Ethicaldigest

Otoimunitas IgE pada Terjadinya Dermatitis Atopik

Pasien DA dengan otoantibodi IgE, cenderung mengalami manifestasi pada kulit yang lebih parah, dibandingkan pasien tanpa otoantibodi IgE. Otoreaktivitas IgE meningkat ketika gejala-gejala pada kulit memburuk, sebagai respon kontak terhadap alergen dari lingkungan. Selama eksaserbasi manifestasi kulit, level otoantibodi IgE meningkat tajam.

Reduksi dari reaktivitas antibodi IgE pada protein manusia diobservasi pada pasien DA, selama pengobatan cyclosporine A sistemik. Perbaikan lesi kulit dihubungkan dengan reduksi otoreaktivitas IgE. Ketika gejala kulit memburuk selama kontak dengan alergen eksogen, otoreaktivitas IgE meningkat. Semua temuan baru ini mengindikasikan, otoreaktivitas IgE dapat menjadi parameter diagnostik untuk inflamasi atopik kronik.

Kontribusi Otoreaktivitas IgE

Setidaknya, ada 2 kemungkinan patomekanisme yang bergantung pada otoreaktivitas IgE. Pertama, kemungkinan otoalergen menghubungkan silang otoantibodi IgE yang terikat sel efektor dan menyebabkan gejala alergi secara cepat, dengan pelepasan mediator anafilaktogenik. Dukungan untuk ide ini datang dari temuan bahwa antigen IgE, menyebabkan pelepasan histamin dari basofil dan menginduksi reaksi kulit.

Dalam konteks ini, juga telah diteliti apakah otoantigen IgE dapat dihubungkan dengan faktor pelepasan histamin yang bergantung IgE. Pelepasan histamin yang tidak bergantung IgE, merupakan karakter sera dari pasien atopik untuk mengaktifkan basofil tanpa allergen lain. Karenanya, muncul spekulasi, kalau hal itu disebabkan kompleks imun yang ditemukan antara IgE dan otoalergen. Tetapi, outcome dari studi terbaru menunjukkan bahwa otoreaktivitas dan aktivitas pelepasan histamin yang begantung IgE, merupakan fenomena yang jauh berbeda dan tidak berhubungan satu dengan lainnya.

Kemungkinan kedua, bagaimana otoreaktivitas dan otoantigen IgE dapat berkontribusi pada penyakit adalah aktivasi otoreaktif sel T. Di satu sisi, sel T otoreaktif dapat diaktivasi melalui presentasi otoalergen, yang dimediasi antibodi IgE oleh sel-sel dendritik atau monosit. Alternatifnya, adalah mungkin bahwa otoantigen IgE mengaktifkan sel T melalui mekanisme yang tidak bergantung IgE. Adanya sel T yang mengenali otoantigen IgE, tentu saja telah tampak pada pasien atopik.

Kemungkinan lain untuk meneliti relevansi otoreaktivitas patologis adalah dengan melakukan penelitian pada binatang. Kriteria Rose menyatakan, otoreaktivitas adalah relevansi patogenik jika kondisi berikut ini dapat dipenuhi: adanya trasfer antibodi patogenik atau sel T patogenik; reproduksi penyakit otoimun pada model binatang, dengan melakukan imunisasi otoantigen dan mendiagnosa penyakit otoimun berdasar  petunjuk klinis.

Baru-baru ini, terlihat bahwa sensitisasi tikus dengan mencoba mempertahankan otoantigen IgE, α-NAC terinduksi dengan cepat, sebagaimana manifestasi kronis atopi pada murin. Tikus yang diimunisasi dengan α-NAC murin atau manusia menunjukkan otoreaktivitas IgE, reaksi kulit tipe cepat yang bergantung IgE dan gejala asma. Yang menarik, tikus yang mengalami otosesitisasi mengalami otoreaktivitas pola campuran Th2 dan Th1, seperti yang diobservasi pada pasien yang memiliki otoantibodi dan yang menderita atopi kronik dan berat. Studi berikutnya menunjukkan, otosensitisasi IgE dapat menyebabkan penyakit pada model hewan.

OTOIMUNITAS PADA DERMATITIS ATOPIK