Ethicaldigest

Liraglutide, Terapi DM2 yang Lebih Baik

Pak Mahmud, bukan nama sebenarnya, pria 58 tahun yang berprofesi sebagai seorang direktur terdiagnosis penyakit diabetes mellitus (DM) tipe 2 sejak 20 tahun yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan, dia memiliki berat badan 65 kg, tinggi badan 160 cm, dengan Body Mass Index (BMI) 25,34 kg/m2. Meski rajin mengonsumsi obat anti diabetes yang diberikan oleh dokter, kadar gula darah puasa dan gula darah sesudah makan masih cukup tinggi, yakni pada angka 180 dan 272 mg/dl. Dengan hasil pemeriksaan HbA1c terbaru, yaitu sebesar 8,9%.

Merasa ada yang salah dengan kondisinya, Pak Mahmud memutuskan untuk konsultasi ke dokter. Hal pertama yang dikeluhkan adalah level HbA1c yang cukup tinggi, dan ia bersedia untuk melakukan pengobatan lebih lanjut. Pasien tidak menginginkan penambahan rejimen terapi untuk kondisi diabetesnya. Juga tidak ingin menggunakan terapi insulin untuk diabetesnya. Pasien juga berharap berat badannya dapat diturunkan lebih ideal.

“Ini adalah kondisi klasik pasien diabetes mellitus tipe 2. Selain tidak mau diberi obat yang terlalu banyak, mereka tidak ingin diberi insulin dengan berbagai hal,” jelas dr. Sony Wibisono, SpPD-KEMD.

Sebelumnya, pasien ini mengonsumsi beberapa obat anti diabetes dan obat untuk penyakit jantungnya. Di antaranya glimipiride 2 mg, sitagliptin /metformin 50/500 mg, clopidogrel 75 mg dan isosorbide mononitrate 30 mg. “Riwayat kesehatan pasien menunjukkan pernah mengalami serangan jantung pada tahun 2001,” ujar dr. Sony.

Dinyatakan bahwa masalah yang dihadapi pasien ini, kemungkinan banyak dihadapi sejawat di praktek klinik dalam penanganan penyakit diabetes mellitus; seperti HbA1c yang masih cukup tinggi dan gula darah puasa atau setelah makan yang masih cukup tinggi. Dalam guideline Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) untuk penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus tipe 2, posisi terapi saat ini adalah kombinasi 3 obat yakni metformin + sulfoniurea (SU) dalam hal ini glimipiride + DPP4 inhibitor. Meski demikian, kombinasi ini tidak dapat mengontrol gula darah pasien.

Berbekal beberapa kondisi di atas, dan konsultasi dengan pasien terkait pengobatan penyakit diabetes mellitus, dr. Sony memutuskan menggunakan kombinasi obat anti diabetes, yakni metformin 750 mg dan liraglutide 1,2 mg di pagi hari.

“Sementara SU saya lepas,” ujar dr. Sony.

Selang beberapa bulan terapi, hasil yang cukup memuaskan di dapat dari pasien, di mana HbA1c menjadi 7,2% disertai penurunan berat badan pasien menjadi 62,3 kg, dengan BMI 24,44 kg/m2. Selama kombinasi 2 obat anti diabetes ini diberikan, pasien tetap dapat mengonsumi clopidogrel dan isosorbide mononitrate untuk mengatasi penyakit jantung yang dideritanya.

Kasus di atas bisa menjadi jalan keluar dari besarnya masalah dalam pengelolaan penyakit diabetes mellitus di Indonesia saat ini. “Pengendalian gula darah penderita diabetes menjadi tantangan tersendiri, bagi kalangan medis. Munculnya obat baru dengan mekanisme kerja yang baru, memberi variasi tersendiri dalam managemen pasien diabetes mellitus yang lebih baik,” ujar Prof. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD-KEMD, DTM&H, FINASIM, Fellow of American College of Endocrinology (FACE).

Dalam kesempatan yang berbeda, Prof. Sidartawan mengatakan salah satu hal penting dalam guideline PERKENI 2015 untuk penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus tipe 2, adalah diberikannya tempat bagi GLP-1 RA sebagai pilihan obat pertama setelah metformin, baik dalam terapi satu obat, kombinasi 2 obat atau kombinasi 3 obat anti diabetes mellitus. Hal serupa terlihat dalam guideline American Association Clinical Endocrinologist (AACE) dan American Diebetes Association (ADA).

Hal ini menggambarkan bahwa GLP-1 Receptor Agonist, memiliki tempat yang cukup baik dalam pengelolaan diabetes mellitus tipe 2, tak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Keuntungan lain obat ini, karena GLP-1 RA dapat digunakan dalam kombinasi dengan berbagai obat lain, dan tidak menimbulkan peningkatan berat badan seperti yang disebutkan dalam guilde line ADA 2015. Obat ini juga memiliki efikasi yang cukup baik dalam menurunkan kadar gula darah, serta tidak menimbulkan risiko hipoglikemi pada pasien diabetes mellitus.

