Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia. Karenanya, pengelolaan penyakit tidak saja dilakukan oleh dokter spesialis, tapi juga dokter umum yang bekerja di pelayanan primer. Perhimpunan Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) tahun 2015 mengeluarkan pedoman praktis klinis, untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani hipertensi. Terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah.
Definisi
Pedoman ini sama dengan pedoman-pedoman di luar negeri, menggunakan batasan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan berulang untuk mendefinisikan hipertensi. Penderita kemudian diklasifikasikan berdasar tekanan darahnya (tabel 1). Ini menjadi dasar penentuan tatalaksana hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013).

Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritma diagnosis yang digunakan dalam pedoman PERKI, diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program.

Tatalaksana
Tatalaksana hipertensi terbagi dua: non farmakologis dan farmakologis. Tatalaksana nonfarmakologis mencakup menjalani pola hidup sehat. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan.
Bila setelah jangka waktu tersebut tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan, atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Pola hidup yang dianjurkan:
- Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan.
- Mengurangi asupan garam. Diet rendah garam juga bermanfaat, untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥2. Dianjurkan, asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari
- Olah raga. Dianjurkan dilakukan secara teratur 30-60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu. Pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktivitas rutin di tempat kerja.
- Mengurangi konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas /hari pada pria atau 1 gelas /hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol, membantu menurunan tekanan darah.
- Berhenti merokok.
Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pasien hipertensi derajat 1, tidak menunjukkan perbaikan setelah >6 bulan menjalani pola hidup sehat, dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu:
- Bila mungkin berikan obat dosis tunggal.
- Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya.
- Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun). seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
- Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
- Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien. mengenai terapi farmakologi.
- Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines, memiliki persamaan. Berikut adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013.

Tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskuler
Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah bertujuan mencegah kematian, infark miokard, stroke, pengurangan frekuensi dan durasi iskemia miokard, serta memperbaiki tanda dan gejala. Target tekanan darah yang banyak direkomendasikan, adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik <90 mmHg.
Penyakit jantung koroner
Angina Pektoris Stabil
Betablocker
Betablocker merupakan obat pilihan pertama, dalam tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negative. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung, maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga menghambat pelepasan renin di ginjal, yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (β1) lebih banyak direkomendasikan, karena tidak memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsic.
Calcium channel blocker (CCB)
CCB digunakan sebagai obat tambahan, setelah optimalisasi dosis betabloker, bila terjadi:
- Tekanan darah yang tetap tinggi.
- Angina yang persisten.
- Atau adanya kontraindikasi absolute pemberian dari betabloker.
CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard, dengan menurunkan resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner. Perlu diingat, walaupun CCB berguna pada tatalaksana angina, sampai saat ini belum ada rekomendasi yang menyatakan bahwa obat ini berperan terhadap pencegahan kejadian kardiovaskular, pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
ACE inhibitor (ACEi)
Penggunaan ACEi pada pasien dengan penyakit jantung koroner, yang disertai diabetes mellitus dengan/atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri, merupakan pilihan utama. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular.
Pada pasien hipertensi usia lanjut (>65 tahun), pemberian ACEi juga direkomendasikan, khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar, ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria usia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir kardiovaskular dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang sama.
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi. Beberapa penelitian besar menyatakan, valsartan dan captopril memiliki efektivitas yang sama pada pasien paska infark miokard, dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi.
Diuretik
Diuretik golongan tiazid mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, seperti Veterans Administrations Studies, MRC dan SHEP.
Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang, adalah untuk tatalaksana angina yang belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Tetapi sampai saat ini tidak ada data yang menyatakan,penggunaan nitrat dalam tatalaksana hipertensi, selain dikombinasi dengan hidralazin, pada kasus-kasus tertentu.
Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NST)
Dasar tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut, adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Meski kenaikan tekanan darah dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, harus dihindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat, terutama tekanan diastolik. Karena dapat mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen, sehingga memperberat keadaan iskemia.
Hipertensi berat dan edema pulmonal akut
Pasien hipertensi berat dengan edema pulmonal akut, dapat disertai peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh dalam kelompok sindromakoroner akut. Terapi awal yang direkomendasikan adalah furosemide, ACEi dan nitrogliserin (IV). Selanjutnya bisa ditambahkan obat lain, dengan pengawasan ketat. Bila gejala utama pasien adalah iskemia atau takikardia, dianjurkan pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV).
Tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin, dengan monitor ketat pada kondisi iskemia dan serebral (25% dari mean aterial pressure pada 1 jam pertama dan bertahap selama 24 jam, hingga mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan).
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST)
Seperti pada IMA-NST, dasar tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut, adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan.
Gagal Jantung
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung. Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah, bermanfaat mencegah gagal jantung, termasuk pada golongan usia lanjut. Penelitian memperlihatkan diuretic, betablocker, ACEi dan ARB dan CCB dapat mencegah gagal jantung.
Meski riwayat hipertensi merupakan hal yang sering terjadi pada gagal jantung, tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi saat sudah terjadi disfungsi venrikrel kiri. Pada pasien-pasien ini pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist), lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan tekanan darah.
Fibrilasi Atrial
Atrial fibrilasi merupakan kondisi yang juga sering dijumpai pada hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, harus dinilai kemungkinan terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang telah dijabarkan pada guidelines ESC. Dan sebagian pasien harus mendapat terapi antikoagulan, kecuali bila terdapat kontraindikasi.
Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, memiliki laju ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian beta blocker atau CCB golongan non dihidropiridin, pada kelompok pasien ini. Banyak penelitian menyimpulkan, pemberian ARB dan betablocker adalah terapi pilihan untuk mencegah fibrilasi atrial pada pasien hipertensi, terutama yang sudah memiliki gangguan organ jantung.
Hipertrofi Ventrikel Kiri
Guidelines ESH yang diterbitkan tahun 2009 menjelaskan bahwa hipertrofi ventrikel kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20%. Beberapa penelitian menemukan, menurunkan tekanan darah berhubungang erat dengan perbaikan hipertrofi ventrikel kiri. Banyak studi komparatif yang menyimpulkan bahwa pemberian ACEi, ARBs dan CCB lebih memiliki efek tersebut dibanding betablocker.