Ethicaldigest

Memelihara Fungsi Pendengaran

Pasien penyakit kronis harus mengontrol penyakitnya, untuk mencegah berbagai komplikasi, termasuk gangguan pendengaran. Fungsi pendengaran harus diperiksa secara rutin.

Berisiko mengalami gangguan pendengaran, pasien kronis per­lu melakukan tes fungsi pendengar­an secara berkala. “Tes pen­de­ngaran dianjurkan setiap tahun, dan ke­tika pasien merasakan penurunan pen­de­ngaran, meski belum saatnya kontrol,” ujar Dr. dr. Siti Faiza Abiratno, Sp.THT-KL, M.Sc dari Kasoem Balance Hearing & Speech Center,  Jakarta.

Pemeriksaan meliputi tiga hal berikut ini:

  • Tes pendengaran nada murni, untuk menilai suara atau nada dengan volume terendah yang masih bisa dide­ngar oleh pasien. Tes ini mengin­di­ka­si­kan fungsi perifer telinga pasien. Bia­sanya, tes inilah yang pertama kali dila­kukan ketika dicurigai adanya gangguan pendengaran.

Selama tes, pasien duduk dalam booth tertutup, untuk mencegah gangguan sua­ra dari luar. Selanjutnya, pasien diminta mema­kai headphone atau earphone, dan di­instruksikan untuk menekan tombol atau mengangkat tangannya saat mende­ngar bu­nyi pada headphone/earphone. Tes dila­kukan pada masing-ma­sing teli­nga, untuk menilai fungsi tiap te­linga dengan akurat.

  • Tes audiometri tutur. “Tes ini meng­gu­nakan materi tes berupa kata-kata, lalu dinilai berapa persen pasien mam­pu mengulang kata-kata yang dide­ngar dengan benar,” terang Dr. dr. Siti. Tes ini untuk menilai kemampuan pasi­en dalam mengenali fonem; menguji fung­si perifer maupun sistem sentral pasien.
  • Tes audiometri tutur disertai suara latar (speech in noise test). Materi tes berupa kalimat yang disertai suara-suara lain di sekitar (background noise). Secara umum, gangguan pen­de­ngaran bisa dibagi menjadi dua: berkurangnya audibilitas dan berku­rangnya kejernihan suara (clarity).

Berkurangnya audibilitas atau volume suara bisa disebabkan kerusakan sel-sel stereosilia bagian luar, sedangkan berku­rang­nya kejernihan suara berhubungan dengan rusaknya sterosilia bagian dalam atau sistem saraf auditori pusat. Berku­rang­­nya kejernihan suara merupakan gang­­guan distorsi, dan tidak membaik de­ngan penambahan volume suara. Tes au­dio­metri tutur dapat menilai fungsi dan ke­mampuan pendengaran pasien dengan lingkungan suara yang mirip suasana di du­nia nyata, di mana ada latar belakang bunyi.

Dr. dr. Siti menegaskan, pasien penya­kit kronis harus menjalani pengobatan pe­nyakitnya sesuai arahan dokter yang me­rawatnya, untuk meminimalkan risiko atau mem­perlambat munculnya gangguan pen­dengaran akibat penyakit yang dide­ri­tanya. Selain itu, “Pasien juga perlu meng­hindari suara-suara keras.”

Perkembangan tatalaksana diabetes

Pasien diabetes harus berupaya men­ja­ga kadar gula darahnya terkontrol, de­ngan target HbA1c <7%. Kadar gula darah yang terkontrol akan memperlambat mun­culnya berbagai komplikasi, termasuk gang­guan pendengaran.

Cukup banyak terobosan baru dalam tatalaksana diabetes, yang menunjukkan hasil menjanjikan. Misalnya saja obat kombinasi metformin dan DPP-4 inhibitor dosis 1x sehari. DPP-4 inhibitor bekerja dengan memperpanjang waktu produksi incretin sehingga mengoptimalkan pele­pas­an insulin, dengan risiko hipoglikemi rendah. Kombinasi DPP-4 inhibitor de­ngan metformin yang membuat sel tubuh lebih responsif terhadap insulin, bekerja dengan sinergis dan saling melengkapi. Dosis sekali se­hari ditengarai bisa mening­katkan kepa­tuhan (compliance) pasien minum obat.

Injeksi GLP-1 agonis yang merupakan terapi mimetik, juga termasuk salah satu terobosan dalam tatalaksana diabetes. GLP-1 agonis meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pankreas sekaligus mene­kan sekresi glukagon dari sel alfa. Go­long­an obat ini juga memperlambat pengo­song­an lambung dan menimbulkan rasa kenyang, sehingga pasien diabetes tidak makan berlebihan. Pada 5 Desember 2017, Badan Regulasi Obat dan Makanan AS FDA menyetujui semaglutide, GLP-1 ago­nis dosis 1x seminggu. Studi oleh O’Neil, dkk (Lancet, 2018) menemukan, semag­lutide selama 52 minggu—dikombinasi de­ngan konseling diet dan aktivitas fisik—menunjukkan efek penurunan  berat badan (BB) pasien dan ditoleransi dengan baik, dibandingkan plasebo.

Dr. dr. Aris Wibudi, Sp.PD-KEMD me­ma­parkan manfaat alpha lipoic acid (ALA). “Alpha lipoic acid dimanfaatkan sebagai antioksidan. Ternyata, dia juga mam­pu mem­perbaiki metabolisme selular,” ungkapnya.

