Ethicaldigest

Peran Probiotik pada Saluran Cerna

Gangguan pada saluran pencernaan tak pernah habis. Salah satu yang paling mengancam adalah gastroenteritis. Penyakit ini berjangkit di negara berkembang dan negara maju. Diperkirakan, terjadi 3-5 milyar kasus/tahun di seluruh dunia, dengan angka kematian 1,4 juta. Negara berkembang yang tingkat kebersihannya  kurang baik, memiliki risiko yang lebih tinggi. Departemen Kesehatan RI menyatakan, angka kejadian gastroenteritis di Indonesia sekitar 230-342/1000 penduduk untuk semua golongan umur; 60% di antaranya terjadi pada balita. Angka kematian pada anak mencapai 4/1000.

Gastroenteritis atau peradangan pada lambung dan usus, umumnya disebabkan oleh infeksi, karena bakteri, virus mau pun parasit. Pada anak, virus yang paling sering penyebabnya yakni rotavirus, dan pada dewasa norovirus. Ada pun bakteri yang paling sering ditemukan pada kasus gastroenteritis yakni E. coli dan Campylobacter.

Sebagian besar gastroenteritis bisa sembuh sendiri. Namun, penyakit ini sangat mudah menular. Harus diwaspadai bila terjadi pada anak dan kelompok lanjut usia (lansia). Diare yang ditimbulkan bisa menimbulkan dehidrasi, sementara dua kelompok usia ini tidak memiliki kesadaran untuk banyak minum guna mengganti cairan yang hilang. Inilah yang paling sering menyebabkan kematian.

Yang juga perlu diwaspadai, bila pasien dirawat di rumah sakit (RS) dan/atau mendapat terapi antibiotik. Pasien berisiko terinfeksi oleh C. difficile, yang bisa menimbulkan diare berat disertai darah pada feses. Gejala khas ini disebabkan oleh racun yang diproduksi bakteri, merusak permukaan usus dan membuatnya meradang hingga berdarah. C. difficile berpotensi memicu terjadinya kolitis pseudomembranosa.

Peranan probiotik

Keseimbangan bakteri penghuni usus, berperan penting dalam kesehatan saluran cerna, khususnya lambung dan usus. Bila populasi bakteri bermanfaat terganggu, populasi bakteri yang bersifat patogen bisa tak terkendali. Akibatnya, timbul berbagai masalah; salah satunya gastroenteritis.

Bakteri bermanfaat adalah bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium, akan menciptakan barrier di dinding usus sehingga bakteri patogen tidak bisa menempel. Asam laktat yang dihasilkan membuat lingkungan usus demikian asam, sehingga pertumbuhan bakteri patogen bisa ditekan. Bakteri bermanfaat juga membantu penyerapan nutrisi dan menetralisir racun di usus. Tak kalah penting, bakteri ini merangsang motilitas usus, sehingga proses pencernaan berjalan optimal. Buang air besar (BAB) pun lancar sehingga tak ada kotoran dan racun yang menumpuk di usus.

Belum banyak disadari, pola makan sehari-hari kerap mengganggu populasi bakteri bermanfaat. Serat, yang merupakan prebiotik (makanan bakter bermanfaat), sering terlupakan. Masyarakat sekarang cenderung mengonsumsi makanan tinggi lemak, kalori, karbohidrat dan gula, yang merupakan makanan bagi bakteri patogen. Akibatnya bakteri patogen membludak, sementara populasi bakteri bermanfaat menyusut.

Konsumsi antibiotik bisa menjadi masalah. Antibiotik membunuh bakteri pathogen dan bakteri bermanfaat. Hilangnya bakteri bermanfaat di usus akan menurunkan pertahanan alami usus, sehingga begitu mikroba berbahaya masuk, tak ada yang mengimbangi. Jamak terjadi diare terkait penggunaan antibiotik; utamanya disebabkan oleh C. difficile.

Memelihara populasi bakteri bermanfaat, bisa dilakukan dengan konsumsi probiotik. Banyak studi ilmiah yang telah dilakukan, untuk membuktikan manfaat probiotik terhadap berbagai gangguan pencernaan. Di antaranya, studi oleh Nagata S, dkk (2011), yang mengevaluasi efek probiotik terhadap gastroenteritis akibat norovirus yang terjadi selama musim dingin di Jepang. Sebanyak 77 lansia (rerata usia 84 tahun), dibagi dua kelompok. Satu kelompok mendapat susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain, sementara kelompok lain tidak mendapat apa-apa. Hasilnya, rerata durasi demam >37oC setelah gastroenteritis, jauh lebih rendah pada kelompok yang mendapat probiotik. Hasil pada pemeriksaan sampel feses menunjukkan, kelompok ini memiliki Bifidobacterium dan Lactobacillus yang dominan, sebaliknya Enterobacteriaceae turun dan konsentrasi asam laktat  meningkat secara signifikan.

