Ethicaldigest

Peran Forensik dalam Identifikasi Korban Bencana

Identifikasi korban bencana atau korban kejahatan penting dari sisi hukum pidana dan perdata. Data identifikasi primer dan sekunder perlu diberikan ke posko ante mortem.

Saat terjadi bencana seperti  tsunami Aceh, gempa Palopo, hingga terjatuhnya pesawat beberapa waktu lalu, ada ratusan bahkan ribuan orang yang kehilangan anggota keluarganya. Pencarian korban membutuhkan waktu berhari-hari,  sampai berbulan-bulan. Ada korban yang masih utuh, ada yang sulit dikenali karena sudah membusuk atau anggota tubuhnya sudah tidak lengkap. Di sinilah tugas seorang ahli forensik, yaitu mengidentifikasi korban.

Dokter dr. Fitri Ambar Sari, Sp.F, mengatakan dasar hukum indentifikasi terhadap korban bencana adalah Undang-Undang RI tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 118. Yang berbunyi,”Mayat yang tidak dikenali harus dilakukan upaya identifikasi.” Kemudian, pada pasal 119 disebutkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap usaha identifikasi adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.

“Dari aspek perdata, identifikasi korban diperlukan untuk klaim asuransi, dana pensiun, pernikahan, waris dan sebagainya,” kata dr. Fitri. Sementara dari aspek hukum pidana, identifikasi korban diperlukan untuk menyelidiki pelaku tindak pidana, menyelidki korban pembunuhan dan sebagainya.

Dalam proses identifikasi korban, ada 4 identitas utama: jenis kelamin, usia, tinggi badan dan ras/etnis. Tulang dan gigi merupakan sumber informasi utama perkiraan usia. Dengan gigi juga bisa didapatkan informasi, mengenai jenis kelamin (kromosom dari pulpa) dan ras/etnis. Gigi juga bisa menunjukkan kebiasaan dan kelas ekonomi korban. Gigi yang bersih dan terawat, atau sering menjalani perawatan ke dokter, bisa disimpulkan kalau korban adalah masyarakat mampu.

Jenis kelamin bisa diketahui dari penampilan umum atau morfologi fisik. Bila tidak memungkinkan bisa dilakukan identifikasi secara mikroskopik, melalui sex chromatin atau barr bodies, biopsi gonad dan gambaran tulang tengkorak dan panggul.

Ada beberapa kendala dalam melakukan identifikasi. Ada banyak kasus dimana ahli forensik hanya mendapatkan potongan tubuh, yang tentunya menyulitkan proses indentifikasi. Selain itu, sering terjadi, jarak waktu antara kejadian dengan ditemukannya jenazah cukup lama, sehingga sudah terjadi pembusukan. Ahli forensik juga sering mendapatkan jenazah yang sudah dalam kondisi rusak, karena terbakar, hancur dan sebagainya.

Proses Disaster Victim Identification (DVI)

Menurut dr. M Ardhian Syaifudin, Sp.F, proses DVI terdiri dari empat fase. Pada fase 1, dilakukan pengolahan tempat kejadian perkara (TKP). Pada fase 2 dilakukan identifikasi pada jenazah (post mortem). Fase 1 dan 2 dilakukan untuk mengidentifikasi korban. Sedangkan fase 3 adalah pengumpulan data orang hilang atau yang diduga korban. Data post mortem dan ante mortem kemudian dicocokkan. Kemudian, fase 4 adalah rekonsiliasi.

Dalam suatu kejadian bencana, akan ditetapkan satu rumah sakit sebagai pusat identifikasi jenazah. Di sini dibuat satu posko ante mortem, dimana masyarakat bisa melaporkan anggota keluarganya yang hilang atau diduga menjadi korban bencana. Petugas akan menyiapkan lembar kuning (lembar AM) dan  melakukan wawancara dan pengambilan sampel atau barang-barang milik korban.

Dalam wawancara akan ditanyakan identitas pelapor (nama, alamat, hubungan, nomor telepon dan alamat email). Juga akan ditanyakan identitas orang yang hilang/terduga korban. Dimintakan bukti-bukti pendukung identifikasi primer (seperti rekam sidik jari, nama dokter dan dokter gigi atau tempat berobat sebelumnya).  Selain itu, ditanyakan ciri-ciri fisik dan pakaian/perhiasan yang diduga dikenakan saat bencana.

Agar tidak bolak-balik ke posko ante mortem, menurut dr. Ardhian, pelapor harus menyiapkan data primer, mencakup gigi, fricton ridge analysis (sidik jari/ telapak tangan /telapak kaki dan DNA) dan data sekunder (mencakup barang-barang milik korban, baju, perhiasan dan identitas yang melekat pada tubuh). Bukti pendukung yang bisa membantu adalah riwayat tindakan medis (plase dan screw, alat pacu jantung, KB spiral dan lain-lain) dan tanda-tanda pada tubuh (tato, tahi lalat, tindik, jaringan parut dan disabilitas).

Data ante mortem dicocokkan dengan data post mortem, pada fase rekonsiliasi. Teridentifikasi apabila minimal 1 data primer positif, dengan atau tanpa data sekunder. Atau, korban memenuhi minimal dua data sekunder, jika tanpa data primer.