Ethicaldigest

Pengaruh Bakteri terhadap Alergi

Prevalensi alergi makin meningkat di seluruh dunia. Modifikasi bakteri usus bisa membantu mengurangi munculnya reaksi alergi.

Rerata prevalensi alergi di seluruh dunia, berdasarkan data World Alergi Organizaion (WAO) tahun 2011, sekitar 30-40%. Riset dari Center for Disease Control and Prevention, AS, tahun 1993-2006 juga menunjukkan, prevalensi alergi meningkat hingga tiga kali lipat. Dulu, peningkatan kasus alergi banyak terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa. Sekarang, penduduk di negara-negara berkembang tak luput dari ancaman alergi.

Profil alergi sedikit berubah. Dulu, peningkatan banyak terjadi pada asma dan rinitis alergi. Sekarang, peningkatan secara signifikan terjadi pada alergi makanan, terutama pada anak. Diperkirakan di Inggris, hingga 50% anak didiagnosa menderita alergi. Ada pun data dari CDC (Center for Disease Control) tahun 2007 menyebutkan, sekitar 3 juta anak (usia <18 tahun) atau 3,9% dari populasi menderita alergi pada pencernaan dalam 12 bulan terakhir. Dari tahun 1997-2007, prevalensi alergi makanan meningkat hingga 18% pada anak.

Alergi adalah penyakit yang ‘unik’; perjalanan penyakit ini tidak berhenti hanya pada satu gejala. Pada anak, yang paling sering terjadi adalah alergi makanan dan alergi pada kulit. Saat usia anak bertambah dan setelah dewasa, alergi bisa ‘berubah’ rinitis alergi dan/atau asma; disebut alergi march. Anak-anak dengan alergi makanan, memiliki risiko 2-4 kali lipat menderita kondisi alergi lain seperti asma.

Banyak hal yang mempengaruhi peningkatan kasus alergi. Seperti halnya penyakit jantung dan pembuluh darah, alergi juga sangat dipengaruhi oleh faktor gaya hidup. Gaya hidup ‘modern’ ditengarai memberikan pengaruh cukup besar terhadap peningkatan prevalensi alergi. Pertama, pola makan. Kini kita cenderung mengonsumsi makanan lezat a la restoran yang tinggi lemak, garam, gula dan pengawet. Sebaliknya, pola makan tradisional seperti tahu, tempe, buah dan sayur, mulai terlupakan. Pengawet memperberat kerja sistem pencernaan dan bisa menjadi alergen bagi tubuh. Selain itu, pola makan tinggi lemak dan sebagainya mengubah profil bakteri penghuni usus.

Sebab lain, lingkungan makin ‘steril’. Lingkungan yang terlalu bersih dapat mengganggu perkembangan normal sistem imun sehingga lebih rentan terhadap alergi. Secara alamiah, tubuh memerlukan kuman agar sistem imun bisa ‘belajar’ mengenali berbagai kondisi lingkungan dan matang dengan sempurna. Contoh mudahnya, bayi yang dilahirkan secara Caesar berisiko lebih besar terhadap alergi, ketimbang bayi yang dilahirkan secara normal karena tidak terpapar bakteri di jalan lahir ibu. Penelitian menunjukkan, perkembangan kolonisasi bakteri baik seperti Bifidobacteria pada bayi yang lahir secara Caesar, jauh lebih lambat daripada bayi yang lahir normal.

Penggunaan karpet, juga berpengaruh. Khususnya di Indonesia, yang udaranya banyak mengandung debu. Karpet akan memerangkap debu rumah, dan ini merupakan tempat bagi tungau debu rumah untuk berkembang biak. Paparan alergen (seperti debu rumah) yang begitu dini, ditengarai bisa memicu alergi pada anak.

Di sisi lain, masa menyusui makin singkat. Sebuah penelitian di Jakarta oleh Dr. dr. Zakiudin Munasi, Sp.A(K) dari FKUI/RSCM menunjukkan, rerata ibu hanya menyusui bayinya 3 bulan. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan, pemberian ASI (air susu ibu) eksklusif selama 6 bulan dapat mengurangi risiko alergi. ASI mengandung zat khusus yang berperan dalam mematangkan sel imun tubuh, sehingga mengurangi risiko alergi serta memicu pertumbuhan Bifidobacteria. Berbagai penelitan membuktikan, anak yang memiliki kandungan Bifidobacteria lebih tinggi di ususnya, lebih jarang menderita alergi. Populasi Bifidobacteria makin menurun seiring bertambahnya usia. Di usia tua, populasi Bifidobacteria di usus umumnya sangat rendah.

Mekanisme alergi

Reaksi alergi terjadi karena adanya ketidakseimbangan pada sistem imun, yakni pada T-Reg khususnya T-helper (TH). Idealnya, TH1 yang berperan dalam autoimun dan TH2 yang berperan dalam alergi, bekerja seimbang. Pada kasus alergi, TH2 lebih aktif; antara lain, ia memroduksi immunoglobulin E (IgE) lebih banyak daripada yang seharusnya. IgE merupakan antibody yang berperan menjaga tubuh dari serangan parasit.

