Ethicaldigest

Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Akut Pasien Berisiko Rendah dan Tinggi

Perdarahan saluran cerna atas merupakan indikasi tersering pasien masuk rumah sakit. “Angka kejadiannya 48-160 kasus per 100.000 orang dewasa pertahun,” ucap dr. Marcellus Simadibrata, Sp.PD-KGEH dari RS Ciptomangunkusumo, Jakarta, pada symposium di Jakarta. Angka kematian perdarahan saluran cerna bagian atas adalah 7,14%. Pada perdarahan berulang, risiko kematian meningkat hingga 40%. “Penyebab tersering di Negara barat adalah ulkus peptikum. Sedangkan di Negara kita adalah rupture varises esophagus,” kata dr. Marcell.

Hematemesis dan melena adalah dua tanda perdarahan saluran cerna bagian atas paling sering. Melena kadang-kadang ditemukan pada pasien dengan perdarahan di saluran cerna bagian bawah. Sementara, hematochezia bisa ditemukan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Perlu kehati-hatian mendiagnosa hanya berdasar tanda-tanda klinis.

Pasien yang datang dengan perdarahan saluran cerna bagian atas akut dan penurunan volume intravaskuler yang substansial, memiliki tanda berupa takikardia saat istirahat (denyut ≥100 kali/ menit), hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mm Hg), atau perubahan postural (peningkatan denyut ≥20 kali/ menit atau penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mm Hg saat berdiri). Membran mukus, nadi leher, dan curah urin harus  dievaluasi untuk mengestimasi status volume intravaskuler.

Prioritas pertama pengobatan adalah memperbaiki hilangnya cairan, dan mengembalikan stabilitas hemodinamik. Resusitasi volume dilakukan dengan pemberian cairan intravena kristaloid, tanpa menunggu data pendukung lainnya. Pilihan akses, jenis cairan resusitasi, kebutuhan transfuse darah, tergantung derajat perdarahan dan kondisi klinis pasien. Cairan kristaloid dengan akses perifer, dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai sedang tanpa gangguan hemodinamik.

Cairan koloid diberikan jika terjadi perdarahan yang berat, sebelum transfuse darah bisa diberikan. Pada keadaan syok dan perlu monitoring ketat pemberian cairan, diperlukan akses sentral. Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 cc/jam), tekanan vena sentral 5-10 cm H2O, kadar Hb tercapai (8-10 gr%).

Pada sekitar 80% pasien, perdarahan yang terjadi akan berhenti secara spontan dan tidak berulang. Morbiditas dan mortalitas  terjadi pada sekitar 20% pasien, dengan perdarahan yang berlanjut dan berulang. Maka, kunci penatalaksanaan   adalah menentukan pasien yang termasuk risiko tinggi berdasar  variabel kondisi klinis, laboratoris dan endoskopi.

Secara klinis dapat diprediksi risiko tinggi terjadinya perdarahan berulang. Menurut dr. Marcellus Simadibrata, Sp.PD-KGEH, faktor-faktor yang dianggap prediktor buruk adalah usia di atas 60 tahun, penyakit komorbid, hipotensi atau syok, koagulopati, perdarahan onset di rumah sakit, memerlukan tranfusi lebih dari 6 unit, darah segar di lambung dan perdarahan berulang dari lesi yang sama. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, harus diperiksa terhadap kemungkinan infeksi helicobacter pylori.

Pada pasien dengan infeksi helicobacter pylori dan riwayat perdarahan gastrointestinal akibat pemakaian aspirin dosis rendah, eradikasi terhadap helicobacter pylori sama pentingnya dengan pencegahan terjadinya perdarahan berulang. Omeprazol lebih unggul dalam mengeradikasi H. pylori dalam mencegah perdarahan berulang, pada pasien yang mendapat OAINS yang lain

Pendekatan terapi

Tindakan endoskopi dilakukan dalam 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit, adalah dasar pengobatan untuk pasien dengan perdarahan gastrointestinal atas akut. Hal ini dapat memperbaiki outcome tertentu (jumlah unit darah yang ditransfusikan dan lama rawat di rumah sakit) untuk pasien tertentu, yang diklasifikasikan berisiko tinggi.

