Ethicaldigest

Terapi ACT untuk Malaria Resisten

Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Meski ada kecenderungan penurunan jumlah penderita di Jawa dan Bali, ada peningkatan jumlah penderita di luar Jawa dan Bali. Terutama di bagian timur, di mana angka kejadiannya masih tinggi. Penyebabnya adalah masih kurangnya akses masyarakat di daerah tersebut terhadap fasilitas kesehatan.

Menurut dr. Paul Harijanto SpPD-KPTI, dari RS Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara, masalah utama dalam penanganan pasien malaria saat ini adalah meningkatnya jumlah kasus yang multi resisten terhadap obat. Sebab itu, dianjurkan untuk melakukan pengobatan dengan kombinasi beberapa obat, dengan mekanisme kerja yang berbeda. Alasannya, kombinasi ini lebih efektif dan suatu parasit mutan yang resisten terhadap satu obat, bisa dibunuh dengan obat lain yang dikombinasi.

Chloroquine telah digunakan sejak 1945 sebagai anti malaria utama di daerah-daerah epidemik. Namun, ada laporan resistensi terhadap agen ini. Resistensi terhadap chloproquine pertama kali dilaporkan pada daerah hiperendemik di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, pada 1950an, dan menyebar secara cepat keseluruh dunia. Pada 2001, resistensi terhadap chloroquine dilaporkan dari semua daerah endemik, kecuali Kepulauan Karibia dan Amerika Tengah.

Di Indonesia, resistensi terhadap chloroquine pertama kali dilaporkan pada 1974 di Provinsi Kalimantan Timur. Sejak 1996, malaria yang resisten terhadap chlorioquine ditemukan pada sebagian besar provinsi, dengan berbagai tingkat resistensi. Pada 2003, resistensi plasmodium falciparum terhadap chloroquine dilaporkan di 15 provinsi, dan resistensi terhadap plasmodium vivax terjadi di 11 provinsi. Beberapa penelitian tahun 2004 menunjukkan, kegagalan pengobatan menggunakan chloroquine terhadap P. falciparum mencapai 80%. Dan, pada 2008, chloroquine tidak lagi digunakan untuk pengobatan atau profilaksis malaria.

“Karena jumlah kasus resistensi multi drug terus meningkat, National Expert Committee on Malaria menganjurkan untuk menghentikan penggunaan obat-obatan konvesional (seperti chloroquine dan sulfadoxine-pyrimethamine), dan mulai menggunakan artemisin combination therapy (ACT) untuk mengobati malaria yang tidak terkomplikasi,” kata dr. Paul. “WHO  menganjurkan penggunaan ACT sebagai pengobatan lini pertama untuk malaria tanpa komplikasi sejak 2006. Pada 2007, 74 negara telah menggunakan ACT.”

Artemisin dan turunannya dapat dengan cepat mengkliren parasit dan mengurangi gejala malaria. Obat-obatan ini menurunkan jumlah parasit sampai 10000/setiap siklus aseksual. Obat turunan dari artemisin ini tidak boleh digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan malaria uncomplicated, karena akan menyebabkan resistensi terhadap kelas obat antimalaria ini. Terapi kombinasi berbasis artemisinin, saat ini merupakan pilihan pengobatan pada 41 dari 43 negara endemik malaria.

Pilihan kombinasi ACT  yang direkomendasikan WHO adalah artemether-lumefantrine (RCoartem), artesunate+amodiaquine, artesunate+mefloquine (AS+MQ) dan artesunate+sulfadoxine-pyrimethamine. Di antara  ACT tersebut, hanya artemether-lumefantrine (AL) yang sudah tersedia dalam bentuk fixed dose.

Pada 2004, pemerintah menganjurkan penggunaan kombinasi artesunate+amodiaquine untuk melawan malaria di provinsi tertentu, terutama di bagian timur Indonesia. Tapi, pada 2007 masalah resistensi terhadap kombinasi ini dilaporkan di Lampung, Papua dan Sulawesi Utara, yang mencapai 20% kasus atau lebih. Di sisi lain, masalah pendistribusian ACT menjadi tantangan utama untuk mengobati malaria di banyak kota besar, yang mendapat kasus-kasus malaria dari daerah-daerah lain. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membolehkan penggunaan artemether-lumefantrine—kombinasi ACT dosis tetap.

Pada Oktober 2009, National Expert Committee on Malaria dengan mempertimbangkan peningkatan kasus P.falciparum dan P.vivax yang gagal diobati dengan AS+Amo, dan efek samping muntah, menganjurkan mengganti AS+Amodengan DHP (dihydroartemisin-piperaquine) sebagai obat lini pertama. Harapannya, obat baru ini bisa menurunkan transmisi, sebab piperaquine memiliki paruh waktu yang lebih panjang.