Ethicaldigest

Nutrigenomik untuk Pasien Diabetes

Dengan pemeriksaan polimorfisme gen tertentu, bisa dilihat nutrisi yang cocok untuk masing-masing pasien, dan kecenderungan cedera akibat olah raga. Bagi yang belum punya kesempatan melakukan pemeriksaan nutrigenomik, bisa dilakukan pengaturan makan berdasarkan pengetahuan secara umum,sudah tentu tidak bersifat perorangan, misalnya dengan memotret makanan sebelum dimakan dan dilaporkan kepada dokternya.

“Pada pasien diabetes, nutrisi ada­lah pengobatan utama,” ung­kap Dr. dr. Aris Wibudi, Sp.PD-KEMD, Ketua Perkum­pulan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI). Idealnya, mengatur nutrisi untuk pasien diabetes mengacu pada gen, tepatnya  berdasarkan polimor­fis­me yang terlihat pada pemeriksaan nutrigenomik.

Secara sederhana, polimorfisme diartikan sebagai variasi genetik. Sedangkan epigenetik merupakan interaksi antara faktor lingkungan dengan gen, di mana masing masing individu mempunyai respons genetik yang berbeda. Respons seperti ini diwariskan ke generasi berikutnya. “Gen manusia seluruh dunia sama, bahkan secara umum, masih sama dengan puluhan ribu tahun yang lalu,  tapi polimorfisme tiap orang berbeda. Kecocokan nutrisi untuk pasien diabetes bisa ditentukan berdasarkan poli­mor­fisme tersebut,” imbuhnya. Pada akhirnya, rancangan nutrisi untuk tiap orang berbeda; istilahnya personalized nutrition.

Interaksi antara nutrisi dan gen, terutama untuk pencegahan atau pengobatan penyakit, disebut juga nutrigenomik. Ini bidang yang relatif baru dalam sains. R Nino-Fong, dkk (Current Genomics, 2007) mengung­kapkan, nutrigenomik mengacu pada ke­mampuan gen tertentu terhadap berbagai komponen nutrisi. Studi tersebut mengungkapkan bahwa transi­si diet menyebabkan obesitas, serta mengubah fungsi fundamental pada sel-sel yang sensitif secara metabolik, hingga menyebabkan penyakit misalnya diabetes mellitus tipe 2 (DMT2).

Insulin berperan penting dalam mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Ditengarai, kelebihan asupan makanan padat energi, dengan tinggi gula dan asam lemak jenuh, memicu terjadinya gagal metabolism, yamg ditandai gagal sel b pankreas. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan glukosa darah. Pemeriksaan nutrigeno­mik bertujuan untuk merancang pola makanan yang sesuai dengan individu tertentu, sehingga bermanfaat dalam pencegahan maupun proses kesem­buhan, atau paling tidak menghambat progesifitas berbagai penyakit kronik seperti DMT2.

Bila polimorfisme gen sudah diketahui, maka akan sangat mudah menentukan pola makan yang sesuai bagi pasien. Salah satu contoh, misalnya pada gen glucose transporter GLUT2. “Pada varian CC tidak masalah. Tapi orang dengan varian CT atau TT, GLUT2 di otaknya tidak ada. Gula jadi sulit masuk ke otak, sehingga mereka selalu menginginkan makanan manis,” tutur Dr. dr. Aris.

Ini seperti yang diutarakan Eny KM, dkk (Physiological Genomics, 2008). Studi terdahulu menemukan, tikus tanpa GLUT2 gagal mengendalikan asupan makan mereka sebagai respon terhadap glukosa. Dalam studinya, Eny KM, dkk menunjukkan bahwa individu dengan variasi genetik pada GLUT2 (Thr110lle), memiliki asupan gula harian yang lebih tinggi pada dua populasi berbeda, tapi tidak berhubungan dengan asupan lemak, protein, maupun alkohol. Disimpulkan bahwa variasi genetik pada GLUT2, berhubungan dengan kebiasaan konsumsi gula; menunjukkan adanya mekanisme dasar dalam kepekaan terhadap gula, yang meregulasi asupan makanan.

Pemeriksaan nutrigenomik

Dr. dr. Aris menilai, pemeriksaan polimorfisme gen sangat diperlukan untuk menentukan terapi nutrisi yang cocok, untuk pasien diabetes. “Manusia diciptakan berbeda. Polimorfisme beda, tentu ekspresi gen pun akan berbeda,” ujarnya. Misalnya saja, kelompok polimorfisme tertentu tidak tahan dengan karbohidrat, sedangkan kelompok lain rentan terhadap efek buruk dari minyak goreng.

Lab untuk pemeriksaan ini terdapat di Kanada. Cukup mengambil sampel saliva (air ludah), lalu dikirim ke sana. Dalam perjalanannya, ditemukan bahwa gen yang sama bisa menampakkan kondisi klinis berbeda; akibat polimorfisme. “Ini proses yang panjang sekali, di mana variasi polimorfisme tertentu ternyata berhubungan dengan hal-hal tertentu,” ucapnya.

