Ethicaldigest

Menurunkan Angka Komplikasi Diabates, Diperlukan Kebijakan Inovatif – Laporan dari InaHEA di Bali

Nilai HbA1c pasien diabetes Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Tak heran, 74% pembiayaan JKN untuk mengobati diabetes, dihabiskan oleh diabetes dengan komplikasi. Akses pengobatan harus diperluas sehingga pasien bisa mendapat obat oral maupun insulin di FKTP.

“Studi DISCOVER menemukan, rerata nilai HbA1c pasien diabetes Indonesia yakni 9,2%. Ini adalah yang terburuk dari seluruh negara yang mengikuti studi,” ungkap Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Ketua Umum PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia). Studi DISCOVER dilakukan di 38 negara di lima benua, dengan total 15.991 partisipan. Idealnya, pengobatan diabetes mellitus (DM) mencapai target HbA1c <7%, ini menunjukkan gula darah terkendali dengan baik. HbA1c yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik mikrovaskular maupun makrovaskular.

Gangguan kardiovaskular, stroke, dan gagal ginjal termasuk tiga penyakit yang paling banyak menghabiskan dana JKN. Sebanyak 74% (3/4) pembiayaan JKN untuk pengobatan diabetes, disedot oleh diabetes dengan komplikasi. Kebijakan yang inovatif sangat diperlukan untuk mencegah diabetes berkembang menjadi komplikasi, sehingga pembiayaan JKN untuk diabetes bisa jauh berkurang. Ini menjadi topik pembahasan dalam sesi diskusi bertajuk “Economic of Diabetes Mellitus and Innovative Policy”, dalam PIT InaHEA Pertemuan (Ilmiah Tahunan Indonesian Health Economic Association) ke-6 di Bali, 6 November 2019.

Berdasarkan Diabetes Atlas dari IDF (International Diabetes Federation) edisi ke-8 (2017), jumlah pasien diabetes di Indonesia mencapai 10,4 juta. Ini membuat Indonesia menduduki peringkat 6 untuk negara dengan jumlah pasien diabetes terbanyak di dunia. Fakta yang lebih mencengangkan, seperti diungkapkan oleh Prof. Budi Hidayat, S.KM, MPPM, Ph.D, 73% penyandang diabetes di Indonesia tidak sadar bahwa dirinya menderita diabetes mellitus. “Mereka yang saat ini tidak sadar menderita diabetes, dalam 4 – 6 tahun ke depan akan mengalami komplikasi, seperti stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Sehingga terkesan, penyakit-penyakit inilah yang menghabiskan dana JKN. Diabetes tidak pernah disebut, padahal inilah biang keladinya,” tegas Ketua CHEPS-UI (Center for Health Economics and Policy Studies – Universitas Indonesia) ini.

Studi berdasarkan data BPJS 2016 yang dilakukan terhadap 812.204 penyandang diabetes menemukan, 57% di antaranya mengalami komplikasi. Total biaya yang dikeluarkan oleh JKN mencapai 7,7 T, dengan 74% dipergunakan untuk diabetes dengan komplikasi, dan hanya 26% untuk DM2 tanpa komplikasi. Adapun pembiayaan JKN untuk diabetes pada 2018 sudah lebih dari 8 T.

Bila dirinci, pengobatan diabetes pada perempuan membutuhkan biaya Rp 5,4 juta/orang/tahun (tanpa komplikasi) dan Rp 11 juta/orang/tahun (dengan komplikasi). Untuk laki-laki, biayanya lebih besar lagi: Rp 5,7 juta/orang/tahun (tanpa komplikasi), dan Rp 14 juta/orang/tahun (dengan komplikasi). Maka bila semua pasien diabetes tipe 2 (DM2) yang sudah terdiagnosis mendapat pengobatan, akan menelan biaya hingga 59 T. Namun ini belum apa-apa. “Bisa kita buat hitungan sederhana. Kalau seluruh penduduk yang saat ini menderita diabetes dan dibiarkan berkembang menjadi komplikasi, dibutuhkan 199 T untuk biaya pengobatan,” ujar Prof. Budi.

Pola pasien diabetes di Indonesia turut menyulitkan usaha pengelolaan diabetes. Pola ini antara lain tingginya pra diabetes dan DM2 yang tidak terdiagnosis, gangguan fungsi sel beta pankreas yang cepat muncul, banyak pasien yang tidak diobati dengan baik atau tidak patuh berobat, dan angka komplikasi tinggi. Di sisi lain, pembiayaan masih rendah.

Seperti halnya diabetes yang tidak terdiagnosis, pra diabetes juga merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dan pembiayaan kesehatan. ““Kalau dibiarkan, dalam 5 – 6 tahun, sekitar 50% dari pra diabetes mungkin akan menjadi diabetes,” ucap Prof. Suastika.

Ia menyayangkan, “Kita selama ini bertumpu pada hal-hal medis saja: obati dan obati. Usaha ini sering belum mencapai hasil yang maksimal.” Ditambah lagi, pengelolaan DM2 di Indonesia cenderung lamban dan konservatif. “Kita cenderung menunggu. Kalau sudah HbA1c naik, baru obat ditambah, dan ini lama sekali. Padahal, satu pil tidak akan bisa memelihara kadar gula darah lebih dari 1 – 2 tahun. Kita perlu lebih agresif,” tuturnya.

