Ethicaldigest

dr. med. Ferdhy Suryadi Suwandinata, SpOG

Lulus FKUI tahun 2000, ia langsung melanjutkan studi S2. “PTT saat itu tidak wajib lagi. Saya memilih studi ke Jerman,” jelas dr. med. Ferdhy Suryadi Suwandinata, SpOG,  yang saat di SMA tertarik di bidang teknologi instrumentasi (IT). “Saya mengambil obstetric dan ginekologi.” 

Banyak perbedaan antara Indonesia dan Jerman, “Terutama mengenai komposisi penyakitnya.”  Kasus obgyn di Jerman jarang ditemui. Angka persalinan di Eropa kecil sekali. Di Indoensia sebaliknya. Penyakit seperti eklamsi di Indonesia banyak dijumpai, di Jerman jarang ditemukan. “Selama sekolah di Jerman, saya hanya menemukan satu kasus eklamsi. Di sana, antenatal care bagus,” ujar kelahiran Jakarta, 2 Februari 1977 ini.

Penguasaan bahasa penting. Pasien enggan ditangani dokter yang tidak bisa bahasa Jerman. Meski terkesan cuek, orang Jerman disiplin. Kalau jadwal masuk jam 08.00, pada jam itu harus sudah di tempat. Jam 16.00, dokter bisa pulang meski masih ada pasien. Kesamaannya, di Jerman atau di Indonesia, membangun kepercayaan pasien terhadap dokter tidak mudah. “Itu yang terus saya usahakan dan perbaiki.”

Ia termasuk satu dari 200 dokter obgin yang tertarik mendalami bidang bedah minimal invasive, terutama laparoskopi, “Karena tindakan laparoskopi lebih terencana /elektif.” Keungulan laparoskopi di antaranya, mengurangi rasa nyeri pasien karena sayatan lebih minimal. Luka minimal, pasien lebih cepat pulih dan perlengketan minimal. Daerah-daerah tertentu yang tidak bisa dicapai dengan laparotomi, dengan teknologi laparoskopi dapat dilakukan. “Sekarang ada fleksible endoscope, yang dapat  memberi hasil lebih baik.”  berharap ada sentralisasi atau klasifikasi kasus tertentu di setiap rumah sakit, agar pasien mendapat terapi yang lebih baik. “Di Jerman, kasus tertentu paling bagus dilakukan di Rumah Sakit A, semantara kasus lain lagi hasilnya lebih baik kalau ditangani di Rumah Sakit B.”