Ethicaldigest

Suplementasi dan Bahaya 3rd Hand Smoke

Morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia cukup tinggi pada anak balita. Status gizi berperan penting dalam usaha pencegahan atau tatalaksana pneumonia.

Sudah 10 tahun gerakan Hari Pneu­monia Sedunia diluncur­kan. Namun, angka prevalensi pneumonia tetap tinggi. Pneumonia membunuh balita lebih banyak daripada penyakit lain; lebih banyak dibanding gabungan AIDS + malaria + campak.

“Padahal pneumonia sangat bisa dicegah,” tegas Dr. dr. Nastiti Kas­wan­dani, SpA(K), Ketua UKK Res­pi­rologi PP IDAI.

Penanggulangan pneumonia meni­tik­beratkan pada upaya proteksi anak dan pencegahan, baru kemudian peng­obatan. Proteksi dengan cara pembe­rian ASI eksklusif (mengurangi risiko pneumonia  15-23%), peningkatan status gizi anak dengan nutrisi yang cukup, dan suplementasi vitamin A dua kali setahun. Yang tak kalah penting adalah mengurangi polusi asap rumah tangga dari tungku/kompor, tidak merokok di dalam rumah dan menumbuhkan ke­biasaan cuci tangan dengan air bersih.

Suplementasi vitamin A

Riset di RSUP Sanglah, Denpasar, oleh Artawan, Putu Siadi Purniti dan I G Lanang Sidiartha menyatakan, ter­da­pat hubungan antara status gizi dan derajat keparahan pneumonia pada anak. Penelitian cross-sectional  ini di­la­­kukan Januari – Desember 2014. Total subyek 114 (58,8% laki-laki). Se­ba­­nyak 35,1% berusia 0-6 bulan, 56,11% dengan status nutrisi baik. Ter­ca­tat 87 (76,3%) pasien mengalami pneu­monia berat. Analisis bivariat me­nunjukkan, terdapat hubungan antara status gizi dengan derajat kepa­rah­an pneumonia; malnutrisi berisiko 2,176 kali lebih besar menye­babkan pneumonia berat.

Malnutrisi merupakan faktor risiko yang menyebabkan 53% mortalitas penyakit infeksi pada balita di negara berkembang. Menurut Scholars Journal of Applied Medical Sciences (2014), pneumonia anak dengan malnutrisi berat memiliki mortalistas tinggi. Studi di Fortaleza dan Brazil mendapati, anak dengan malnutrisi sedang dan berat berisiko 4,6 kali me­ng­alami pneumonia. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia hingga 25%.

Menurut Dr. Nastiti, balita yang me­ng­alami defisiensi vitamin A beri­siko terkena pneumonia karena per­ta­hanan saluran napas menjadi lemah. Retinol terlibat dalam produksi, per­tum­buhan dan diferensiasi sel darah merah, sel limfatik dan antibodi, juga untuk integritas epitel. Vitamin A ter­bukti efektif mencegah pneumonia, ter­utama yang berhubungan dengan campak.

Dalam Cochrane systematic review oleh Taixiang Wu, dkk., yang mengambil data dari 6 percobaan melibatkan 1740 anak, didapati suplementasi vitamin A dosis rendah mengurangi secara signifikan rerata rekurensi bronkopneumonia (OR 0,12; 95% CI 0,03 – 0,46). Studi lain menyatakan, anak dengan defisiensi vitamin A berisiko lebih besar menga­lami kematian akibat ISPA. Glasziou PP, et al., menyatakan suplementasi vitamin A terbukti mengurangi risiko kematian, pada anak-anak usia 6-59 bulan sampai 30%.

Peran zinc

Pneumonia dan diare merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian pada anak. Kedua penyakit ini dapat terjadi terpisah atau bersa­maan. Sebuah penelitian retrospektif di RSUD Dr. Zainoel Abidin, Aceh, melibatkan 347 anak (54,2% mende­rita diare, 29,4% pneumonia, 4,3% dengan diare dan pneumonia). Data diperoleh dari rekam medis pasien 1 Januari 2008 – 31 Desember 2009.

Sekitar 80% subyek berusia ku­rang dari 1 tahun, 60% gizi kurang dan suhu badan 38°C. Mereka yang meng­alami muntah 46,7%. Yang disertai anemia terdapat pada pasien diare dan pneumonia. Riset yang dilakukan Nur­jan­nah dan Nora Sovira ini menyim­pulkan, secara umum kejadian infeksi diare lebih tinggi dari pneumonia, dan sekitar 4,3% terjadi insiden diare be­serta pneumonia.

Suplementasi zinc selain terbukti mencegah diare berulang, juga berhu­bung­an dalam usaha pencegahan pneumonia. Diare berulang menguras simpanan zinc dalam tubuh. Zinc adalah mikronutien penting yang diperlukan untuk mempertahankan sel usus, pertumbuhan tulang dan fungsi kekebalan tubuh.

Sebagian besar makanan berkadar zinc tinggi berasal dari hewan, seperti daging, ikan dan produk susu. Makan­an-makanan ini mungkin sulit diakses oleh penduduk berpenghasilan minim. Se­mentara itu, serat dan senyawa phy­tates yang ditemukan dalam ma­kan­an seperti sereal dan kacang-ka­cang­an, akan mengikat zinc dan meng­akibatkan penyerapan yang buruk.

Pediatrics (2007) menjelaskan, defisiensi zinc berdampak serius de­ngan melemahnya sistem imun, me­nye­babkan pengingkatan prevalensi penyakit infeksi. Pemberian suple­men­tasi zinc, menurut penelitian, mam­pu mencegah sekaligus efektif dalam pengobatan pneumonia. Zinc mengu­rangi kerentanan terhadap infeksi akut saluran napas bawah, dengan meng­atur berbagai fungsi kekebalan. Termasuk melindungi kesehatan dan integritas sel-sel pernapasan, selama peradangan/cedera paru. 

