrointestinal meningkat  bermakna  dengan  debigatran 150mg. Ada penurunan signifikan stroke  iskemik, kecenderungan  penurunan mortalitas  segala  sebab  (P=0,051)  dan  penurunan  signifkan mortalitas vaskular (P=0,04), dengan debigatran 150mg.

Angka berhenti minum obat lebih tinggi pada kelompok dabigatran 150mg (20,7%) dan 110 mg (21,2%), dibanding warfarin (16,6%) pada pengamatan selama 2  tahun.  Efkasi dan keamanan dabigatran konsisten pada seluruh strata skor CHADS2 dan sama efeknya, baik pada bekas pemakai mau pun belum pernah memakai antagonis vitamin K.

Berdasar hasil studi RE-LY, dabigatran etexilate disetujui Food and Drug Administration  (FDA) dan European Medicines Agency  (EMA). Juga oleh beberapa badan otoritas obat dan makanan berbagai negara, untuk pencegahan stroke dan tromboemboli. 

European Medicines Agency menetapkan indikasi pemakaian dabigatran untuk atrial fibrilasi non-valvular, dengan paling tidak satu faktor risiko berikut: riwayat stroke, transient ischaemic attack (TIA) atau emboli sistemik; LVEF <40%; gagal jantung simtomatik; dan  usia  ≥75 tahun  atau ≥65  tahun,  yang  disertai  salah  satu dari  diabetes,  penyakit  jantung  koroner  atau  hipertensi.  FDA menyetujui dosis 150 mg b.i.d., dan dosis 75 mg b.i.d., bila terjadi gangguan ginjal berat, sedangkan EMA menyetujui dosis 110 mg b.i.d. mau pun 150 mg b.i.d.

Rivaroxaban

Studi  buta  ganda  ROCKET-AF61  terhadap  14.264  pasien  FA risiko  tinggi  yang  diberi  rivaroxaban  20 mg  o.d.  (15 mg  o.d. bila jumlah kreatinin klirens 30–49 mL/min), dibandingkan warfarin. Subjek pada studi ini mempunyai risiko lebih tinggi  mengalami stroke, dibandingkan penelitian RCT lainnya. Tetapi, rerata TTR hanya 55%, lebih rendah dibanding semua penelitian RCT lainnya.

Didapatkan hasil  bahwa  rivaroxaban  non-inferior  dibanding  warfarin,  untuk primary  endpoint berupa  stroke dan emboli sistemik.  Tidak terdapat penurunan  angka mortalitas  atau  stroke  iskemik. Tetapi, terdapat penurunan bermakna stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial. Tidak  ada  perbedaan  pada  primary  safety  endpoint, yaitu gabungan perdarahan mayor dan perdarahan yang relevan secara  klinis,  tetapi  terdapat  penurunan  perdarahan  fatal  pada kelompok  rivaroxaban. 

Lebih  sering  terjadi  diskontinuitas  terapi pada rivaroxaban (23,9%), dibanding warfarin (22,4%). Rivaroxaban juga telah disetujui FDA dan EMA, untuk prevensi stroke pada atrial fibrilasi non-valvular, sebagaimana juga di beberapa negara lain.

Apixaban

Studi AVERROES62  terhadap 5.599 pasien atrial fibrilasi yang  tidak cocok, atau  tidak ingin mendapat terapi antagonis vitamin K. Mereka diberi apixaban  [5 mg b.i.d.,  dengan penyesuaian  dosis  jadi  2,5 mg  b.i.d.  bila  usia  ≥80 tahun,  berat  badan  ≤60kg  atau  kreatinin serum  ≥1,5  mg/dL (133mmol/L)]. Atau diberi aspirin (81-324 mg/hari, dengan 91% minum ≤162 mg/hari).

Setelah masa pengamatan 1,1 tahun, studi dihentikan  lebih  awal  karena  didapatkan  penurunan  signifikan 55%  pada  primary  endpoint  berupa  stroke  atau  emboli  sistemik pada  kelompok  apixaban  dibanding  aspirin,  tanpa  perbedaan kejadian perdarahan mayor dan intrakranial. Apixaban ditoleransi lebih  baik  dari  aspirin, dengan  angka  penghentian minum obat 17,9% dibanding aspirin yang mencapai 20,5% (p=0,03).

Sementara  itu,  studi  ARISTOTLE63 membandingkan apixaban [5 mg b.i.d. dengan penyesuaian dosis  jadi 2,5 mg b.i.d bila ≥80 tahun,  berat  badan  ≤60kg  atau  dengan  kreatinin  serum  ≥1,5 mg/dL  (133mmol/L)],  dengan  warfarin  dosis  disesuaikan  untuk memperoleh  nilai  INR  2–3  pada  18.201  pasien  atrial fibrilasi  non-valvular.

Terdapat penurunan bermakna  primary  efcacy outcome, berupa stroke atau emboli sistemik hingga 21% pada kelompok apixaban dibanding warfarin, penurunan 31% kejadian perdarahan mayor dan  penurunan  signifkan  11%  mortalitas  segala  sebab  (tetapi bukan mortalitas kardiovaskular). Angka kejadian stroke hemoragik dan perdarahan  intrakranial  lebih  rendah secara bermakna pada kelompok apixaban,  tetapi  tidak  demikian  untuk  stroke  iskemik.

Apixaban  ditoleransi  lebih  baik  dari warfarin,  dengan  lebih sedikit diskontinuitas dini (25,3% vs 27,5%). Apixaban sudah mendapat  persetujuan  EMA  dan  FDA, untuk  indikasi  prevensi stroke pada FA non-valvular.

Sistim Skoring Atrial Fibrilasi, Cara Mengidentifikasi Pasien Berisiko Stroke