Ethicaldigest

Empati, Komponen Dasar Praktik Kedokteran

dr. Alvin Nursalim*, Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH**

“To cure sometimes, to relive often, to comfort always.”

Sepenggal kalimat di atas cukup menggambarkan tugas seorang dokter. Kalimat tersebut dipopulerkan oleh dr. Edward Trudeau tahun 1800-an, untuk mengingatkan pentingnya rasa empati dokter terhadap pasien. Dokter meiliki tugas untuk memberi kenyamanan batin pada pasien. Empati kepada pasien harus selalu menjadi dasar hubungan dokter-pasien, terlepas dari apakah dokter dapat menyembuhkan penyakitnya.1

Empati bukan sebuah kata yang diucapkan namun tidak diterapkan. Empati bukan sekedar dipelajari saat kuliah kedokteran, lalu tenggelam di dasar ingatan di kemudian hari. Selain terus memperkaya diri dengan pengetahuan medis yang terus berkembang, dokter sebaiknya tidak melupakan dimensi lain ilmu kedokteran yaitu empati. Pada hakikatnya, itulah tugas dokter yang paling dasar.

Definisi empati

            Empati berasal dari kata Jerman Einfulung, yang mempunyai arti merasakan ke dalam atau feeling within. Tichener menyebutkan bahwa empati berasal dari bahasa Yunani, em dan pathos (feeling into).2 Empati merupakan sebuah konsep multidimensional yang kompleks, yang melibatkan elemen moral, kognitif, emosi dan perilaku. Empati memiliki komponen kognitif, yang berarti dokter masuk dalam perspektif dan pengalaman pasien, tanpa kehilangan perspektif dan penilaian klinis yang objektif.

Empati memiliki komponen emosional, yaitu kemampuan dokter untuk dapat merasakan posisi pasien. Empati juga mengandung unsur perilaku, di mana dokter mengungkapkan rasa empatinya kepada pasien dan memastikan akurasi perasaan tersebut kepada pasien. Empati bisa dianggap sebagai kompetensi klinik dalam hubungan profesional dokter-pasien, dan bukan hsekedar pengalaman emosional subjektif.3

Empati berbeda dengan simpati. Contoh dari bentuk simpati adalah seorang dokter yang menjadi sedih dan ikut menangis, ketika pasiennya menangis. Simpati dapat berkontribusi kepada hubungan dokter-pasien. Namun apabila dokter tenggelam dalam perasaan simpati, dapat membahayakan penilaian objektifnya.4

Pentingnya empati dalam praktik klinik

            Mungkin terlintas di benak kita, apa pentingnya empati dalam praktik klinik sehari-hari? Bukankah yang terpenting dokter memberi pengobatan sesuai penyakit yang diderita pasien? Apakah itu tidak cukup? Jawabannya adalah: ya, itu tidak cukup. Terdapat berbagai studi yang menunjukkan pentingnya empati dalam praktik klinik, dan hubungan dokter-pasien.5

Empati dapat meningkatkan kualitas hubungan dokter-pasien, dan komunikasi yang terjadi antara dokter-pasien. Dalam sebuah studi oleh Mercer SW dkk, pasien lebih puas dengan dokter yang berempati, dan empati merupakan komponen penting untuk mencapai kepatuhan pengobatan pasien. Tenaga kesehatan yang berempati, misalnya perawat, juga terbukti dapat menurunkan kadar kecemasan pasien, dan berhubungan dengan efek fisiologis yang memperbaiki hasil terapi.2

Selain itu, empati membuat praktik kedokteran lebih bermakna. Dalam sebuah studi oleh Roter dkk, dokter yang melakukan teknik komunikasi dengan melibatkan aspek psikososial, lebih kecil kemungkinannya untuk merasa jenuh. Dokter yang mempraktikkan nilai-nilai empati, memperkaya pengalaman mereka dalam menjadi seorang dokter yang seutuhnya.6

Berbagai kerugian dapat terjadi, dengan minimnya rasa empati dokter. Dari perspektif pasien, dokter yang tidak menerapkan prinsip empati menyebabkan pasien merasa tidak puas dengan pelayanan dokter. Dari perspektif dokter, dokter dengan tingkat empati yang rendah cenderung melakukan kesalahan medis lebih tinggi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Empati merupakan dasar dari komunikasi efektif, sehingga dengan minimnya empati dokter, komunikasi menjadi tidak efektif.

Komunikasi yang tidak efektif berakibat penjelasan diagnosis tidak lengkap, kesalahan mengikuti regimen pengobatan dan kelalaian dalam berobat. Berbagai kesalahan medis ini dapat berakhir pada tuntuan pasien kepada dokter, yang sebenarnya dapat dicegah dengan empati dan komunikasi yang efektif.7

Akhir-akhir ini terjadi fenomena di dunia kedokteran, yaitu pelesirnya pasien Indonesia ke luar negeri atau ke pelayanan alternatif. Fenomena ini antara lain dipengaruhi oleh ketidakpuasan pasien akan pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien, adalah empati dokter kepada pasien. Hal ini bukan hanya menyebabkan kerugian ekonomi, namun juga dapat mempengaruhi martabat dokter Indonesia di dunia kedokteran. Fenomena ini seharusnya membuat dokter melakukan introspeksi dan berkaca kembali, tentang apa yang salah dengan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia.

