Ethicaldigest

Tatalaksana dan Terapi Aritmia

Aritmia, khususnya fibrilasi atrium, banyak diderita masyarakat Indonesia. Banyak yang terlambatan terdiagnosis karena minimnya dokter spesialis aritmia dan langkanya alat diagnosis.

Fibrilasi atrium (FA) adalah bentuk aritmia yang paling banyak terjadi. Secara epidemiologi, aritmia di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain. “Sekitar 2,2 juta orang Indonesia diperkirakan menderita fibrilasi atri­um,” papar dr. Dicky Armein Hanafy, SpJP(K), FIHA, Ketua Indonesian Heart Rhy­thm Society (InaHRS). Tercatat, 87% pasien yang meninggal mendadak mengalami aritmia.

Teknologi dan tatalaksana aritmia te­lah berkembang pesat. Peningkatan pe­nge­tahuan tentang aritmia sekaligus meng­gambarkan meningkatnya tingkat ke­pedulian para spesialis jantung dan pem­buluh darah di seluruh dunia terhadap penyakit ini.

Di Indonesia, pengetahuan dokter spe­sialis jantung dan pembuluh darah tentang aritmia belum merata. Terdapat perkembangan pesat di Jakarta, tetapi di kota-kota lain masih perlu ditingkatkan. Ini termasuk jumlah dokter subspesialis aritmia maupun fasilitasnya. Dari 1.000 dok­ter spesialis jantung dan pembuluh darah yang ada, hanya 25 subspesialis aritmia. Berarti rasio 1:10.000.000; idealnya 1:100.000.”

Aritmia dapat menyerang semua usia, dari bayi hingga lansia. Gejala-gejala aritmia spektrumnya luas mulai dari ber­de­bar, kliyengan, pingsan, stroke bahkan kematian mendadak. Perlu diwaspadai pula gejala tidak khas aritmia, namun dapat mengarah pada penyakit tersebut, yakni lesu, pusing dan kerap kencing.

Aritmia

Aritmia merupakan gangguan yang terjadi pada frekuensi, keteraturan, tempat asal denyut atau konduksi impuls listrik jantung. Aritmia merupakan penyakit de­ngan gejala palpitasi ringan hingga berat, sehingga menimbulkan gangguan klinis.

Menurut Hanafi (2001), aritmia jantung (heart arrhythmia) menyebabkan detak jantung terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Aritmia jantung umumnya tidak berbahaya. Kebanyakan orang sese­kali mengalami detak jantung yang tidak beraturan kadang menjadi cepat, kadang melambat. Namun beberapa jenis aritmia jantung dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan mengancam nyawa.

Pada jantung orang normal, setiap de­nyut berasal dari nodus SA (irama sinus normal). Jantung berdenyut sekitar 70x permenit pada keadaan istirahat. Freku­en­si melambat (bradikardia) selama tidur dan dipercepat (takikardia) oleh emosi, olahraga, demam atau rangsangan lain. Pada orang muda sehat yang bernapas dengan frekuensi normal, frekuensi jan­tung bervariasi sesuai fase pernapasan meningkat selama inspirasi dan menurun selama ekspirasi.

Dalam kasus aritmia, irama bukan ber­asal dari nodus SA. Atau, terjadi ketidak­ter­aturan irama sekalipun berasal dari nodus SA. Jika frekuensinya <60x/menit di­se­­but bradiaritmia (sinus bradikardi) atau takiaritmia bila >100x/menit (sinus takikar­di), serta terdapat hambatan impuls supra / intraventrikular.

Dalam keadaan istirahat, aktivitas jan­tung umumnya tidak terasa. Setelah me­la­kukan olahraga  cukup berat atau  meng­ala­mi stres emosional, denyut jantung dapat dirasakan untuk suatu periode yang singkat. Hal ini termasuku berdebar yang fisiologis. Berdebar yang terjadi di luar keadaan fisiologis tergolong debar abnormal. Pasien mengeluh berdebar ketika denyut jantungnya cepat maupun lambat, tidak teratur, terasa lebih kuat, ada jeda saat terasa sakit dada.

Berdebar adalah gejala tersering arit­mia. Bila jantung berdenyut terlalu lambat, jumlah darah yang mengalir di dalam sirkulasi berkurang membuat kebutuhan tubuh tidak terpenuhi. Hal ini  menimbul­kan gejala seperti mudah capek, kelelahan kronis, sesak, kliyengan bahkan pingsan. Yang berbahaya, bila jumlah darah yang menuju otak berkurang bahkan minimal; ini yang menyebabkan  pingsan atau perasaan melayang. Pada keadaan yang lebih parah dapat menyebabkan stroke. 

“Sindrom kelelahan berkepanjangan, terjadi berhari-hari dalam seminggu dan berkali-kali; 20%-nya disebabkan aritmia,” kata dr. Dicky. 

Sebaliknya, bila berdenyut terlalu ce­pat maka jantung akan mengalami kelelah­an dan menimbulkan gejala-gejala berde­bar. Biasanya disertai rasa takut karena de­baran jantung yang begitu cepat (sam­pai lebih dari 200x/menit). Pada keadaan yang ekstrim di mana bilik jantung ber­denyut sangat cepat dan tidak terkendali, terjadi kegagalan sirkulasi darah.

