Ethicaldigest

Fistula Ani: Gejala, Risiko, Penanganan dan Tantangan

Fistula ani merupakan penyakit yang umum dijumpai. Diskusi mengenai kondisi ini dapat kita lihat pada literatur kedokteran yang berasal dari tahun 400 SM. Fistula ani tetap menjadi topik yang hangat hingga sekarang dan masih menjadi kasus yang menantang bagi dokter di seluruh dunia.

Lebih dalam mengenai fistula ani, Ethical Digest mewawancarai dr. Barlian Sutedja, SpB. Berikut petikannya.

Apa yang disebut Fistula ani dan seperti apa gejalanya?              

Secara etimologi, kata fistula berasal dari istilah Yunani yang berarti “pipa” atau “saluran”. Istilah ini kemudian diadaptasi ke dunia kedokteran, untuk menyatakan saluran yang menghubungkan dua organ atau pembuluh yang pada keadaan normal tidak terhubung. Salah satu fistula yang paling akrab dengan para ahli bedah adalah fistula ani.

Fistula ani adalah saluran abnormal, yang menghubungkan saluran anus dengan kulit di daerah perianal. Sebagian besar kasus fistula terbentuk melalui proses infeksi kriptoglandular, yang terjadi akibat tersumbatnya kripta anus oleh kotoran atau feses yang padat atau keras. Akibatnya, kelenjar di daerah anus menjadi terinfeksi dan membentuk abses di ruang antar sfingter, akhirnya pecah dan membentuk fistula.

Pasien dengan fistula dapat mengeluhkan keluarnya cairan perianal yang berbau busuk, gatal, abses berulang, demam, atau nyeri di daerah perianal akibat tersumbatnya saluran. Nyeri dapat timbul saat duduk, bergerak, buang air besar, bahkan saat batuk. Nyeri dapat ringan hingga berat, dirasakan terus sepanjang hari. Hal ini menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita, yang sebagian besarnya masih di usia produktif.

Nyeri dapat berkurang atau hilang sendiri, tetapi jika terbentuk saluran keluar baru berarti kompleksitas fistula bertambah. Rasa tidak nyaman tetap ada dan saluran keluar menimbulkan masalah kebersihan. Jika tidak diobati, fistula yang terinfeksi berulang kali dapat menimbulkan masalah sistemik seperti sepsis, hingga mencetuskan terjadinya keganasan. Penggunaan obat-obatan tidak dapat membantu menutup fistula. Bedah menjadi harapan bagi pasien.

Pembedahan seperti apa yang dapat dilakukan?

Pengobatan fistula diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala, terutama yang mengalami sepsis anorektal berulang kali. Jika pasien tidak mengalami gejala apapun dan fistula ditemukan pada pemeriksaan rutin, tidak perlu terapi. Pembedahan untuk memperbaiki fistula tidak boleh dilakukan saat terjadi abses anorektal, kecuali fistulanya terletak di superfisial dan saluran terlihat jelas. Pada fase akut, insisi dan drainase sederhana cukup untuk mengatasi abses. Dengan penanganan ini, hanya 7-40% kasus yang akan mengalami fistula. Risiko terjadinya sepsis anal yang rekuren dan pembentukan fistula, meningkat 2x lipat jika abses terjadi pada pasien berusia di bawah 40 tahun, dan hampir 3x lipat pada pasien non-diabetik.

Kendala apa dan teknik apa yang dapat dilakukan?

Fistula dapat memiliki beberapa saluran keluar, membuat pembedahan menjadi lebih sulit. Kita dapat mengira-ngira anatomi fistula melalui Goodsall rule, yang membagi fistula menjadi dua bidang transversal. Fistula dengan saluran keluarnya terletak anterior dari garis ini, umumnya memiliki saluran lurus menembus linea dentata yang berbentuk melingkar. Fistula yang saluran keluarnya terletak di posterior garis ini, akan berjalan mengikuti lengkung ke arah garis tengah posterior. Hal ini tidak berlaku pada fistula dengan saluran keluar yang terletak lebih dari 3 cm dari gerbang anus.

Hingga saat ini, pembedahan adalah modalitas terapi yang menjadi pilihan saat menghadapi kasus fistula. Bukan berarti, setelah dioperasi fistula tidak lagi dapat menimbulkan komplikasi. Pembedahan dapat menimbulkan masalah baru seperti retensi urine, perdarahan, pembentukan abses, tidak dapat menahan cairan dan flatus, dan kambuhnya fistula.

  • Fistulotomi

Teknik fistulotomi dapat dilakukan untuk kasus-kasus fistula primer. Pada cara ini, probe dimasukkan ke dalam saluran menembus kedua ujung saluran. Kemudian, kulit, jaringan subkutan dan sfingter interna yang ada di atasnya, dipotong menggunakan scalpel atau kauter, sehingga seluruh bagian saluran terbuka. Jika fistula terletak rendah dekat anus, sfingter interna dan bagian submukosa sfingter eksterna dapat dibuka sedemikian rupa tanpa memengaruhi kontinensia. Kuretase dapat dilakukan untuk menyingkirkan jaringan granulasi di dasar saluran. Agar bagian dalam saluran dapat sembuh sebelum bagian luarnya tertutup, dapat dilakukan eksisi lokal di kulit bagian luar saluran. Marsupialisasi kedua ujung, dapat mempercepat masa penyembuhan.

