Ethicaldigest

Hipertensi Paru: Panduan Tatalaksana Terbaru dari Eropa

Hipertensi paru terjadi ketika pembuluh darah di paru mengalami gangguan. Ada dua jenis sirkulasi darah dalam tubuh: sirkulasi sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, dan sirkulasi paru yang beredar ke paru untuk melepaskan karbondioksida dan mengikat oksigen. Untuk menjaga sirkulasi darah ke paru bisa berjalan baik, pembuluh darah harus dalam kondisi baik.

“Banyak faktor mempengaruhi tonus vaskuler paru, yang terbagi menjadi faktor yang merelaksasi dan faktor yang mengkonstriksi,” kata Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP, dari FK Universitas Indonesia. Kedua faktor harus seimbang untuk menjaga tonus vaskuler.

Faktor-faktor yang merelaksasi antara lain endothelium derived relaxing factor (EDRF)/oksida nitrat, prostasiklin, adenosin, endotelium derived dan faktor hiperpolarisasi. Sedangkan faktor yang mengkonstriksi yaitu endotelin, endothelium derived, faktor konstriksi dan thromboxane A2.

Peningkatan tekanan darah di ventrikel paru bisa berpengaruh buruk, menyebabkan kerusakan pembuluh darah di paru. Pembuluh darah paru bisa mengalami hipertrofi atau  proliferasi intima. “Ada juga yang namanya arteritis, plexiform dan organized thrombus di pembuluh darah,” jelas Prof. Bambang.

Indonesia telah memiliki guideline penanganan hipertensi paru, yang dikeluarkan tahun 2010. European Society of Cardiovascular/European Respiratory Society tahun 2015 mengeluarkan guideline, untuk diagnosis dan pengobatan. Ada beberapa perubahan dalam guideline yang baru ini.

Dalam guideline baru, hipertensi paru didefinisikan sebagai tekanan arteri paru rerata (PAPm) >25mmHg. HPterbagi dua: pre kapiler dan post kapiler. HP pre kapiler didefinisikan sebagai PAPm>25mmHg dan PAWP <15mmHg. Ini terjadi pada kelompok klinis hipertensi arterial paru, hipertensi karena penyakit paru, HP tromboembolik kronis dan HP dengan mekanisme tidak jelas atau multifaktorial. HP post kapiler didefinisikan sebagai PAPm >25mmHg dan PAWP >15mmHg. Ini terjadi pada kelompok HP, karena penyait jantung kiri dan HP dengan mekanisme tidak jelas atau multifaktorial.

Yang baru dalam guideline ini adalah dimasukkannya HP post kapiler terisolasi, dengan diastolic pulmonary artery gradient (DPG) <7 mmHg dan/atau pulmonary vascular resistancei (PVR) < 3 WLF. Dan, HP kombinasi pre dan post kapiler dengan  DPG>7mmH dan/atau PVR >3 WLF.

Lebih jauh, hipertensi paru diklasifikasikan menjadi 5, yaitu: hipertensi arteri paru, hipertensi paru karena penyakit jantung kiri, hipertensi paru karena penyakit paru dan/atau hipoksia akibat PPOK, hipertensi paru tromboembolik kronis dan kerusakan arteri paru lainnya, serta hipertensi paru dengan mekanisme tidak jelas dan/atau multifaktorial.

Dalam penatalaksanannya, ketika ada pasien datang dengan gejala, tanda-tanda menunjukkan PH, lakukan ekokardiografi. Gejala-gejalanya non spesifik awalnya diinduksi oleh latihan fisik, bisa terkait dengan komplikasi mekanis. Tanda-tandanya  left parasternal lift, P2 accentiated, murmur TR dan PR, gagal RV, dan ada penyakit mendasari.

”Hasil elektrokardiogram yang normal tidak mengesampingkan PH,” ujar Prof. Bambang. Begitu juga jika hasil chestradiografi normal, tidak mengesampingkan PH. Namun, 90% penderita menunjukkan hasil abnormal.

Jika kemungkinan hipertensi paru rendah, cari penyebab lain dan/atau follow up. Jika kemungkinanya tinggi atau intermediate, pertimbangkan penyakit jantung kiri dan penyakit paru berdasarkan gejala, tanda-tanda, faktor risiko EKG, PFT-DLCO, radiografi dada dan HRCT, serta pemeriksaan gas darah arterial.

Kemudian dilihat, apakah diagnosis penyakit jantung kiri atau penyakit paru terkonfirmasi. Jika tidak, lakukan skan V/Q (ventilasi dan perfusi paru). Tapi, jika terkonfirmasi, lihat apakah ada tanda-tanda disfungsi PHRV berat atau tidak. jika ada lakukan skan V/Q.  Jika tidak ada, obati penyakit yang mendasari dan pantau progresinya.

Skan V/Q dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan defek perfusi. Jika ada, kemungkinan pasien masuk kelompok 4 (hipertensi paru tromboembolik kronis). Jika tidak ada, lakukan kateterisasi jantung kanan, lihat apakah mPAP>25mmHg dan PWP <15mmHg. Jika iya, lakukan uji diagnostik spesifik. Jika tidak, cari penyebab lain.

”Pengobatannya yang sudah pasti, kita berikan obat-obatan yang vasoreaktif, misalnya dengan obat-obatan PDE 5 inhibitor, yang kadang-kadang dikombinasi dengan prostasiklin,” kata Prof. Bambang. Dalam guideline ini, sildenafil direkomendasikan sebagai pengobatan hipertensi arterial paru (kelas 1A). ”Ini adalah pengobatan yang sering kita pakai. Sildenafil biasa digunakan pada hipertensi pulmonal yang masih ringan, kelas II dan III. Kalau sudah berat sulit,” terang Prof. Bambng.