Ethicaldigest

DE dan Diabetes

Disfungsi ereksi tiga kali lebih mudah muncul pada mereka dengan diabetes. Namun, disfungsi ereksi merupakan komplikasi diabetes yang paling mungkin diatasi.

Disfungsi ereksi berarti keti­dakmampuan berulang untuk mencapai dan/atau mempertahan­kan ereksi yang cukup, untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Meski kekuatan seksual umumnya menurun dengan ber­tambahnya usia, seorang pria sehat dapat menghasilkan ereksi dan menik­mati hubungan seksual, berapapun usianya.

Normal jika pria sesekali gagal men­capai ereksi; biasanya terkait de­ngan kelelahan, sakit atau stres. Pria de­ngan diabetes yang mengalami pe­nu­runan gairah seks (libido), seringkali akibat ketidakseimbangan hormon atau depresi. Bisa juga mengalami ejakulasi dini dan disfungsi ereksi, yang   menurunkan kualitas hidup pasien.

Ronald Klein, dkk., dari Department of Ophthalmology and Visual Science, University of Wisconsin-Madison, dalam Diabetes Care 1996 melakukan studi kohort mengukur prevalensi disfungsi ereksi pada pria berusia >21 tahun, pasien diabetes <30 tahun, mereka yang dengan diabetes lebih 10 tahun, dan pasien diabetes dengan insulin. Setelah disesuaikan dengan berbagai faktor, total subyek yang memenuhi kriteria penelitian selama 10 tahun sebanyak 365.

Semua partisipan berusia >21 tahun mendapatkan pertanyaan: apa­kah diabetes menyebabkan impo­ten­si dan kemampuan untuk mencapai ereksi normal. Pertanyaan tambahan termasuk riwayat menderita neuropati diabetikum, berkurangnya sensasi atau persepsi panas/dingin di tangan dan kaki, ulser kaki, nyeri kaki yang bukan disebabkan artritis, amputasi pada ekstremitas bawah, dll.

Peneliti mendapati, 20% responden memiliki riwayat disfungsi ereksi. Pre­valensi impotensi meningkat seiring usia (1,1% pada kelompok umur 21-30 tahun, menjadi 47,1% pada usia >43 tahun; p<0,0001) dan meningkat seiring lamanya waktu menderita diabetes (p<0,0001); pria diabetes >35 tahun 7,2 kali lebih mungkin mengalami disfungsi ereksi, seperti halnya mereka dengan diabetes 10-14 tahun.

Kejadian impotensi berhubungan pula dengan nilai HbA1c. Pria dengan nilai HbA1c di kuartil keempat beri­si­ko 2,8 kali mengalami impotensi, di­ban­dingkan mereka dengan nilai HbA1c di kuartil pertama. Ini sejalan de­ngan riset sebelumnya oleh McCulloch et al., yang menyatakan. ada hubungan  antara buruknya kon­trol glikemik dengan insiden disfungsi ereksi pada penderita diabetes selama 5 tahun.

Disfungsi ereksi diasosiasikan dengan kejadian retinopati diabetik (berisiko 5,3 kali lebih besar), riwayat menderita neuropati perifer, amputasi, penyakit kardiovaskular, pemakaian obat antihipertensi dan nilai IMT (indeks massa tubuh) yang tinggi.

Patofisiologi DE pada diabetes

Dalam beberapa studi cross-sectional dan longitudinal (Schoeffling et al 1963, Faermal I et al 1974, Bax G et al 1998) menyatakan bahwa hipogonadisme, neuropati dan insufi­siensi arteri berhubungan erat dengan kejadian impotensi.

Relaksasi jaringan ereksi membu­tuh­kan nitric oxide dari neuron non­adrenergik-nonkolinergik dan endo­telium. Diketahui, jaringan penis pada pria diabetes dengan disfungsi ereksi mengalami gangguan neurogenik dan relaksasi otot polos yang dimediasi en­do­telelium. Terjadi peningkatan aku­mulasi produk akhir glikasi (AGEs), dan upregulation arginase.

Penelitian in vivo yang dilakukan McVary et al., menyatakan, neuropati perifer dan sentral, gangguan neuro­transmisi dan disfungsi endotel menjadi patogenesis disfungsi ereksi diabetik. Aliran darah di arteri cavernosal yang adekuat, penting untuk mencapai ereksi optimal. Terjadi perbedaan morfologi, aliran darah dan diameter arteri pada diabetes dan populasi nondiabetes. Ruzbarsky V, dkk., meneliti kondisi arteri penis 30 pria usia 19-85 tahun; 15 di antaranya men­derita diabetes melitus dengan rerata durasi 13 tahun. Pada semua pria usia >38 tahun, ada subsitusi fibrosa dari otot polos longitudinal pada bantalan Ebner. Kemudian, berkem­bang men­jadi proliferasi fibrosa dan intima, fibrosis medial, kalsifikasi dan penyem­pitan lumen. Kondisi ini tampaknya terkait selain faktor usia, juga akibat diabetes. Riset ini dimuat dalam jurnal Investigative Urology (1977).

Kondisi hiperglikemia dapat mem­pe­ngaruhi respons kontraktil sel otot polos cavernosal. Pada penelitian juga diketahui, otot polos penis mening­katkan respons vaksonstriktor. Ke­mung­kinan dimediasi oleh perubahan ekspresi protin kinase C dan jalur sensitifitas RhoA-Rho kinase Ca2+. Perubahan ini dapat memicu flasiditas dan mengubah respons relaksasi menjadi nitric oxide. Disfungsi ereksi tahap akhir mungkin terjadi sebagai komplikasi diabetes, dengan hilangnya enotelium cavernosal dan sel otot polos dari corpus cavernosum. Nehra A, dkk., dalam Journal of Urology (1996) mencatat, pergantian dengan jaringan fibrotik dapat menyebabkan kegagalan ereksi total.     