Endoskopi juga bisa menjadi parameter, untuk secara aman memulangkan pasien, yang diklasifikasikan berisiko rendah dan menghindari pengobatan yang tidak perlu. Tujuan endoskopi untuk menentukan penyebab perdarahan, memastikan prognosis, dan memberikan terapi.

Beberapa uji klinis acak dan meta-analisis menunjukkan dan mendukung gagasan bahwa terapi hemostatik awal endoskopik, secara signifikan mengurangi perdarahan berulang, kebutuhan untuk operasi muncul, dan mortalitas pada pasien dengan perdarahan akut saluran cerna non varises akut.

Pasien berisiko tinggi

Pasien berisiko tinggi harus menjalani perawatan di rumah sakit, dan harus mendapat terapi endoskopi. Mereka harus ditempatkan di tempat yang dapat diawasi atau Intesive care unit selama 24 jam pertama, dari setidaknya 3 hari perawatan di RS.

Pasien yang memiliki ulkus berdarah dengan stigmata berisiko tinggi, sebagaimana terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus menjalani hemostasis endoskopik; suatu prosedur yang terbukti menurunkan tingkat perdarahan ulang, kebutuhan untuk operasi, dan mortalitas. Terapi endoskopi kontemporer termasuk terapi injeksi (misalnya, garam, vasokonstriktor, agen sclerosing, tissue adhesives atau  kombinasi), terapi termal (menggunakan metode kontak, seperti elektrokoagulasi multipolar dan probe pemanas atau metode nonkontak, seperti argon plasma koagulasi), dan terapi mekanik (pemasangan klip melalui tindakan endoskopi).

Semua metode hemostasis endoskopik terbukti lebih unggul, dibanding
intervensi non endoskopi. Meski demikian, pendekatan hemostasis sekunder (suntik, terapi termal kontak) untuk injeksi epinefrin (rasio 1 : 10.000 antara epinefrin dengan larutan garam normal) lebih lanjut dapat mengurangi angka perdarahan ulang, kebutuhan untuk operasi, dan kematian, dibanding injeksi epinefrin saja.

Konsensus merekomendasikan terapi kombinasi (injeksi epinefrin untuk memberikan vasokonstriksi lokal, tamponade volum dan untuk mendapatkan penglihatan yang jelas terhadap pembuluh darah yang berdarah, diikuti terapi kontak termal yang tertarget). Meski demikian, kelebihan terapi kombinasi terhadap terapi termal kontak masih menjadi pertanyaan.

Penggunaan terapi mekanik, pemasangan klip melalui tindakan endoskopi, merupakan tindakan menjanjikan. Peran klip endoskopik tetap belum sepenuhnya diketahui. Tapi, data-data memperlihatkan bahwa pemasangan klip melalui endoskopi, mirip dengan terapi termal, kombinasi injeksi dan terapi kontak thermal, dan klip diikuti penyuntikan. Namun, pembandingan ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Di masa depan, mungkin, lokasi dan tampilan lesi yang mengalami perdarahan akan menentukan metode terapi endoskopi yang optimal. Saat ini, yang terbaik baik operator endoskopi adalah melakukan teknik hemostasis yang paling nyaman, karena semua metode telah terbukti berkhasiat. Namun, injeksi epinefrin saja tidak boleh dilakukan.

Berbagai faktor klinis dan endoskopi telah diusulkan sebagai prediktor kegagalan pengobatan endoskopik, pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum. Faktor-faktor tersebut termasuk riwayat penyakit ulkus peptikum, perdarahan ulkus sebelumnya, adanya syok saat masuk RS, perdarahan aktif selama endoskopi, ulkus berukuran besar (> 2 cm), perdarahan pada pembuluh darah berukuran besar ( ≥2 mm), dan ulkus yang terletak di kurva yang lebih rendah dari lambung, atau pada superior duodenal bulb.

Pasien berisiko rendah

Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit dengan perdarahan saluran cerna bagian atas non varises akut, berisiko rendah mengalami perdarahan ulang dan kematian. Hasil penelitian acak retrospektif menunjukkan bahwa setelah endoskopi, pasien berisiko rendah dapat dipulangkan, tergantung kapan endoskopi awal dilakukan.

Terapi Penekan Asam Selamatkan Pasien Perdarahan Saluran Cerna Atas