Ethicaldigest

Pengaruh Sinbiotik pada Pasien SLE

Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronik yang dapat menyerang berbagai organ, mulai dari sendi, kulit, dan sel darah, hingga ginjal dan saraf. Ini merupakan penyakit kronis dengan morbiditias tinggi, yang bisa menjadi fatal bila tidak diterapi sejak awal.

Penelitian menunjukkan adanya abnormalitas limfosit T pada pasien SLE. Th 17 yang berasal dari sel limfosit T CD4 naïve, menginduksi inflamasi melalui pelepasan IL-17A, IL-17F dan IL-22. Pada pasien SLE ditemukan peningkatan IL-17 serum. Peningkatan IL-17 berhubungan dengan aktivitas penyakit.

Selain Th17, pada pasien SLE ditemukan abnormalitas limfosit T regulator. Penurunan jumlah atau fungsi limfosit T regulator, berhubungan dengan penyakit otoimun; termasuk SLE. Penelitian oleh Banica dan kawan-kawan mendapatkan bahwa terjadi penurunan persentase sel limfosit T regulator di perifer pada SLE. Aktivitas penyakit berhubungan dengan populasi sel limfosit T regulator tersebut.

Berbagai faktor dapat berkontribusi menyebabkan kelainan sistim imun, yang ditemukan pada pasien SLE. Faktor predisposisi genetik, lingkungan dan hormon saling berinteraksi dalam menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistim imun.

Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain yang juga berperan dan banyak diteliti saat ini adalah bakteri yang ada di saluran cerna. Ketidakseimbangan bakteri saluran cerna, dapat memengaruhi kekebalan tubuh, kemudian dapat memengaruhi aktivitas penyakit SLE. Upaya yang dapat memperbaiki keseimbangan bakteri di usus, diharapkan bisa memperbaiki respons kekebalan tubuh pada pasien SLE, sehingga dapat membantu pengobatan pasien.

Pemberian suplementasi sinbiotik yang berisi probiotik (bakteri saluran cerna yang bermanfaat untuk kesehatan), dan prebiotik (komponen diet yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri komensal di saluran cerna) sebagai terapi tambahan pada pasien SLE, diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan tersebut.

Pengobatan standar saat ini pada pasien SLE, adalah obat yang bersifat menekan kekebalan tubuh agar tidak berlebihan. Penelitian yang dilakukan dr. Alvina Widhani, SpPD, KAI, dan dipresentasikan pada ujian promosi Doktor dalam bidang Biomedik, mendapatkan bahwa pemberian suplementasi sinbiotik sebagai terapi tambahan selama 60 hari, dapat memperbaiki komposisi dan fungsi bakteri di usus.

Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda dengan plasebo. Dilakukan di RS Ciptomangunkusumo (RSCM), Jakarta, dari Oktober 2017 hingga Agustus 2018. Sebanyak 46 pasien yang memenuhi kroteria inklusi, secara acak diberi sinbiotik (berisi probiotik {Lactobacillus helveticus R0052 60%, Bifidobacterium infantis R0033 20% atau Bifidobacterium bifidum R0071 20%}), dan fruktooligosakarida 80mg selama dua bulan atau plasebo. Skor Systemic Lupus Erythematosus Dosease Activity Index (SLEDAI-2K), Interleukin 17, hs-CRP, Tregulator, zonulin, dan 16s ribosomal ribonucleic acid (rRNA) dinilai pada sampel feses di awal dan akhir penelitian.

Sinbiotik menurunkan SLEDAI-2K (14{9;16} vs 8(2;12); pre vs post; p<0,001. Sedangkan pada kelompok plasebo tidak ada perbedaan SLEDAI-2K (9{9; 18,25} vs 9{5,5;15}; pre vs. post; p=0,31). Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Staf Pengajar Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini juga didapatkan, pemberian suplementasi dapat menekan peradangan dan memperbaiki aktivitas penyakit pada pasien SLE. Namun tidak didapatkan perubaan bermakna, dari respons imun spesifik.

Selama penelitian pasien tetap meneruskan obat standar, yang rutin dikonsumsi sebelumnya. Tidak terdapat perbedaan adverse event antara kelompok yang mendapat terapi sinbiotik, dengan yang tidak mendapat terapi (plasebo). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui, apakah perubahan yang terjadi menetap setelah suplementasi dihentikan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian dengan waktu intervensi yang lebih lama, untuk mengetahui apakah terdapat perubahan respons imun spesifik.