Audrey M. I. Wahani dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Sam Ratulangi/RSU Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado, meneliti pengaruh pemberian suplemen zinc dalam perbaikan respons klinis pasien pneumonia anak, serta waktu pemu­lih­an dan lama tinggal pasien di rumah sakit. Studi quasi eksperimental ini dilakukan dalam bentuk observasi prospektif, pada pasien pneumonia berusia 2 bulan – 5 tahun.

Peneliti mendapati bahwa pembe­rian zinc bermanfaat memperbaiki waktu demam 22,5%, sesak napas 28,9% dan laju napas 65,8% lebih singkat dibanding kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) pada kesembuhan batuk dan waktu rawat inap pada kelompok zinc atau kontrol. Riset yang dimuat dalam Sari Pediatri Vol. 13 (2012) ini me­nyimpulkan, pemberian suplemen zinc 20 mg pada anak dengan pneumonia efektif dalam pemulihan demam, sesak napas dan laju pernapasan.

Berbagai dosis suplementasi zinc juga telah diteliti, dari 15-140 mg per minggu, dengan kisaran atas melebihi rekomendasi asupan harian (RDI) untuk anak-anak usia <1 tahun (2 mg/hari), dan 7 mg/hari untuk usia 1-3 ta­hun. Tang AM dan Graham NM me­negaskan, penting untuk memahami dosis optimal suplementasi, karena zinc dosis tinggi yang diberikan jangka panjang, berhubungan dengan gang­guan penyerapan tembaga dan besi.

Riset oleh Sazawal S (1998), Roth DE (2008), Richard SA dan Black RE (2010), serta Poole C (2010) menya­ta­kan, suplementasi zinc secara rutin lebih dari 3 bulan berdampak positif me­­nurunkan durasi infeksi akut sa­luran napas bawah, pada anak-anak di negara berkembang. Zinc diketahui pula dapat bekerja sama dengan anti­biotik dalam pengobatan ISPA yang pa­rah, untuk mengurangi angka kematian akibat pneumonia.

3rd hand smoke

Yang kerap diabaikan adalah dam­pak dari paparan asap rokok di dalam rumah. Mengendalikan paparan asap rokok menjadi upaya proteksi anak dari pneumonia. Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Jumlah perokok mencapai 50 juta orang. Data nasional menyatakan terjadi peningkatan prevalensi perokok remaja dari tahun ke tahun; 7,2% (Riskesdas 2013), 8,8% (Riskesnas 2016) dan 9,1% (Riskesdas 2018). 

WHO melalui data Indonesia Global School-based Student Health Survey dan Global Youth Tobacco Survey tahun 2016 menjabarkan, remaja perokok di Indonesia mencapai angka 13% dari total populasi, 2% di antara­nya anak perempuan. Yang juga mengejutkan, 9 dari 10 pelajar di Indonesia  mencoba merokok sejak usia di bawah 14 tahun.

“Anak yang terpapar rokok, 4 kali lebih tinggi memerlukan rawat inap karena masalah pernapasan dan 2-3 kali lebih tinggi dalam hal kunjungan ke gawat darurat karena masalah per­napasan,” urai Dr. Nastiti. “Yang juga kurang diperhatikan adalah 3rd hand smoke. Ini adalah paparan zat kimiawi rokok yang menempel pada permu­ka­an ruang, seperti sofa, gorden, baju atau rambut. Tidak kalah bahayanya de­ngan 2nd hand smoke (perokok pasif).”

Residu zat kimia asap rokok tidak bisa hilang dengan membuka jendela, vacuum, atau menyalakan kipas angin. Riset menyatakan, anak yang tinggal dengan perokok lebih banyak yang sakit. Sebuah studi  oleh Karen M. Wilson, dkk., melibatkan 5002 responden berusia 6-18 tahun yang tinggal di apartemen, rumah dengan dinding yang saling menempel, dan yang dindingnya terpisah dengan rumah lain. Peneliti mengukur nilai cotinine, sebuah marker dari paparan asap rokok pada 2nd hand smoke.

Hasilnya didapati 73% anak ter­eks­pos asap rokok. Anak yang tinggal di apartemen memiliki level cotinine 45% lebih tinggi, dibanding mereka yang tinggal di rumah dengan dinding antarrumah terpisah. American Journal of Therapeutics (2004) menya­ta­kan tingginya cotinine, berkorelasi dengan sindroma kematian bayi mendadak (suddent infant death syndrome/SIDS) karena hipoksia.

“Demikian pula dengan rokok elektrik (vape).  Asap vape mening­kat­kan kerentanan sel-sel epitel sa­luran napas, terhadap bakteri pe­nyebab pneumonia,” tutur Dr. Nastiti. American Thoracic Society (2014) menyatakan, rokok elektrik mening­kat­kan resistensi bakteri terhadap obat, dan berpotensi mengancam nyawa. Di lain sisi, juga mengurangi kemampuan sel manusia untuk mem­bu­nuh bakteri. Rokok elektrik tetap menghasilkan nikotin, dalam bentuk uap bukan asap.

Imunisasi pencegahan

Sebagai upaya pencegahan,  dila­ku­kan lewat usaha imunisasi lengkap; imunisasi terkait pneumonia meliputi DPT, PCV, Hib, campak dan influenza. Imunisasi pneumonia conjugate vaccine (PCV) tahun 2018 sudah dilaksanakan sebagai uji coba, di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Barat.

“Pencegahan pneumonia pada HIV anak dengan memberikan cotri­mo­xazole prophylaxis, dan suplemen­tasi zinc pada anak yang diare,” terang Dr. Nastiti. (jie)