Beberapa hal yang meningkatkan risi­ko aritmia di antaranya, konsumsi obat-obatan yang mempengaruhi persarafan oto­nom, ketidakseimbangan elektrolit dan is­kemia. Bisa karena kelainan struktural jan­tung seperti fibrosis, sikatriks, infla­ma­si, jaringan abnormal dan kalsifikasi. Atau, akibat rangsangan dari luar seperti pacemaker.

Fibrilasi atrium

Kasus aritmia yang paling banyak ter­jadi adalah fibrilasi atrium. Tak jarang stroke adalah manifestasi klinis pertama dari FA. FA merupakan suatu penyakit ter­kait umur (aging disease). Prevalensi FA mencapai 1-2% dan terus meningkat se­iring usia.

Studi observasional (MONICA, multinational monitoring of trend and determinant in cardiovascular disease) me­nunjukkan, pada populasi urban di Jakarta angka kejadian FA sebesar 0,2 %;  rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Dalam skala yang lebih kecil, berdasar data RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, pre­va­lensi FA meningkat setiap tahunnya; 7,1% (2010), meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).

“Kejadian stroke meningkat 5x lipat pa­da mereka yang mengalami FA,” tegas dr. Dicky. “Bekuan darah yang terjadi di ku­ping jantung akibat gangguan irama, berisiko lepas dan menyumbat pembuluh darah di otak. Kondisi ini lebih parah di­ban­ding stroke biasa. Bekuan darah bisa me­­nyumbat pembuluh sampai ½ bagian otak.”

Tatalaksana FA

Tatalaksana aritmia meliputi terapi farmakologi, elektroterapi dan terapi bedah.

Terapi farmakologis. Pada dasarnya terapi farmakologi menggunakan 3 jenis obat. “Pertama, antikoagulan untuk men­cegah stroke. Kedua, obat pengen­dali laju supaya iramanya tidak cepat. Ketiga, obat untuk mengembalikan irama FA ke irama sinus,” papar Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, Sp.JP(K), FIHA, FasCC, Guru Besar Ilmu Kar­diologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.

Warfarin merupakan antikoagulan yang banyak digunakan pada kasus FA. Obar ini mengganggu aksi vitamin K, yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Obat ini membutuhkan banyak pengawas­an karena indeks terapi yang sempit.

“Keberhasilan terapi warfarin sangat dipengaruhi interaksi dengan makanan dan profil genetik pasien,” tambah Prof. Yoga. Sangat penting untuk menjaga jum­lah vitamin K yang konsisten dalam ma­kan­an sehari-hari, untuk membantu menja­ga INR (international normalization ratio) atau tingkat keenceran darah di kisaran 2-3.

“Jika INR lebih dari 3 risiko perdarah­an meningkat. Jika kurang dari 2, efikasi untuk mencegah stroke jelek,” papar Prof. Yoga. “Sebenarnya obat ini tidak praktis, cuma harganya murah.”

Saat ini telah dikembangkan obat anti­ko­agulan oral baru (OKB), seperti dabi­ga­tran, apixaban, rivaroxaban dan edoxa­ban.  OKB adalah sebuah lompatan besar te­rapi antikoagulan yang bukan saja efek­tif, tetapi juga menyelesaikan masalah risi­ko perda­rah­an, reaksi silang antarobat, hu­bungan do­sis-efek yang sulit dipredik­si, dan pe­ngaruh makanan terhadap absorbsi obat. 

“Pakai OKB tidak perlu cek INR, langsung makan saja,” tegas Prof. Yoga.

Riset oleh Ruff CT, Giuqliano RP, dkk, mencoba membandingkan 4 OKB dengan warfarin untuk pencegahan stroke pada pasien FA. Sebanyak 42.411 partisipan mendapat OKB, dan 29.272 orang dengan warfarin.  Peneliti mendapati, OKB memiliki manfaat dan risiko yang lebih baik, dalam arti mengurangi risiko stroke, perdarahan intrakarnial dan mortalitas yang signifi­kan. Perdarahan mayor sama seperti pada kelompok warfarin, dengan lebih banyak perdarahan gastrointestinal. Keamanan dan efikasi OKB tampak konsisten pada berbagai pasien FA. Studi ini dimuat dalam jurnal Lanset 2014.

Elektroterapi. Ada beberapa jenis elektroterapi yang dapat digunakan :

  • DC cardioversion indications dilaku­kan pada kasus takiaritmia, dengan mekanisme dasar berupa proses reentrant. Terapi ini memiliki efektifitas yang lebih tinggi daripada terapi dengan agen antiaritmia.
  • Implan alat kardio-defibrilasi (implantable defibrillator cardioverter /IDC). Pasien dengan risiko ventrikel aritmia fatal, dapat diidentifikasi dan dilaku­kan pemasangan IDC. Kejadian kema­ti­an mendadak dapat dicegah atau di­turunkan. Alat ini akan memonitor dan me­nghantarkan arus kardioversi se­cara otomatis, bila terdeteksi ada aritmia.
  • Ablasi.Ini terapi modalitas eletroterapi yang menggunakan energi listrik, untuk menghancurkan myocardium yang menjadi fokus dari timbulnya aritmia. “Ablasi sebagai terapi pertama memberi hasil lebih baik pada pasien muda (<60 tahun), dibanding memakai terapi farmakologi terlebih dulu,” kata Prof. Yoga.

Terapi bedah. Terapi bedah pada aritmia memiliki prinsip yang sama dengan terapi ablasi pada modalitas elektroterapi. Bedanya, terapi bedah menghancurkan fokus aritmia secara mekanik. (jie)