Memupuk kembali empati yang terkikis

 Pentingnya empati dalam meningkatkan kualitas pelayanan dokter sudah terbukti. Namun seiring berjalannya waktu, erosi empati masih sering terjadi. Kesibukan, rutinitas yang berulang dan stress kerja merupakan hal-hal yang dapat berkontribusi pada terkikisnya rasa empati.

Beberapa hal dapat kita lakukan untuk membangun dan mempertahankan empati yang ada. Pertama, dokter harus berusaha untuk mengerti tujuan pasien berobat. Menurut Marvel MK dkk, dokter cenderung menyela jawaban pasien setelah 23 detik, dan banyak pasien mengeluh tidak didengar oleh dokter selama konsultasi berlangsung.8 Seorang dokter harus belajar untuk tidak menyela pasien dan berusaha mendengarkan ucapan pasien.

Kadang waktu menjadi kendala; disini dokter harus bisa merangkum intisari pembicaraan, misal dengan mengatakan, “Jadi ibu merasa putus asa karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, saya mengerti, baik selanjutnya kita akan…”. Kalimat tersebut jangan sekedar diucapkan, namun harus disertai bentuk empati nonverbal seperti intonasi dan ekspresi wajah. Selain itu, biasakan untuk mengakhiri sesi konsultasi dengan bertanya, “Ada hal lain yang ingin disampaikan?”.1

 Kedua, cobalah berdiri pada posisi seorang pasien. Bagaimana rasanya menjadi  pasien? Atau, bagaimana rasanya ketika orang terdekat Anda jatuh sakit? Setiap pasien  mengharapkan penerimaan yang terbaik dari dokter. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan pasien coba Anda bayangkan, apa yang Anda inginkan jika berada pada posisinya dan berikan itu kepada pasien.1

Selain itu, sering dokter berada di balik tembok kokoh yang menghalangi dirinya dari pasien. Dokter seperti terisolasi dalam superioritas “jas putih” dan tidak bisa menggapai pasien yang berada di luar lingkaran emosinya. Dalam sebuah konsultasi akhir-akhir ini, seorang pasien bertanya, “Dokter, bagaimana pengalaman-pengalaman menarik selama pendidikan kedokteran di Indonesia?” Saya ceriterakan pengalaman saya dengan sangat antusias, dan setelah berbagi pengalaman, saya menyadari bahwa terdapat jurang pemisah antara saya dan pasien, selama sesi konsultasi sebelumnya.

Dokter harus berhenti menganggap, pasien semata-mata sebagai objek (I-it relationship). Hubungan semacam ini akan membuat jarak di antara dokter dan pasien. Walau dokter dan pasien tidak harus menjadi teman akrab, dokter seharusnya bisa membina hubungan manusia-manusia (I-thou relationship), dengan tetap menjaga nilai-nilai profesionalisme seorang dokter.1 Empati juga harus disesuaikan dengan budaya dan karakter pasien. Hal ini bukan saja menyangkut etnis pasien, namun juga mengenai umur, latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi. Dengan memahami karakter pasien, dokter dapat berempati dengan cara yang sesuai dengan individu pasien yang berbeda-beda.

Empati bukanlah nilai yang tumbuh sekejap mata. Menumbuhkan empati, sepatutnya dimulai sejak pendidikan kedokteran. Berbagai hal sudah dilakukan untuk menumbuhkan  empati pada mahasiswa kedokteran di Indonesia. Latihan komunikasi yang efektif dan mempelajari berbagai aspek humaniora, sudah masuk kurikulum kedokteran. Sebuah review menunjukkan bahwa latihan komunikasi berupa role playing, merupakan salah satu cara yang efektif untuk menumbuhkan nilai empati pada mahasiswa kedokteran. Sedangkan topik mengenai: apakah penilaian empati diperlukan sebagai kriteria masuk fakultas kedokteran dan akan membentuk dokter yang lebih baik, masih perlu didiskusikan, mengingat bukti terkait hal tersebut masih terbatas.7,9

Perlu diingat bahwa dokter bukanlah teknisi yang memperbaiki mesin tanpa jiwa. Seorang dokter berhubungan dengan manusia dengan akal, pikiran dan hati nurani. Jadi, sudah selayaknya dokter berempati kepada pasien. Empati adalah komponen dasar dari praktik kedokteran.

* FKUI

**Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI

Daftar Pustaka

  1. Cayley Jr WE. The last word. Fam Pract Manag 2006; 13:74
  2. Mercer SW, Reynolds WJ. Empathy and quality of care. British journal of general practise 2002; 52: s9-13.
  3. Neumann M, Scheffer C, Tauschel D, Lutz G, Wirtz M, Edelhauser F. Physician empathy: definition, ourcome-relevance and its meassurement in patient care and medical education. GMS Z Med Ausbild 2012; 29:11
  4. Coulehan JL. “Let me see if i have this right…”: words thathelp build empathy. Ann intern med 2001; 135:221-7.
  5. Halpern J. What is clinical empathy. J gen intern med 2003; 18:670-4.
  6. Roter DL, Stewart M, Putnam SM, Lipkin M Jr, Stiles W, Inui TS. Communication patterns of primary care physicians. JAMA 1997; 277:350-6.
  7. Haslam N. humanising medical practice: the role of empathy. MJA 2007; 187:381-2.
  8. Marvel  MK, Epstein  RM, Flowers  K, Beckman  HB.  Soliciting the patient’s agenda: have we improved?  JAMA 1999;281:283–7.
  9. Garden R. Expanding clinical empathy: an activist perspective. J gen intern med 2008; 24:122-5.