Para peneliti Universitas Wisconsin menemukan, kurang tidur dan mengantuk berlebihan di siang hari pada orang usia paruh baya dengan fungsi kognitif normal, berhubungan dengan peningkatan deposisi amiloid, patologi tau, degenerasi aksonal dan neuroinflamasi, yang merupakan faktor risiko penyakit Alzheimer.
Penelitian sebelumnya memperlihatkan, ada hubungan antara tidur dan penyakit Alzheimer. “Apa yang baru dari penelitian kami, partisipan yang terlibat berusia lebih muda dari penelitian sebelumnya, tidak ada satu pun yang mengalami dimensia,” kata Barbara B. Bendlin, PhD, associate professor kedokteran Universitas Wisconsin dan Wisconsin Alzheimer’s Disease Research Center.
“Hasilnya sekali lagi memberikan data pendukung dari hipotesa bahwa kualitas tidur dan perubahan pada otak mungkin memiliki hubungan. Tapi, follow up yang ingin kami lihat adalah, apakah dengan memodifikasi tidur, otak bisa terlindungi,” tambahnya. Penelitian ini dipublikasikan secara online di Jurnal Neurologi 5 Juli 2017.
Penelitian ini melibatkan 101 pasien dari Wisconsin Registry for Alzheimer’s Prevention (WRAP) usia rata-rata 64 tahun, telah menjalani lumbar punctures untuk pengambilan sampel cairan serebrospinal, memiliki fungsi kognitif normal dan mengisi kuisioner kualitas tidur. Kuisioner yang digunakan adalah Medical Outcomes Study (MOS) Sleep Scale dan Epworth Sleepiness Scale (ESS). Para peneliti juga melakukan analisa sekunder, terhadap gejala-gejala gangguan nafas saat tidur, seperti ngorok dan sesak nafas saat terbangun.
Penanda cairan serebrospinal yang diukur mencakup deposisi amiloid dan formasi plak (A²42), kondisi posforilasi tau dan patologi tau (p-tau), degenerasi aksonal (t-tau), neurofilament light (NFL), inflamasi saraf (MCP- 1), chitinase-3–like protein 1 (YKL-40), dan synaptic dysfunction/degeneration (neurogranin).
Para peneliti menemukan, kurang tidur berhubungan dengan peningkatan tau terposforilasi, tau total, NFL, MCP-1 dan YKL-40. Ini menggambarkan bahwa neuropatologi yang lebih besar, berhubungan dengan kualitas tidur dan/atau masalah tidur. Para peneliti juga menemukan hubungan yang sama, pada hampir 30% partisipan penelitian yang memiliki alel APOE µ4.
“Jadi meskipun kelompok ini memiliki faktor risiko genetik untuk penyakit Alzheimer sporadik (alel APOE µ4), pada kasus ini kami tidak melihat hubungan yang berbeda antara ‘pembawa’ dan ‘non pembawa,” kata Dr. Bendlin. “Itu tidak mengejutkan karena kami tahu, ‘non pembawa’ yang tidak memiliki faktor genetik, bisa mengalami dimensia di masa depan.”
Penelitian ini tidak melihat hubungan antara penanda cairan serebrospinal dan gejala obstructive sleep apnea (OSA). Menurut peneliti, ini mengejutkan. Sebab, selama ini diketahui OSA adalah faktor risiko dimensia. Mungkin karena tingkat keparahan OSA pada sampel ini terlalu rendah, untuk bisa mendeteksi hubungan dengan cairan serebrospinal.