Menurut Prof. Sidartawan, dari 12 mekanisme obat yang ada dalam penanganan penyakit diabetes mellitus tipe 2, “Sebagai dokter kita harus mempertimbangkan beberapa hal penting. Di antaranya soal keamanan, efikasi, efeknya dalam meningkatkan berat badan, risiko hipoglikemi, manfaat pada kondisi vascular pasien diabetes, harga, dan kepuasan pasien dalam penggunaan obat.”

Fokus pada terapi berbasis inkretin dalam hal ini GLP-1 RA, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menyatakan bahwa tidak ada data yang secara pasti menunjukkan, terapi berbasis inkretin berhubungan dengan peningkatan kejadian pankreatitis mau pun kanker pankreas pasien DM. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan GLP-1 RA pada pasien diabetes mellitus tipe 2 cukup aman.

Dari sisi efikasi obat GLP-1 RA, dalam hal ini liraglutide, mampu menurunkan HbA1c pasien DM2 mencapai 2,5%, dengan dosis optimal 1,8 mg /hari. Ini sekaligus menujukkan bahwa penurunan HbA1c lebih baik dibandingkan dengan penggunaan rosiglitazone, glimepirid, exenetide dan glargine.

LEAD-3 study juga menunjukan bahwa penggunaan liraglutide, baik dengan dosis 1,8 mg atau 1,2 mg, mampu menurunkan berat badan pasien DM tipe 2, dibandingkan dengan penggunaan glimipiride yang dapat meningkatkan berat badan pasien.

“Penurunan berat badan pasien DM2 menggunakan liraglutide cukup baik. Semakin besar BMI pasien diabetes, semakin besar penurunan berat badan yang bisa dilakukan dengan obat ini,” ujarnya.

Selanjutnya, yang menjadi perhatian para dokter dalam management penyakit diabetes melitus adalah hipoglikemi. Karena liraglutide cara kerjanya adalah glucosa dependent, obat ini bekerja jika ada makanan, karena efek inkretin dari pankreas tersebut. Jika tidak ada makanan masuk maka tidak akan merangsang obat untuk bekerja, sehingga kemungkinan terjadinya hipoglikemi pada pasien  sangat kecil.

“Obat ini baru masuk ke Indonesia, dari pengalaman klinik di beberapa negara tentangga yang sudah lebih dulu menggunakan obat ini, hasilnya ternyata cukup baik. Penelitian tentang efikasi dan safety obat ini juga sudah cukup banyak dipublikasikan,” jelasnya.

Manfaat yang cukup baik juga diperoleh dari penggunaan liraglutide, terutama dalam hal penurunan risiko penyakit kejadian penyakit kardiovaskular pasien DM2. Seperti kita ketahui bersama bahwa penurunan boddy mass index dan lingkar perut, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Obat ini juga mampu menurunkan dislipidemia, tekanan darah, terjadinya disfungsi endotelial dan risiko terjadinya penyakit jantung di masa yang akan datang.

Mengenai patient satisfaction, ada penelitian yang dilakukan dengan membandingkan antara liraglutide dan sitaglipin selama 26 minggu. Hasilnya, kepuasan pasien lebih tinggi pada kelompok yang menerima liraglutide 1,8 mg dibandingkan sitagliptin 100 mg.

Semantara dari sisi biaya, obat ini memang lebih mahal dibandingkan obat anti diabetes lain. Namun, jika dilihat secara jangka panjangnya, obat ini lebih murah karena mampu mencegah terjadinya komplikasi.

“Obat lain mungkin lebih murah, tetapi jika sudah terjadi komplikasi terkait penyakit diabetes dan sebagai dokter kita harus menanganinya, pengobatan dengan obat diabetes yang lebih murah ini menjadi lebih mahal. Itu karena kita harus mengobati hypoglikemi, peningkatan berat badan, dan beberapa kemungkinan penyakit lain yang dapat muncul, akibat tidak terkontrolnya gula darah pasien secara baik,” jelas Prof. Sidartawan. Analisis ekonomi jangka panjang malah menunjukkan, pengeluaran untuk kemudian hari dengan obat ini bisa menghemat sekitar 20%.

Pengobatan penyakit DM2 yang konvensional, umumnya tidak dapat tercapai HbA1c yang dinginkan atau sesuai dengan target, terjadi peningkatan berat badan pasien, bahkan terjadi hipoglikemi. Dengan liraglutide hal-hal ini tidak terjadi. Selain pengobatan DM2, GLP-1 RA juga sedang dalam penelitian untuk pengobatan penyakit diabetes mellitus tipe 1, prediabetes, dan polycystic ovary syndrome.