Pada anak, terlihat melalui penelitian Dipika Sur, dkk (2011) di Kolkatta, India. Sebanyak 3.585 anak usia 1-5 tahun di daerah kumuh di Kolkatta, dibagi menjadi dua kelompok. Selama 12 minggu, satu kelompok mendapat minuman probiotik dengan L. casei Shirota strain, dan kelompok lain mendapat plasebo berupa susu fermentasi yang bentuk dan rasanya mirip dengan minuman probiotik yang diberikan pada kelompok pertama. Hasil penelitian menunjukkan, insiden diare pada kelompok probiotik lebih rendah. Berdasarkan analisis mikroba, anak dari kelompok probiotik yang menderita diare  memiliki mikroba (bakteri, virus, parasit) patogen lebih rendah.

Studi oleh Kamhuber C, dkk (2009) menunjukkan efek probiotik terhadap infeksi C. difficile. Studi ini melibatkan 340 pasien (rerata usia 71 tahun) yang dirawat di RS dan mengonsumsi antibiotik. Kepada mereka diberikan probiotik berupa L. casei shirota strain dengan dosis 1x sehari selama terapi antibiotic, dan 3 hari setelah terapi selesai. Sebanyak 338 pasien tidak mendapat probiotik, sebagai kontrol. Hasilnya, hanya 5% pasien di kelompok probiotik yang mengalami diare terkait antibiotik (17 dari 349), sementara pada kelompok kontrol 18% (63 dari 338). Pada kelompok probiotik tidak terjadi infeksi C. difficile, pada kelompok kontrol ada 6% (21 orang).

Short bowel syndrome

Perkembangan penelitian makin banyak menempatkan probiotik sebagai pengobatan, bukan hanya untuk pencegahan. Misalnya pada kasus short bowel syndrome (SBS) atau sindrom usus pendek, efek samping yang terjadi pada pasien yang menjalani reseksi usus masif. Pasien ini biasanya mengalami malnutrisi dan dilatasi usus, yang menyebabkan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus (intestinal bacterial overgrowth syndrome).

Seperti studi oleh David C. A. Candy, dkk (2001), berdasarkan case report. Seorang bayi lelaki berusia 2 hari di Southampton, Inggris, harus menjalani abnoplasti perineal karena menderita anal atresia. Pasca operasi terjadi enterokolitis nekrotis, hingga perlu dilakukan jejunostomi; jejunumnya hanya tersisa 60 cm. Di usia 7 bulan ia menjalani anastomosis jejunal-rektal. Dilakukan gastrotomi pada usia 10 bulan, untuk memudahkan pemberian nutrisi.

Nutrisi mencakup parenteral, air susu ibu (ASI) perah, dan extensively hydrolyzed casein-based formula. Ia juga menjalani terapi rehidrasi oral dan suplementasi Na+ , untuk mengganti kehilangan nutrisi dan cairan akibat jejunostomi, yang mencapai >1 liter sehari. Usia 11 bulan, nutrisinya diganti dari formula berbasis kasein menjadi berbasis asam amino. Rerata konsentrasi Na+ di urin secara acak dari 6 sampel yang diambil selagi pasien menerima formula berbasis asam amino dan suplementasi Na+ yakni 8+5 mmol/L.

Dugaan small bowel overgrowth diobati dengan rotasi trimethoprim dan metronidazole. Ia juga kerap membutuhkan antibiotik sistemik dan antijamur berulang untuk mengatasi sepsis. Di usia 12 bulan, ia mulai menjalani terapi dengan susu skim 15 ml yang mengandung 1,5×109 L. casei Shirota strain, 3x sehari. Rerata konsentrasi Na+ di 6 sampel urin setelah terapi probiotik yakni 92+20 mmol/L. frekuensi BAB turun dari 12x/hari menjadi 4x/hari. Hingga dua tahun kemudian, ia terus menjalanin terapi antibiotik. Dosis probiotik ditingkatkan selama episode diare akut yang terkait dengan rotavirus. Ia BAB 4x sehari dan dapat menghindarinya di malam hari. Konsentrasi Na+ di urin 186 mmol/L, dan suplementasi Na+ dikurangi.

Sebuah case report lain dilaporkan oleh Yutaka Kanamori, dkk (2001), pada seorang anak perempuan usia 4 tahun, yang didiagnosa gastroschisis saat dalam kandungan dan dilahirkan secara caesar tahun 1994. Pasien ini mengalami serangan demam tinggi berulang dan asidosis metabolik hingga usia 2 tahun, dan status nutrisinya menurun. Pasien tidak bisa BAB secara spontan, dan tergantung pada enema setiap hari. Bakteri pada fesesnya tampak abnormal; bakteri anaerob sangat sedikit, sedangkan bakteri anaerob fakultatif seperti E. coli, sangat tinggi. Ini menunjukkan, pasien sangat rentan terhadap enterokolitis.

Pasien lalu diprogram dengan terapi sinbiotik. Probiotik yang digunakan yakni Bifidobacterium breve dan L. casei Shirota strain, dan sebagai prebiotik yakni galatooligosakarida. Hasilnya, fungsi absortif usus pasien dan motilitas ususnya membaik secara dramatis, dan kondisinya makin membaik setelah terapi selama 2 tahun. Profil bakteri di usus berperan penting dalam kesehatan saluran cerna mau pun kesehatan tubuh secara menyeluruh. Bakteri bermanfaat perlu terus dipelihara. Konsumsi probiotik secara rutin dan kontinyu, akan mendukung populasi dan kolonisasi bakteri bermanfaat, sehingga berbagai gangguan pada saluran cerna bisa dihindari.