Ethicaldigest

Resistensi Obat ARV

Masalah resistensi antimikriobial menjadi perhatian pada Hari Kesehatan Dunia.resistensi Kekhawatiran resistensi HIV/AIDS muncul, setelah peneliti dari the University of California, the University of Tennessee dan the University of Ottawa menganalisis data penggunaan obat antiretroviral (ARV) di San Francisco, AS, sejak tahun 1987. Diketahui bahwa warga San Fransisco yang mendapatkan penanganan obat anti viral terus menerus atau berlebih, mengalami kekebalan obat dan sistem imunnya tidak meningkat dengan signifikan.

Dari hasil analisa ini, para ahli berkesimpulan, resistensi obat akan meningkat 30 persen sekitar 3-5 tahun lagi dari sekarang. Namun, sejauh ini belum ada kerusakan sistem imun tubuh akibat resistensi obat antiretroviral. Sehingga, WHO menyatakan tidak akan menarik obat yang sering diresepkan bagi penderita HIV tersebut. Namun, WHO tetap mengantisipasi hal ini, terutama di negara-negara berkembang.

Bagaimana Resistensi Terjadi

Resistensi terhadap HIV terjadi, ketika pasien gagal diobati dengan terapi ARV lini pertama. Penyebabnya adalah mutasi pada virus. Semakin banyak HIV bereplikasi, semaik banyak mutasi yang muncul. Mutasi-mutasi ini terjadi tidak sengaja. Virus tidak dapat “mengetahui” mutasi apa yang akan resisten terhadap obat.

Satu mutasi saja dapat mengakibatkan HIV resisten terhadap beberapa jenis obat. Hal ini benar untuk 3TC (Epivir) dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Namun, HIV harus melalui serangkaian mutasi untuk mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan lain, termasuk sebagian besar protease inhibitor.

Cara terbaik untuk mencegah terjadinya resistensi, adalah mengendalikan HIV dengan mengonsumsi obat ARV yang ampuh. Bila pasien lupa minum obat ARV atau sengaja tidak minum obat, HIV akan lebih mudah bereplikasi. Lebih banyak mutasi akan terjadi. Beberapa darinya dapat menyebabkan resistensi.

Pengobatan ARV di Indonesia 

Di Indonesia, ARV digunakan mengikuti guideline nasional penggunaan ARV. Dalam guideline ini, pengobatan pertama pada penderita menggunakan obat ARV lini pertama, yang juga direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Obat-obatan itu terdiri dari kombinasi NRTI (nucleoside reverse transciptase inhibitor) dan NNRTI (non nucleoside reverse transciptase inhibitor). Protease inhibitor (PI) tidak digunakan di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya.

NRTI yang tersedia di Indonesia antara lain Zidovudin, Lamivudin dan Stavudin. NNRTI adalah Nevirapin dan Efavirenz. Terapi ARV menggunakan kombinasi tiga macam obat, biasanya 2NRTI dan 1 NNRTI. Ada sedikit perbedaan indikasi terapi ARV dalam guideline WHO 2003 dan 2006. Dalam guideline terakhir, WHO mengindikasikan terapi ARV pada pasien dengan CD4<350.

Dengan memberikan pengobatan lebih awal, risiko infeksi oportunistik yang dapat menyebabkan kematian pada penderita HIV/AIDS dapat menurun. Namun, di negara-negara berkembang, pemberian pengobatan lebih awal dapat meningkatkan jumlah penderita yang mendapatkan ARV. Dibutuhkan dana dan tenaga yang lebih banyak, untuk bisa menjalankan program ini

Kombinasi ARV yang sering digunakan di Indonesia adalah 1) AZT, 3TC dan Nevirapin. 2) Stavudin, 3TC, Nevirapin; 3) AZT, 3TC, Evafirenz dan 4) Stavudin, 3TC dan Nevirapin. Keempat obat ARV lini pertama ini sudah diproduksi di Indonesia, kecuali Efavirenz (masih dalam tahap registrasi).

Pemberian ARV jangka pendek, memberikan hasil yang memuaskan; angka keberhasilannya mencapai 91,4%. Sementara jika ARV tidak dipersiapkan dengan baik, berisiko menyebabkan pasien berhenti berobat dan munculnya resistensi. Menurut Prof. dr. Samuridjal Djauzi, Sp.PD-KAI, treshold survey yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan angka resistensi kurang dari 5%.

Ketika terapi gagal, kepatuhan pasien terhadap pengobatan harus dievaluasi. “Jika kepatuhannya rendah, kepatuhan pasien terhadap pengobatan harus ditingkatkan. Jika ada resistensi terhadap terapi ARV, pengobatan harus diganti dengan kombinasi ARV lini kedua dengan PI,” kata Prof. Samsuridjal. PI dapat menyebabkan sindroma metabolic, jika digunakan dalam jangka panjang.