  • Seton

Seton adalah benang, karet atau benda lain yang disisipkan ke fistula selama beberapa waktu, agar fistula tetap terbuka dan isinya dapat mengalir keluar. Seton dipasang untuk merangsang pembentukan fibrosis dan memberi waktu agar fistula dapat sembuh. Seton merupakan terapi yang telah digunakan sejak zaman Hipokrates, terbukti bermanfaat untuk kasus fistula kompleks yang sering kambuh atau sudah pernah menjalani prosedur fistulotomi sebelumnya, pada fistula anterior pada wanita, tekanan sfingter prabedah yang kurang baik, dan pada pasien fistula akibat penyakit Crohn atau yang mengalami gangguan imunitas.

  • Sumbat dan perekat

Berkat bioteknologi, saat ini tersedia perekat jaringan dan sumbat, yang dapat digunakan untuk menutup saluran fistula. Secara teoretis, kedua modalitas ini dapat menghindarkan pasien dari inkontinensia pasca operasi. Terapi ini lebih disukai karena merupakan tindakan yang tampak kecil, meski pada awal terapi biasanya perlu pemasangan seton sebelum prosedur dilakukan. Meski penggunaan perekat banyak dipilih karena dinilai lebih nyaman, beberapa studi menunjukkan angka kekambuhan pada prosedur ini cukup tinggi. Sedangkan pada penggunaan sumbat, perlu pengukuran akurat ukuran kedua ujung saluran. Sumbat juga dikontraindikasikan pada abses atau infeksi akut, fistula simpleks, alergi terhadap produk babi, serta pada kasus fistula kantong vaginal dan fistula rekto-vaginal.

  • Flap

Prosedur ini hanya dilakukan pada pasien dengan fistula kronik letak tinggi, indikasi sama dengan penggunaan seton. Cara ini memiliki keunggulan karena prosedur hanya dilakukan satu kali, dengan kerusakan minimal. Kerugiannya, angka kesuksesan rendah pada pasien dengan penyakit Crohn atau infeksi akut. Prosedur ini diawali fistulektomi total, diikuti pembuangan saluran-saluran primer dan sekunder dan eksisi total ujung internal fistula. Setelah itu, dilakukan flap mukomuskular. Defek pada otot bagian dalam ditutup, menggunakan benang absorbable. Flap dijahit ke bagian dalam, sehingga garis jahitan tidak tumpang tindih dengan otot yang dalam proses penyembuhan.

  • LIFT

LIFT (ligation of the intersphincteric fistula tract) adalah prosedur untuk fistula transfingterik kompleks. Prosedur ini dilakukan untuk menutup saluran dalam dan menyingkirkan jaringan kriptoglandular, yang menjadi biang keladi terjadinya fistula. Tindakan ini dapat dilakukan pada fistula kompleks maupun fistula rekuren. Dilakukan insisi pada lekuk antarsfingter. Ahli bedah mencari saluran antarsfingter lalu mengisolasinya. Setelah diisolasi, saluran antarsfingter dekat bagian dalam saluran dan pengeluaran saluran intersfingter diligasi, semua jaringan granulasi di saluran fistula yang tersisa dikuret, dan bagian otot sfingter eksterna yang rusak dijahit.

Kapan pemilihan teknik dilakukan dan apa saja yang perlu diperhatikan?

Tujuan pembedahan pada fistula adalah mengobati infeksi, menyingkirkan saluran fistula, menghindari kambuh atau menetapnya fistula sambil mempertahankan fungsi sfingter sebaik mungkin. Struktur fistula yang berbentuk tubulus, mempermudah dilakukannya fistulotomi atau fistulektomi. Pilihan tindakan yang dilakukan, tergantung ketebalan otot sfingter yang ditembus, karena tindakan ini dapat menyebabkan inkontinensia fekal, mulai ringan hingga sama sekali total.

Risiko kerusakan otot ini menjadi perhatian utama dalam melakukan pembedahan. Hal ini  menjadi masalah pada fistula kompleks, yang melibatkan otot cukup banyak dan luas. Dan jika memiliki banyak saluran, mungkin ada saluran yang terlewat. Dan jika disebabkan oleh keganasan, jaringan yang rapuh dapat mempersulit pembedahan.

Para ahli bedah berusaha mencari metode pembedahan yang tepat dan efektif, untuk mengatasi fistula ani. Fistulotomi sederhana, yaitu pembukaan total saluran yang menghubungkan kedua ujung dan pembukaan ujung utama di bagian dalam, angka kesuksesannya 95%. Pembedahan dapat diikuti marsupialisasi saluran menggunakan benang absorbable, yang  terbukti mempersingkat masa penyembuhan dengan berkurangnya ukuran luka. Sekilas, terapi ini tampak sebagai terapi ideal.

Kenyataannya, fistula ada bermacam-macam. Fistulotomi hanya cocok dilakukan pada kasus-kasus fistula simpleks, yang jumlahya sekitar 45% dari seluruh kasus fistula. Fistulotomi juga dapat menyebabkan inkontinensia, sekalipun pada kasus fistula simpleks. Hal ini menjadi dilema pada pengobatan. Pasien dapat sembuh dengan pembedahan agresif, tetapi mengorbankan kekuatan otot sehingga terjadi inkontinensia. Di sisi lain, jika diterapkan terapi konservatif, inkontinensia mungkin tidak terjadi, tetapi fistula akan terus ada atau kambuh kembali.