Ethicaldigest

Mengatasi Dry Eyes

Keratoconjunctivitis sicca atau sindrom mata kering banyak dialami masyarakat perkotaan. Kebutaan menjadi ancaman terburuk sindrom mata kering.

Sindrom mata kering (dry eyes) merupakan gangguan multifaktorial, dari lapisan film air mata dan permukaan okular. Menyebabkan ketidaknyamanan mata, gangguan penglihatan dan kerusakan kornea. Mata menjadi kering, kelihatan bengkak, merah, iritasi dan sensitif pada cahaya.

Secara anatomis, air mata yang meliputi kornea dan konjungtiva terdiri tiga lapisan film. Pertama, lapisan mucin yang melekat pada epitel kornea. Kemudian, lapisan aqueous yang berada di tengah-tengah. Paling atas adalah lapisan lipid, yang berperan mencegah penguapan air mata.

“Mucin diproduksi oleh sel goblet, aqueous oleh kelenjar lacrimal dan lipid dikeluarkan oleh kelenjar meibomian. Ketiganya diproduksi secara bersamaan. Kalau kita sedih, kelenjar lacrimal bekerja lebih keras, sehingga air mata lebih banyak diproduksi,” terang dr. Cicilia Hendarmin, SpM, dari RS Gading Pluit, Jakarta, dalam seminar Management of Endocrine Disorder and Tumors.

Reflek berkedip menyebarkan air mata ke seluruh permukaan okuler. Lapisan air mata memiliki banyak fungsi, termasuk melumasi permukaan okular dan kelopak mata, menjaga agar permukaan optik tetap halus dan memasok nutrisi ke permukaan okuler. Dalam jurnal Clinica Chimica Acta (2006)  disebutkan, fungsi air mata adalah mengeluarkan benda asing dan mikroba dari permukaan okuler, melindungi permukaan okular melawan patogen melalui zat antibakteri, dan mempromosikan pemeliharaan jaringan /penyembuhan luka di permukaan okuler.

Etiologi dan klasifikasi

Secara umum, sindrom mata kering disebabkan produksi aqueous kurang, atau penguapan yang terlalu cepat.  Berkurangnya aqueous, secara khusus dipicu dua hal: penyakit yang berhubungan dengan sindrom Sjögren, atau penyebab non-sindrom Sjögren.

“Mata kering akibat sindrom Sjögren sifatnya lebih berat, butuh penanganan yang lebih agresif,” terang dr. Cicilia. Sindrom Sjögren merupakan penyakit autoimun, di mana kelenjar lacrimal dan salivary diserang oleh sel T, menyebabkan gejala mata dan mulut kering. Penyakit autoimun lain yang berhubungan dengan sindrom Sjögren, yakni rheumatoid arthritis dan lupus. Penyebab non-sindrom Sjögren, bisa dipicu oleh kerusakan saluran lacrimal atau hiposekresi reflek. Termasuk akibat obat-obatan sistemik.

Penguapan air mata yang terlalu cepat banyak penyebabnya. Seperti, disfungsi kelenjar meibomian, gangguan penutupan kelopak mata (misalnya akibat penyakit Graves), penyakit bell’s palcy, kondisi koma, diabetes melitus tipe 2, dan blepharitis.

Faktor lain adalah pemakaian kontak lensa, reaksi alergi, efek pengobatan topikal, operasi lasik dan katarak. McMonnies CW, dalam jurnal Contact Lens and Anterior Eye(2007) menyatakan, pemakaian kontak lensa bisa menurunkan sensitivitas kornea, yang mengarah pada defisiensi aqueous. Di saat yang sama meningkatkan penguapan, karena berkurangnya reflek berkedip. Operasi lasik memungkinkan terjadinya kerusakan saraf-saraf sensoris di permukaan mata, mengakibatkan penurunan sekresi air mata.

 “Penyebab lingkungan yang berkontribusi adalah merokok, berada di ruangan dengan kelembaban rendah, paparan sinar matahari, debu dan pekerjaan intensif menggunakan komputer,” terang dr. Cicilia. “Kalau kita terlalu lama menatap layar komputer tanpa berkedip, akan menyebabkan mata kering.”

Tatalaksana

Pemeriksaan sindrom mata kering dilakukan menggunakan slitlamp biomicroscopy atau fluorescein dye stain. Metode lain memakai tes Schirmer, menggunakan kertas khusus yang diselipkan di kelopak mata bawah selama 5 menit.

Walau penyakit ini dianggap ringan, jika dibiarkan berisiko menyebabkan komplikasi seperti keratitis, ulkus, bahkan kebutaan. Tujuan pengobatan adalah mengurangi rasa tidak nyaman dan mencegah kerusakan mata.

“Terapi paling mudah adalah menggunakan air mata buatan, yang mengandung sodium hyaluronate,” kata dr. Cicilia. Dalam jurnal Cornea, Xiaodong Zheng, dkk., dari Department of Ophthalmology, Ehime University School of Medicine, Jepang, membandingkan 3 cairan lubrikan mengandung 0,1% dan 0,3% sodium hyaluronate (SH), carboxymethylcellulose (CMC) dan hydroxypropyl methylcellulose (HPMC), untuk mengukur kemampuannya meningkatkan retensi air dan melindungi sel-sel epitel kornea (HCECs) dari dehidrasi. Studi dilakukan secara in vitro.

Masing-masing larutan sebanyak 5 mm diteteskan ke kertas saring, disimpan dalam wadah terbuka pada suhu 25°C dan kelembaban 36- 38%. Berat kertas diukur tiap jam, selama 4 jam. Didapati, kertas saring yang ditetesi larutan SH 0,1% atau 0,3%, secara signifikan lebih berat dibanding kertas saring dengan CMC atau HPMC. Dan pada pengukuran survival rate HCECs, larutan SH 0,1% dan 0,3% signifikan lebih baik dibanding CMC atau HPMC. Peneliti menyimpulkan, sodium hyaluronate signifikan lebih baik untuk menjaga retensi air, dan melindungi sel-sel epitel kornea dari dehidrasi. (jie)