Saat gula darah tidak lagi bisa terkontrol hanya dengan modifikasi gaya hidup, obat anti diabetes harus segera diberikan. Bila monoterapi tidak lagi berhasil – ditandai dengan HbA1c yang mulai naik – skema terapi harus berubah jadi dual therapy, menggabungkan dua obat dengan cara kerja berbeda. Bila cara ini kemudian tidak lagi ampuh, dilakukan triple therapy, kombinasi tiga obat dengan cara kerja berbeda. “Insulin basal juga bisa diberikan pada dual atau triple therapy,” terang Prof. Suastika.

Perluas akses pengobatan

Berbagai negara telah berhasil mengelola DM2 dengan baik dengan memaksimalkan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Prof. Budi menegaskan, “Kalau pemerintah betul-betul serius menurunkan beban penyakit tidak menular (PTM), stop dari hulu sampai ke hilir.” Ini meliputi pencegahan primer yang fokusnya mencegah diabetes, dan pencegahan sekunder yang fokusnya mencegah komplikasi pada diabetes.

Early Access in Diabetes (EAiD) merumuskan empat pilar aksi dini untuk menjawab problematika DM2, dilandasi bukti-bukti empiris. Keempat pilar tersebut meliputi: Pencegahan (mencegah berkembangnya DM2), Deteksi Dini (mengidentifikasi orang dengan risiko tinggi untuk melakukan diagnosis dini), Kontrol Dini (memastikan akses pengobatan dan support agar gula darah terkontrol dan komplikasi sirna), dan Akses Dini (memastikan sistem membuka akses edukasi, perbaikan gaya hidup, dan terapi yang dibutuhkan).

Sayangnya di Indonesia, hingga saat ini pengobatan diabetes masih lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKTL). “Kami harapkan, 80% pasien diabetes selesai ditangani di FKTP sehingga tidak perlu dikonsultasikan ke FKTL. Dengan demikian komplikasi bisa dicegah lebih dini, sehingga mortalitas dan morbiditas berkurang, pembiayaan pun lebih murah,” papar Prof. Suastika.

Dengan 73% penyandang diabetes yang belum terdiagnosis, maka pertama kali program skrining terhadap mereka dengan risiko tinggi, harus dijalankan di FKTP. Misalnya orang dengan kegemukan/obes, obesitas sentral yang ditandai dengan lingkar perut melebihi angka normal (>80 cm untuk perempuan dan >90 cm untuk laki-laki), ada riwayat diabetes dalam keluarga, dan perempuan yang melahirkan bayi >4 kg.

Skrining hendaknya bisa dilakukan di seluruh FKTP. Untuk itu, FKTP harus dilengkapi dengan fasilitas tersebut. Tidak selau mahal. Skrining diabetes hanya butuh timbangan untuk mengukur berat badan, meteran untuk mengukur lingkar perut, dan glukometer untuk menilai kadar gula darah sewaktu. “Pemeriksaan HbA1c untuk memonitor gula darah juga diharapkan ada. Memang agak mahal, tapi toh hanya perlu dilakukan 3 – 6 bulan sekali,” lanjutnya.

Setelah penyandang DM2 didiagnosis, selanjutnya keran akses terhadap pengobatan harus dibuka seluas-luasnya. Obat-obatan anti diabetes, baik oral maupun insulin, seharusnya bisa diberikan di FKTP untuk mempermudah akses bagi pasien. Hal ini berkali-kali ditekankan oleh Prof. Budi.

Sistem kapitasi untuk pembiayaan FKTP perlu diperbaiki. Dengan sistem kapitasi, FKTP mendapat dana sekian rupiah, meliputi biaya pelayanan, jasa, edukasi ke masyarakat, hingga obat-obatan. Di satu sisi, ini diharapkan memacu FKTP untuk mengedukasi masyarakat sehingga penyakit bisa dicegah sedini mungkin. Namun di sisi lain, bisa menjadi bumerang.

“Bila banyak pasien yang membutuhkan obat, maka dana kapitasi yang didapat oleh FKTP jadi sedikit, karena banyak dipakai untuk membiayai obat,” terang Prof. Budi. Ini bisa menimbulkan keengganan bagi FKTP untuk memberikan obat, meski obat tersedia. Akhirnya pasien dirujuk ke FKTL dan mendapat obat di sana, yang tentu pembiayaannya jadi lebih besar, “Seharusnya pembiayaan obat dikeluarkan dari kapitasi.”

Prof. Budi menegaskan, penting untuk melakukan sinkronisasi antara kebijakan dan pedoman yang dikeluarkan asosiasi. “Salah satunya adalah Formularium Nasional yang harus mengikuti Pedoman Diabetes yang dikeluarkan oleh PERKENI,” pungkasnya. (nid)

Diskusi “Economic of Diabetes Mellitus and Innovative Policy” di PIT InaHEA ke-6, Bali, 6 November 2019 / Foto: dok. Forum Ngobras