Banyak pasien sariawan datang ke dokter akibat cancer phobia. Sariawan yang mengarah ke keganasan memiliki ciri-ciri khusus, berbeda dengan stomatitis aftosa biasa.
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah penyakit mukosa rongga mulut yang sering terjadi. Pada beberapa kasus, ulserasi bisa menjadi penanda keganasan atau infeksi virus. Masalah genetik dan faktor lokal bisa menyebabkan sariawan berubah menjadi kanker.
Kanker mulut tercatat 10% dari seluruh kanker yang ada, sebagian besarnya (90%) merupakan karsinoma sel skuamosa. Kanker mulut merupakan keganasan dengan prognosis yang buruk, dengan kelangsungan hidup 50-63% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis. Data National Cancer Institute Amerika Serikat, ada 41 ribu kasus kanker mulut setiap tahunnya, dan menyebabkan 8.000 orang meninggal dunia.
Menurut Dr. drg. Febrina Rahmayanti, Sp.PM, dari RS Pondok Indah, Jakarta, banyak pasien yang datang melaporkan kasus sariawan akibat cancer phobia. Sariawan yang mengarah ke keganasan memiliki ciri-ciri khusus, berbeda dengan stomatitis aftosa biasa.
Umumnya berbentuk ulser, dengan ciri-ciri seperti ulserasi yang menetap/kronis, tidak sembuh dalam 3-4 minggu. Dapat disebabkan oleh trauma/iritasi yang menetap, seperti dari cusp gigi yang tajam. Ada rasa nyeri, tapi tidak sepadan dengan besarnya ulserasi. “Intensitas rasa sakitnya dalam skala 1-10, hanya di nomor 3. Dibandingkan dengan lukanya yang besar, harusnya rasa sakitnya di kisaran 8,” kata drg. Febrina.
Jika dipalpasi (diraba) terasa keras/terdapat indurasi, ada pembesaran jaringan. Jika kanker sudah mengenai tulang, mungkin terjadi gigi goyang tanpa sebab. Dari sisi seluler, sudah ada perubahan konfigurasi selnya.
Pada sariawan, diketahui bahwa tumor necrosis factor–alpha (TNF-alfa) adalah sitokin inflamasi lain yang berpengaruh dalam RAS. Ini adalah sitokin proinflamasi utama yang terlibat dengan kemotaksis komponen sistem imun, seperti neutrofil dan mahor hidocopatibility complexes (MHC). TNF-alfa terlibat dalam jalur sinyal sel, salah satunya terlibat dalam apoptosis sel. Peningkatan produksi TNF-alfa dapat menjelaskan penghancuran sel mukosa saat sariawan, melalui aktivitas jalur apoptosis (apoptotic pathway). Hal tersebut sebenarnya juga efektif dalam sel T yang memediasi respon imun, dan bertanggung jawab pada sistem imun yang memediasi patogenesis RAS. Ditemukan bahwa jumlah sel T CD4 menurun dan jumlah sel T CD8 meningkat, pada penderita sariawan.
TNF-alfa memiliki banyak fungsi yang bermanfaat. Selain perannya dalam respon imun, juga berfungsi dalam pemeliharaan homeostasis dengan mengatur ritme sirkadian dan mempromosikan remodeling jaringan yang cedera. Namun, keberadaan TNF-alfa dalam periode lama, bisa berdampak negatif. Setelah tersisa di tubuh untuk waktu lama, TNF-alfa kehilangan aktivitas anti-tumor, yang dapat menyebabkan pertumbuhan tumor di seluruh tubuh. Perkembangan SAR menunjukkan adanya peningkatan aktivitas TNF-alfa, yang bisa menyebabkan penurunan fungsi anti-tumor dari sitokin. Ini akan mencegah TNF-alfa menghancurkan sel-sel kanker yang berkembang, sebaliknya memungkinkan terbentuk tumor.
Selain TNF-alfa , merokok ditengarai sebagai faktor penyebab utama kanker mulut. Data University of Maryland Medical Center menyatakan, 80-90 % kanker mulut disebabkan produk tembakau (rokok, cerutu, pipa, menguyah tembakau). Drg. Febrina menjelaskan, panas pembakaran dan zat karsinogenik dalam rokok (tembakau), dapat mengubah lingkungan di rongga mulut. Rokok dapat meningkatkan keratinisasi di area mukosa mulut.
“Satu lagi yang menjadi faktor risiko, yakni ketidakpedulian pada kesehatan gigi dan mulut. Gigi bolong tidak ditambal (dirawat), makin lama akan tajam. Jika patah, berisiko mengiritasi mukosa mulut. Iritasi yang terus-menerus bisa mengubah sel normal menjadi sel kanker,” katanya.
Sejatinya, tubuh akan mengadakan reaksi pertahanan terhadap iritasi berulang, dengan cara mempertebal mukosa menjadi jaringan fibrotik. Namun, makin lama kondisi tersebut berlangsung ditambah paparan karsinogen, terjadi perubahan menjadi lesi premalignan.
“Iritasi berulang tidak selalu berujung pada keganasan, tergantung respons jaringan. Jika pola makan pasien bagus, dan respon jaringan bagus, tubuh bisa mengantisipasi. Jika iritasi terus-menerus ditambah sebab lain, seperti faktor genetik mendukung, ada riwayat kanker, sariawan, bisa berubah menjadi kanker,” papar drg. Rahmi Amtha, MDS, SpPM, PhD., dari Departemen Ilmu Penyakit Mulut FKG Universitas Trisakti, Jakarta.