Pengaruhi kualitas hidup

Jurnal Diabetes Care (2002) me­maparkan hasil studi pada 1.460 pasien diabetes tipe 2 di Italia; 615 orang melaporkan tidak mengalami disfungsi ereksi, 346 kadang-kadang menderita DE, dan 449 kerap mengalami DE. Pada analisa statistik univariate, didapati derajat keparahan impotensi memiliki korelasi negatif dengan skor kualitas hidup (HRQOL). Sementara dalam analisa multivariate, DE tidak secara independen terkait dengan fungsi fisik, nyeri tubuh atau keter­ba­tasan peran. Tetapi terkait secara in­de­penden dengan hasil HRQOL da­lam domain kesehatan umum, keter­ba­tasan peran karena masalah emo­sio­nal, vitalitas, fungsi sosial dan ke­se­hatan mental.  

Studi lain (Jurnal Diabetes Care 2003) membandingkan fungsi ereksi dan kualitas hidup, antara pasien diabetes dengan disfungsi ereksi versus penderita impotensi tanpa diabetes. Riset yang dilakukan Penson dkk., ini mendapati, pasien diabetes memiliki fungsi ereksi dan kepuasan intercourse yang lebih buruk (p=0,004) diban­ding yang tanpa diabetes. Pasien diabetes juga melapor­kan, disfungsi ereksi berpengaruh negatif pada kon­disi psikologis dan emosional mereka secara umum.

Data tersebut menunjukkan bahwa pasien diabetes, lebih mungkin menga­lami disfungsi ereksi parah dibading populasi umum, dan impotensi bisa ber­dampak lebih berat pada kualitas hidup pasien diabetes.

Neuropati dan impotensi

Neuropati merupakan koplikasi pa­ling dini dan sering yang terjadi, akibat tingginya glukosa darah. “Ini menye­bab­kan gangguan metabolisme. Glukosa tinggi menghasilkan produk metabolisme yang merusak sistem saraf. Semakin lama diabetes, sema­kin banyak dan sering mengenai sistem saraf,” terang dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K), Ketua Kelompok Studi Neurofiologi dan Saraf Tepi PERDOSSI Pusat.

Komplikasi saraf tepi akibat diabetes terjadi secara bertahap, dari luar ke dalam mengenai saraf motorik, sensorik dan akhirnya otonom. Keru­sakan pada saraf motorik, antara lain ditandai kaku otot, pegal dan kram yang terjadi secara spontan. Gang­guan pada saraf sensorik mengurangi rang­­sang nyeri atau sensasi panas/dingin.

“Pada kasus impotensi, kerusakan ter­jadi pada saraf otonom yang me­me­rintahkan untuk ereksi,” ujar dr. Luthy.”Sebagian besar sistem saraf su­dah rusak. Sulit untuk mengem­ba­li­kan menjadi normal, walau kondisi dia­be­tesnya kemudian terkontrol. Yang bisa kita lakukan adalah memper­ta­hankan fungsi saraf yang tersisa.”

Antisipasi atau pencegahan neuro­pati, penting dilakukan pada pasien diabetes. Direkomendasikan untuk memberikan vitamin neurotropik (vita­min B1, B6 dan B12), begitu sese­orang terdiagnosa diabetes. Vitamin B adalah makanan saraf yang sangat dibutuhkan, untuk melindungi dan me­regenerasi saraf. Saraf manusia sa­ngat bergantung pada suplai vitamin B.

Sayangnya, menurut dr. Luthy, vitamin B yang secara spesifik bekerja sebagai nutrisi saraf hanya mampu diserap tubuh < 2%. Vitamin B juga digunakan tubuh untuk keperluan lain, seperti dalam metabolisme energi sel, dan membantu masa penyembuhan penyakit.

Studi oleh Ting RZ, Szeto CC, dkk., dalam Archives of Internal Medicine (2006) menyatakan, pasien diabetes yang menggunakan terapi metformin sering mengalami penurunan kadar vitamin B12 (kobalamin) yang signifi­kan dalam tubuh. Sehingga, risiko komplikasi neuropati lebih tinggi. Di beberapa negara, vitamin B12 dipakai sebagai obat analgesik. Vitamin B12 dapat meningkatkan ketersediaan dan keefektifan noradrenaline dan 5-hydroxytryptamine, dalam pengham­batan sistem nosiseptif yang menurun. Dalam model hewan, bukti morfologis dan histologis juga menunjukkan, pemberian jangka panjang methyl­cobalamin meningkatkan sintesis dan regenerasi mielin.

Penelitian menunjukkan, pada dia­betasi setelah 8 minggu mengonsumsi vitamin neurotropik terdapat pening­katan penghantaran saraf. Yakni de­ngan pengurangan rasa nyeri, kese­mutan, rasa terbakar, mati rasa, baal yang signifikan.”Salah satu fungsi vitamin B adalah sebagai bahan baku sel saraf. Apapun yang menyebabkan ke­rusakan saraf, memerlukan rege­ne­rasi saraf. Bahan bakunya salah satu­nya adalah vitamin B. Apalagi ka­re­na penyerapannya yang sedikit, di­bu­tuhkan suplai vitamin B dari makan­an atau bentuk lain,” tutur dr. Luthy. 

Acta Neurologica Taiwanica (2005) mencatat, dari tujuh penelitian yang dilakukan tahun 1954 – 2004, kombinasi vitamin B12 atau dalam ben­tuk methyl­cobalamin murni memi­liki efek positif pada gejala somatik, seperti nyeri dan paresthesia. Tiga stu­di tersebut menya­takan methylco­ba­la­min memperbaiki gejala otonom. (jie)