Misalnya saja, polimorfisme pada TCF7L2 (transcription factor 7-like 2 gene), yang telah diasosiasikan dengan peningkatan risiko DM2 hingga 1,46 kali lipat. Dennis T. Villareal, dkk (Diabetes, 2010) menyebut, TCF7L2 dengan varian rs7903146, tampak meningkatkan risiko terhadap DM2, dengan memengaruhi efek inkretin pada sekresi insulin. Hal tersebut bukan karena berkurangnya sekresi GLP-1 dan GIP, melainkan karena dampak dari TCF7L2 pada sensitivitas sel beta terhadap inkretin. “Orang dengan gen TCF7L2 dan polimorfisme tertentu, jangan terlalu banyak makan karbohidrat; cukup minimal saja,” tambahnya.

Harganya memang relatif mahal, sekitar Rp. 10-12 juta. Namun, peme­rik­saan cukup dilakukan sekali seumur hidup. “Kalau dilihat untuk investasi jang­ka panjang, murah sekali. Kita bisa tahu, makanan yang baik untuk tubuh kita. Juga kecenderungan cedera pada bagi­an mana, sehingga bisa ditentukan olah­raga yang sesuai,” papar Dr. dr. Aris.

Pemeriksaan polimorfisme masih terus berkembang di lab tersebut. Bila di kemudian hari ditemukan hasil-hasil baru, orang yang telah melakukan pemeriksaan akan mendapatkannya pula, tanpa tambahan biaya. Kecenderungan atau bakat terhadap penyakit tertentu juga bisa diketahui, sehingga penyakit bisa dicegah sejak awal dengan pengaturan pola hidup.

Memberdayakan pasien

Dr. dr. Aris menegaskan, “Gaya hidup adalah modal dan pengobatan yang utama. Tanpa ini diperbaiki, cepat atau lambat, gula darah pasien pasti akan naik.” Ia selalu mendorong pasien untuk memberdayakan diri sendiri,. dalam mengelola penyakit.

Hal yang paling sederhana, meminta pasien untuk selalu memotret makanannya sebelum makan, lalu mengirimkannya ke Dr. dr. Aris melalui aplikasi pesan. Ini akan membantu pasien memantau asupan makanannya setiap saat. Ia menyarankan agar pasien juga mengirim foto piring setelah makan, sehingga dokter maupun pasien bisa menilai sendiri, seberapa banyak ia makan.

Pada tahap awal, pasien disarankan untuk memeriksa kadar gula darah sebelum makan, 1 jam setelah makan, dan 2 jam setelah makan. “Pemeriksaan satu jam setelah makan menunjukkan dampak makanan terhadap kenaikan gula darah. Pemeriksaan setelah dua jam, menunjukkan kemampuan tubuh mengatasi kenaikan gula darah,” jelasnya.

Dengan melakukan hal ini secara rutin, pasien akan sadar, makanan apa yang baik dan kurang baik bagi kadar gula darahnya. Ini juga bisa menjadi acuan sederhana, untuk melihat dam­pak makan tertentu, bila pasien tidak ingin melakukan pemeriksaan genetik dan polimorfisme.

Idealnya, memang, pasien melakukan pemeriksaan untuk menentukan asupan nutrisi yang cocok secara spesifik. Namun secara umum, ini bisa disederhanakan dengan asupan makronutrisi dan mikronutrisi yang berimbang.

Pada dasarnya, pasien diabetes harus membatasi asupan makanan yang cepat meningkatkan kadar gula darah. “Tapi, pasien juga tidak boleh sampai kelaparan. Untuk itu, berikan sayur lebih banyak. Kebutuhan protein tetap sama, 1 gr/kg berat badan,” ucapnya. Untuk mudahnya, dalam sekali makan utama, ½ piring berisi sayur; ¼ piring diisi nasi, dan ¼ lagi lauk (sumber protein).

Dengan cara tersebut, pasien akan mendapatkan mikronutrisi dan zat-zat bioaktif, bukan sekadar makronutrisi. Dr. dr. Aris menyayangkan, pengaturan nutrisi kadang terlalu fokus pada makronutrisi dan kalori, hingga melupakan mikronutrisi dan zat bioaktif.

Selain asupan nutrisi, hal utama lainnya dalam pengelolaan diabetes yakni mempertahankan massa otot, dengan latihan fisik. Pilihan latihannya bisa apa saja. Idealnya, lagi-lagi, disesuaikan dengan kondisi polimorfisme gen pasien. Namun setidaknya, pasien konsultasi dengan spesialis kesehatan olahraga (SpKO), bisa ditentukan latihan yang cocok dengan mempertimbangkan usia, BB, kondisi fisik dan penyakit pasien, hingga riwayat cedera dan riwayat keluarga untuk penyakit tertentu.