Lesi premalignan squamosal di rongga mulut merupakan area epitel yang berubah dan berisiko, untuk berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa.Yang paling umum dari lesi ini adalah displasia skuamosa, yang berhubungan dengan leukoplakia dan erythroplakia. “Leukoplakia merupakan lesi premalignan , terkait dengan kebiasaan merokok,” kata drg. Febrina.
Leukoplakia ditandai bercak berwarna putih/abu-abu di lidah, gusi, mulut atas atau bagian dalam pipi. Bercak-bercak bisa berkembang perlahan dari minggu sampai bulan dan menjadi tebal, sedikit terangkat dan akhirnya terasa tekstur yang keras dan kasar. Biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, tapi mungkin sensitif terhadap sentuhan, panas, makanan pedas atau iritasi lainnya. Sementara erythroplakia merupakan bercak halus berwarna merah pada mukosa mulut, yang tidak disebabkan penyakit tertentu.
“Sebagian besar membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang menjadi kanker, Bisa juga, kurang dari setahun menjadi kanker. Tergantung faktor-faktor predisposisinya,”ujar drg. Febrina. “Sesuai golden standard terapi, perlu biopsi untuk menegakkan diagnosis suatu keganasan. Terapinya kemoterapi atau radiasi.”
SAR herpetiform & herpes simplex
Ulserasi pada mukosa mulut, juga bisa menjadi tanda infeksi virus atau penyakit lain. Stomatitis aftosa tipe hepetiform memiliki manifestasi klinis, yang mirip dengan infeksi virus herpes simpleks. SAR tipe herpetiform bisa disebabkan defisiensi hematinik. Perlu pemeriksaan laboratorium, untuk memastikan sariawan akibat anemia atau defisiensi imunologi lainnya. Kondisi ini akan menekan respon imun, termasuk respon limfosit, neutrofil dan makrofag yang membuat seseorang berisiko tinggi mengalami infeksi, termasuk SAR. Menurut Scrimshaw NS, dkk., dalam American Journal of Clinical Nutrition (1997) defisiensi zat besi juga bisa menyebabkan gangguan kemampuan fagositik, mengurangi respon stimulasi limfosit, menurunkan aktivitas sel NK yang berhubungan dengan produksi interferon dan menunda respon cutaneous hypersensitivity.
“SAR jenis ini jarang ditemukan. Ulser berukuran < 2 mm dan bisa bergabung. Penanda utama yang membedakan dengan inveksi virus (herpes) adalah ada/tidaknya demam. Jika disertai demam, bisa akibat virus herpes,” terang drg. Rahmi.
Infeksi virus herpes simplex termasuk yang sering menyebabkan vesicles (melenting) di area mulut. Infeksi HSV-1 primer bisa tanpa gejala, bisa juga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan demam myalgia dan malaise 1 atau 2 hari sebelum lesi muncul. Vesicles berdinding tipis dan mudah pecah, meninggalkan ulkus dangkal bulat yang berukuran sangat kecil. Namun ulkus-ulkus kecil tersebut dapat bergabung menjadi ulkus yang besar.
Virus herpes simplex tipe laten 1, setelah masuk ke dalam tubuh, tidak akan pernah keluar lagi dan berada di ganglion saraf trigeminal. Ketika ada faktor pemicu, virus ini tereaktivasi kembali dan muncul lagi segmental, termasuk di mulut.
Demam, mentruasi, trauma dan immunosuppression merupakan beberapa faktor yang bisa mengaktifkan kembali HSV-1. Gejala prodomal pada infeksi virus herpes simplex, ditunjukkan dengan sensasi rasa terbakar disertai gatal pada area munculnya lentingan, yang juga adalah tanda adanya replikasi virus di saraf sensori di dermis atau mukosa.
“Ada herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Beberapa tahun lalu kita meyakini, jika ulser herpes di mulut hanya disebabkan herpes tipe 1, sementara herpes genital karena HSV-2. Ternyata dalam pemeriksaan titer antibodi pada kasus ulser di mulut, HSV-2 nya juga positif,” tutur drg. Febrina.
Lesi herpes intraoral rekuren (RIH) sangat mirip sariawan tipe herpetiform. Menurut Raborn GW dan Grace M, ada beberapa hal yang membedakan kedua lesi tersebut. Pada lesi RIH, lesi selalu dimulai dengan vesicles, sementara RAS tidak. Selain itu, lesi RIH ditemukan pada mukosa keratin tebal sedangkan lesi RAS herpetiform ditemukan pada mukosa non keratin.
Menurut Scott DA, Coulter WA, dkk., dalam Journal of Oral Pathology & Medicine (1997), untuk mengonfirmasi diagnosis munculnya lesi berulang itu infeksi HSV atau bukan, dibutuhkan pemeriksaan pendukung seperti Tzanck smear, biopsi, tes imunomorfologi (tes fluorescent langsung dan uji fluoresen tidak langsung), kultur virus atau pemeriksaan DNA-HSV menggunakan polymerase chain reaction (PCR).
Sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan herpes, pengobatan hanya dimaksudkan untuk meredakan gejala/keluhan yang timbul, seperti mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan. Beberapa obat yang digunakan termasuk Famvir, Zovirax dan Valtrex. “Menjaga oral hygiene dapat mempercepat penyembuhan luka di mulut. Pemakaian obat kumur antiseptik dapat membantu,” tutur drg. Rahmi.(jie)