Studi oleh Agathos, dkk (Journal of In­ternational Medical Research, 2018), menyebutkan dalam konklusinya bahwa pemberian suplemen ALA pada pasien diabetes dengan gejala neuropati, berhu­bu­ngan dengan penurunan gejala neuro­pati dan kadar trigliserida, serta perbaikan kualitas hidup pasien.

Ia mengingatkan, pengobatan utama diabetes adalah perbaikan gaya hidup. “Pada dasarnya, diabetes itu penyakit perilaku. Jadi, yang bisa memperbaikinya adalah perilaku. Sebaik dan secanggih apapun obatnya, kalau tidak disertai de­ngan gaya hidup, pasti akan berkembang buruk, cepat atau lambat,” tuturnya.

Sebagai Ketua Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI), Dr. dr. Aris selalu berupaya mendorong pasien untuk memberdayakan dirinya sendiri dalam mengelola diabetes. Salah satu yang paling sederhana, mengedukasi pasien untuk memahami makanan apa saja yang mem­buat gula darahnya meningkat tajam. Se­hingga, “Pasien sadar mana makanan yang baik, mana yang kurang baik untuknya.”

Pasien juga harus didorong untuk lebih aktif bergerak, dan berlatih fisik secara rutin dan kontinyu. Adapun pilihan latihannya secara umum disesuaikan dengan kondisi fisik dan kesehatannya, usia, dan diabetesnya sendiri.

Pasien gagal ginjal

Pasien penyakit ginjal kronis tahap akhir (PGTA) mutlak membutuhkan dialisis untuk menggantikan fungsi ginjalnya, bila belum bisa menjalani transplantasi. Sa­yang­nya, dialisis juga berdampak buruk ter­hadap pendengaran, seperti halnya pe­nyakit ginjal itu sendiri. Peyvandi dan Roozbahany (Indian Journal of Otolaryngology Head Neck Surgery, 2013) menye­butkan, dialisis dalam jangka panjang menghasilkan akumulasi materi amiloid di banyak jaringan tubuh; termasuk telinga bagian dalam. Toksisitas alumunium pada pasien dialisis kronis, turut berperan dalam munculnya gangguan pendengaran.

Di Indonesia, terapi pengganti ginjal masih didominasi (95%) oleh hemodialisis (HD); hanya sekitar 3% pasien yang menjalani CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis). Kedua pilihan dialisis ini memiliki dampak negatif pada pendengaran, tapi risiko gangguan dengar lebih besar pada pasien HD.

Seperti terungkap dalam studi oleh Vural Fidan, dkk (Acta Acusta united with Acustica, 2012). Studi tersebut mengana­lisis 79 pasien PGTA yang menjalani HD dialysis, dengan 40 orang sehat. Mereka dibagi menjadi tiga kelom­pok; kelompok 1 yakni pasien CAPD, ke­lompok 2 pasien HD, dan kelompok 3 sebagai kontrol. Ditemukan, gangguan pen­dengaran sensorineureal paling ba­nyak terjadi di kelompok 2, dengan rincian: 9 pasien di kelompok 1 (21,9%); 16 pasien di kelompok 2 (42,1%); dan 1 orang di kelompok 3 (2,5%). Kadar serum urea dan kreatinin pun lebih tinggi di kelompok 2.

Melihat hal ini, makin besar alasan untuk mendukung target Kementrian Kesehatan RI menurunkan HD menjadi 50% dan meningkatkan CAPD jadi 30%. Secara umum, CAPD jauh lebih cost effective dibandingkan HD, dan kualitas hidup pasien pun jauh lebih baik.

CAPD lebih efektif jika dimulai sejak awal. Pasien tidak perlu menjalani HD selama bertahun-tahun baru beralih ke CAPD. HD bisa dilakukan dulu beberapa kali ketika PGTA baru ditemukan, hingga kondisi pasien stabil. Setelah kateter Tenckhoff berhasil dipasang di rongga perut, pasien bisa segera menjalani CAPD.

Pelayanan CAPD sudah tersedia di hampir seluruh daerah di Indonesia, dan sudah terintegrasi dengan HD. Artinya, pusat kesehatan yang melayani HD umumnya juga bisa melayani CAPD.

Pelaksanaan CAPD bukannya tanpa kendala. Cukup banyak peserta CAPD yang akhirnya drop out karena keterse­diaan cairan dialisis yang di beberapa dae­rah (seperti Maluku dan Papua) kadang sulit didapat, akibat distribusi yang terhambat.

Pasien juga harus diedukasi dengan baik untuk selalu menjaga kebersihan ka­te­­ter serta mengganti cairan CAPD de­ngan baik, untuk menghindari risiko infek­si. In­feksi juga termasuk faktor yang me­ning­kat­kan angka drop out. Umumnya, CAPD ha­nya berjalan baik selama 2-3 tahun prta­ma; setelah itu menurun, diduga akibat infeksi.

Peran dokter adalah vital dalam me­ning­katkan cakupan CAPD, karena kepu­tusan pasien sangat terpengaruh oleh saran dokter untuk terapi pengganti ginjal. Bagi penyedia layanan dialisis, CAPD mungkin dirasa kurang menguntungkan ketimbang HD, karena tidak ada/minim bayaran bagi dokter dan perawat yang membantu pelayanan CAPD. Dibutuhkan intervensi radikal misalnya menerapkan sistem insentif, dan mengubah sistem pembayaran oleh JKN.

Kembali ke masalah gangguan pende­ngar­an, penting untuk menilai fungsi pen­dengaran pasien PGTA sedini mungkin, dan memasang alat yang sesuai untuk membantu fungsi pendengaran pasien. Hal ini diharapkan bisa mempertahankan fungsi pendengaran, dan pada akhirnya memperbaiki kualitas hidup pasien. (nid)