Ethicaldigest

Statin Perbaiki Fungi Ginjal Pasien Stroke dan TIA

Terapi atorvastatin dapat memperbaiki fungsi ginjal pasien dengan stroke atau TIA, dengan dan tanpa penyakit ginjal kronik. Juga dapat mencegah penurunan eGFR, pada pasien dengan stroke dan diabetes melitus.

Fibrilasi atrium (AF) terjadi sekitar 1% pada populasi dewasa, meningkat menjadi 4% pada mereka dengan usia diatas 60 tahun. Kondisi ini dapat meningkatkan angka kecacatan, seperti stroke dan serangan jantung kongestif. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup individu dan status fungsionalnya, serta meningkatan biaya perawatan kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk mengetahui strategi, pengobatan apa yang dapat mengurangi dampak adanya fibrilasi atrium; termasuk didalamnya aritmia.

Banyak hipotesis yang menyebutkan bahwa penggunaan statin akan menurunkan risiko AF. Hipotesis ini sebagian besar didasarkan pada observasi, yang menunjukkan bahwa kejadian AF dikaitkan dengan peningkatan penanda inflamasi, sementara statin sendiri diketahui memiliki efek anti inflamasi. Manfaat lain dari statin pada AF, karena obat ini mampu memodifikasi jalur signaling di jaringan atrium.

Kolesterol LDL yang tinggi dikaitkan dengan progresivitas penyakit ginjal kronik (penurunan laju filtrasi glomerulus yang diperkirakan/eGFR) yang lebih cepat. Penurunan kolesterol dengan statin, yang dikombinasi dengan efek pleiotropik statin, seperti penurunan inflamasi, dapat bersifat renoprotektif. Beberapa studi menunjukkan perbaikan eGFR dengan terapi statin, baik pada subjek dengan atau tanpa penyakit ginjal kronik.

Pertanyaan selanjutnya: pada dosis berapa statin terbukti memberi manfaat pada individu dengan AF, terutama untuk mencegah stoke atau transient ischemic attack (TIA)?

Studi SPARCL (Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol Levels) telah dilakukan, untuk menilai efek terapi statin pada risiko stroke fatal dan non-fatal, pada subjek dengan stroke non-kardioembolik atau TIA (transient ischemic attack), tanpa penyakit jantung koroner dan kolesterol LDL antara 2,6-4,9 mmol/L (100-190 mg/dL). Dalam studi ini, terapi atorvastatin 80 mg/hari menunjukkan risiko stroke dan kejadian koroner mayor lebih rendah, dibandingkan placebo.

Dalam studi tersebut juga dilakukan analisis post hoc, yang menilai efek atorvastatin 80 mg/hari atau plasebo pada perubahan eGFR, menggunakan persamaan 4-component Modification of Diet in Renal Disease Study pada subjek SPARCL (n=4.731), dengan penyakit ginjal kronik (eGFR <60 mL/menit/1,73 m2, n=3.119) dan tanpa penyakit ginjal kronik (eGFR ≥60 mL/menit/1,73 m2, n=1.600) secara keseluruhan, dan dengan status glikemik saat basal.

Subjek dengan penyakit ginjal kronik mempunyai eGFR basal 52,3 ± 7,0 mL/menit/1,73 m2, dibandingkan dengan eGFR 72,3 ± 8,9 mL/menit/1,73 m2 pada pasien tanpa penyakit ginjal kronik (p<0,001). eGFR basal rata-rata sama antara kedua kelompok terapi (65,5 ± 0,26 mL/menit/1,73 m2 pada kelompok atorvastatin vs 65,6 ± 0,26 mL/menit/1,73 m2 pada kelompok plasebo; 33% vs 34% masing-masing kelompok mempunyai penyakit ginjal kronik, p=0,55).

Setelah 60 bulan, eGFR meningkat 3,46 ± 0,33 mL/menit/1,73 m2 pada kelompok atorvastatin vs 1,42 ± 0,34 mL/menit/1,73 m2 pada kelompok plasebo (p<0,001), yang tidak tergantung pada fungsi ginjal basal. Pada subkelompok dengan diabetes melitus, eGFR meningkat 1,12 ± 0,92 mL/menit/1,73 m2 pada kelompok atorvastatin dan menurun 1,69 ± 0,92 mL/menit/1,73 m2, pada kelompok plasebo selama periode 60 bulan (p=0,016). Dengan kata lain, hasil analisis post hoc ini menunjukkan bahwa terapi atorvastatin, dapat memperbaiki fungsi ginjal pasien dengan stroke atau TIA sebelumnya dengan dan tanpa penyakit ginjal kronik. Dan bahwa terapi atorvastatin juga dapat mencegah penurunan eGFR, pada pasien dengan stroke dan diabetes melitus.