Ethicaldigest

Menuju Indonesia Bebas TB 2030

Mencegah TB dimulai dari skrining anak yang berpotensi terinfeksi TB. Pemeriksaan TST dan IGRA sama baiknya mengdiagnosis LTBI pada anak.

Indonesia berkomitmen mengeliminasi tuberkulosis pada tahun 2030. Menu­ju Indonesia bebas tuberkulosis, pen­ting untuk melakukan pencegahan. “Salah satu yang kita cegah adalah infeksi TB laten atau LTBI,” kata dr. Erlina Bur­han, Sp.P, dari RS Persahabatan, Jakarta. LTBI adalah keadaan yang menggambar­kan respon imun yang persisten akibat anti­gen, berupa Micobacterium tuberculosis tanpa adanya bukti manifestasi klinis.

Angka kejadian LTBI sangat tinggi di Indonesia. Penelitian di RS Persahabatan menggunakan pemeriksaan TST dan IGRA, menemukan angka kejadian 40-60%. “Penelitian lain menggunakan TST pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi TB di Aceh 53,8%,” terang dr. Erlina.

WHO menetapkan tahun 2050 sebagai target World End TB. Salah satu pilar yang men­jadi target adalah LTBI yang belum menjadi prioritas di banyak negara, terma­suk Indonesia. Kasus TB yang tinggi, men­jadi penyebab potensi LTBI juga tinggi. Berhasil­nya penanganan kasus LTBI, menentukan pen­capaian target du­nia bebas TB tahun 2050.

Isoniazide profilaksis terapi menjadi sa­tu langkah untuk tatalaksana infeksi TB laten di Indonesia. Capaian terapi pada populasi yang ditargetkan program nasio­nal, baru 16% pada penderita HIV dan 8,5% pada anak usia <5 tahun. Perlu  pendekatan baru yang diharapkan dapat mempercepat tercapainya target ini.

Pengobatan LTBI

Pastikan tidak ada TB aktif, sebelum memulai pengobatan TB laten. Paling pen­ting, pasien bersedia dan sanggup men­ja­lani pengobatan hingga selesai dan dila­ku­kan pemantauan selama pengo­batan. Ke­mudian, pasien tidak memiliki kontrain­dikasi medis, seperti menderita penyakit hati akut.

Terapi harian dengan isoniazide sela­ma 6 bulan, masih menjadi regimen standar di negara dengan TB tinggi. Regimen terbaru adalah rifapentin dan isoniazide, 1x seming­gu selama 3 bulan. Atau dosis ha­rian rifampisin dan isoniazide, selama 3-4 bulan.

Rifapentine adalah derivat cyclopetyl dari rifampicin, yang aktif terhadap M. tuberculosis. Penelitian memperlihatkan, rifapentine 5x lebih poten dibanding rifampicin. Penelitian Sterling, 12 dosis rifapentim/isoniazid selama 3 bulan lebih efektif dari INH selama 9 bulan. Angka kepatuhan dan toksisitas pada hati juga lebih baik pada INH/rifapentin.

TB pada anak

Anak berisiko tinggi terinfeksi TB, terutama yang berusia <5 tahun. “Banyak pe­nelitian menunjukkan, risiko infeksi TB pada anak yang terpapar pasien TB sangat tinggi, di negara berpendapatan rendah atau tinggi,” kata Dr. dr. Nastiti Kaswan­dani, Sp.A. Risiko terinfeksi TB tinggi pada anak yang tinggal bersama orang dewasa dengan BTA (basil tahan asam) positif (RR, 6,78%). Dokter Erlina dan dr. Nastiti juga mene­kan­kan penting­nya pencegahan TB, antaranya de­ngan mem­beri pengobatan pada LTBI. Skrining anak dengan LTBI tidak mudah, karena biasanya tidak menunjukkan gejala TB. Faktor yang meningkatkan risiko anak ter­infeksi TB, adalah kontak dengan penderita TB. 

Ada dua jenis pemeriksaan yang biasa dila­kukan TST (tuberculin skin test) dan IGRA (interferon gamma release assay). Sebuah penelitian di Indonesia memban­ding­kan QuantiFERON (IGRA) dengan TST pa­da anak berusia <15 tahun. Penelitian ini mem­perlihatkan sensitifitas dan spesifitas QuantiFERON sedikit lebih baik dari TST (sen­sitifitas 63% vs 50%, spesifitas 87% vs 83%).

Amerika Serikat kini banyak menggu­nakan IGRA, tapi di negara lain termasuk Indonesia, masih menggunakan TST. “Banyak negara menggunakan two step approach, yaitu mengujikan dengan TST diikuti IGRA, ketika TST negatif,” kata dr. Nastiti. “Ini untuk meningkatkan sensiti­vi­tas, terutama pada orang dengan immu­no­compromised atau ketika TST positif. WHO berpendapat, uji tuberkulin atau IGRA bisa untuk mendiagnosis LTBI.”

Ada kelompok berisiko tinggi yang harus dilakukan pemeriksaan. Di antara­nya anak-anak dengan komorbiditas, seperti anak dengan sakit jantung, hemo­glo­binopati, keganasan, ginjal dan gang­guan imunologis, seperti HIV. IDAI mere­ko­mendasikan pemeriksaan pada anak beri­siko tinggi usia 1-2 tahun setelah infek­si perama, bayi baru lahir dan 5 tahun pertama kehidupan. Kelompok berisiko tinggi lainnya adalah anak yang kontak pasien TB dalam satu rumah, anak yang tinggal di asrama, panti asuhan, area bermain, malnutrisi dan anak dengan immunocompromised.

Berikutnya, setelah anak positif terin­fek­si TB adalah mendiagnosa penyakit­nya aktif atau tidak. “Bisa menggunakan alur alogaritma. Lihat lagi gejalanya, apa­kah sesuai dengan TB atau tidak. Kalau ya, berikan anti TB,” jelas dr. Nastiti.

Tatalaksana

Semua pengobatan TB memiliki efek samping. INH/rifampicin bisa diberikan lebih singkat, tapi  hepatotoksisitasnya lebih tinggi. Yang hepatotoksisitas paling rendah adalah INH/RFP. Bisa dime­nger­ti, karena pemberiannya hanya 1x se­minggu dan hanya memberikan INH tanpa rifampicin.