Reaksi alergi terjadi ketika antigen menjadi terlalu sensitif dan salah mengenali; alergen yang sebenarnya tidak berbahaya, dianggap sebagai musuh. Maka, ketika alergen masuk ke tubuh, sistem imun segera memroduksi IgE. IgE akan melekat pada sel mast, membuatnya tidak stabil dan akhirnya pecah. Keluarlah berbagai zat, salah satunya histamin. Inilah yang menimbulkan reaksi alergi seperti bersin-bersin, mata berair, dan lain-lain, tergantung di organ mana ia bekerja.

Yang dikhawatirkan dari alergi yakni reaksi alergi berat yang dikenal sebagai syok anafilaksis, yang bisa menyebabkan kematian. Meski tidak segawat syok anafilaksis, komplikasi lain seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) perlu diwaspadai. Selain bisa menurunkan kualitas hidup dan mengurangi produktivitas, juga membutuhkan biaya mahal untuk pengobatannya.

Pengaruh bakteri

Bakteri, khususnya bakteri usus, berperan besar dalam alergi. Lebih dari 80% sistem imun terdapat di saluran cerna, sementara usus dihuni oleh trilyunan bakteri. Profil bakteri penghuni usus, sangat menentukan derajat kesehatan seseorang. Bakteri baik seperti Bifidobacteria mengurangi risiko alergi. Bakteri baik lain yang turut berperan yakni Lactobacillus, yang menghasilkan asam laktat. Bakteri ini melapisi dinding usus dan membentuk barrier sehingga hanya tersedia lubang-lubang kecil di dinding usus untuk penyerapan nutrisi dari usus ke darah.

Kondisi seperti ini memungkinkan nutrisi yang melewati dinding usus ‘terseleksi’ lebih baik: hanya makanan yang telah tercerna dengan baik yang bisa melewatinya. Makanan yang belum tercerna sempurna, alergen, kuman dan racun, tidak bisa lewat karena ukuran partikelnya terlalu besar. Ditengarai, ‘kebocoran’ zat-zat ini membuat tubuh menjadi lebih sensitif sehingga reaksi alergi mudah muncul.

Tidak hanya melapisi usus, bakteri baik masuk lebih jauh ke lapisan dalam usus hingga ke Peyer’s patches, yang merupakan bagian sistem imun pada jaringan limfoid. Di Peyer’s patches, bakteri baik mengaktifkan sistem imun agar lebih waspada terhadap serangan kuman dan sel kanker, serta meredakan reaksi alergi dengan membantu menyeimbangkan TH1 dan TH2.

Manfaat probiotik terhadap alergi, telah dibuktikan melalui berbagai studi. Salah satunya studi yang dilakukan Giovannini, dkk (2007), yang memeriksa efek susu fermentasi dengan kandungan L. casei pada 187 anak berusia 2-5 tahun. Anak-anak ini dibagi menjadi 2 kelompok; selama 12 bulan, satu kelompok menerima susu fermentasi, dan kelompok lain menerima plasebo. Pada kelompok susu fermentasi, lebih sedikit anak penderita rinitis alergi yang mengalami episode rinitis. Secara umum, status kesehatan mereka pun lebih baik dibandingkan anak di kelompok plasebo.

Penelitian oleh Ivory, dkk (2008) dari Institute of Food Research, Inggris, melibatkan 20 relawan dengan riwayat SAR (seasonal allergic rinitis). Para relawan dibagi dua kelompok (@10 orang). Selama 5 bulan, satu kelompok menerima plasebo, dan kelompok lain menerima probiotik L. casei Shirota strain. Dilakukan pengumpulan sampel darah sebelum, saat puncak, dan 4 minggu setelah musim grass pollen. Ditemukan, kelompok yang mendapat L. casei Shirota strain mengalami penurunan pada antigen, yang berhubungan dengan reaksi alergi. Kadar IgE mereka selama masa puncak dan setelah musim grass pollen pun turun.

Tamura M, dkk (2007) dari Osaka University School of Medicine, Jepang, meneliti efek L. casei Shirota strain pada pasien rinitis alergi yang dipicu oleh Japanese cedar pollen (JCP). Partisipan dibagi menjadi 2 kelompok; selama 8 minggu, satu kelompok mendapat L. casei Shirota strain dan kelompok lain mendapat plasebo. Pada pasien dengan gejala nasal sedang-berat, pemberian L. casei Shirota strain tampak mengurangi symptom-medication scores (SMS) nasal. Penelitian pada tikus dilakukan oleh Shida K, dkk (2002) dari Yakult Central Institute for Microbiological Research, Jepang. Model alergi berupa tikus-tikus dengan ovalbumin-specific T cell receptor transgenic (OVA-TCR-Tg) diberi diet yang mengandung OVA selama 4 minggu, dan diinjeksi dengan L. casei Shirota strain secara intraperitoneal sebanyak 3x dalam seminggu pertama periode percobaan. Sekresi sitokin, antibody, serum IgE dan IgG1 diperiksa. Efek L. casei Shirota strain dalam menghambat anafilaksis sistemik juga diuji. Hasilnya, injeksi L. casei Shirota strain menginduksi respon IL-12 dalam serum tikus. L. casei Shirota strain juga menghambat serum IgE spesifik OVA dan respon IgG1, serta menghilangkan anafilaksis sistemik. Disimpulkan, pemberian L. casei Shirota strain dapat mencegah alergi makanan.