Ethicaldigest

Tatalaksana Obesitas pada Kasus Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Pada kasus-kasus Obstructive Sleep Apnea (OSA) ringan, pengobatan bisa
dimulai dengan menurunkan berat badan. Selain itu, terapi juga bisa dengan menghindari kebiasaan mengonsumsi alkohol atau minum obat tidur dan tidur dalam posisi miring. Terapi menggunakan alat bantu oral yang dipakai di mulut dan pembedahan, dapat dilakukan untuk penanganan OSA sedang hingga berat.

Diperkirakan, 70% pasien OSA memiliki berat badan berlebih bahkan
obesitas. Sehingga, dokter yang merawat umumnya akan menganjurkan pasien menurunkan berat badan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan berat badan pada penderita OSA dengan obesitas dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran nafas atas. Selain itu, juga terjadi penurunan mendengkur, apnea dan hipopnea saat tidur. Dalam kondisi tertentu, dimungkinkan dokter memberikan obat untuk menurunkan berat badan pada pasien OSA.

Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari, bertujuan untuk memperbaiki tonus otot saluran nafas atas serta mekanisme pernafasan sentral. Preparat efedrin walau pun tidak memberi efek jangka panjang, dilaporkan mampu membantu memperbaiki aliran udara pada saluran nafas atas.

Secara global, ada banyak pengobatan bisa digunakan pada kasus obesitas,
antaranya adalah Diethylpropion, Orlistat, Phentermine, Sibutramin, dan
Rimonabran. Meski demikian, hanya ada 2 jenis obat di Indonesia, yaitu
Diethylpropion dan Orlistat. “Sebelumnya ada Sibutramine, tapi karena efek samping yang dapat meningkatkan kejadian risiko penyakit kardiovaskuler, obat ini di tarik dari peredaran,” ujar dr. Johanes Chandrawinata, MND, SpGK.

Dalam sebuah studi yang dimuat disebuah jurnal obesitas di Amerika Serikat tahun 2009, menyebutkan bahwa dari sekian banyak anti obesitas yang digunakan oleh para ahli obesitas dunia, diethylpropion menempati urutan ke dua, setelah phentermine. Dengan penggunaan mencapai 65%. “Ini bisa dikatakan merupakan obat anti obesitas yang banyak direkomendasikan para ahli, dan sudah ada di Indonesia” ujar dr. Johanes.

Dokter Samuel Oetoro MS, SpGK, mengatakan bahwa diethylpropion merupakan golongan obat simpatomimetik amine, satu kelompok dengan phentermine. Oleh FDA obat ini digolongkan sebagai short-term drugs pada obesitas, sehingga pemberiannya hanya diijinkan dalam 12 minggu. “Penggunaan dalam jangka panjang datanya masih sedikit, meski FDA mengatakan obat ini memungkinkan digunakan dalam jangka panjang,” imbuh dr. Johanes.

Diethylpropion memiliki nama lain yaitu “Amfepramone”, sebagai prodrugs dari ethylpropiuon. Diethylpropion bekerja dengan melepaskan nonadrenaline, sehingga memiliki sifat simpatomimetik, yang mirip dengan amphetamine, sehingga dimasukkan dalam kelas obat keras terbatas. Diethylpropion merupakan modifikasi rantai samping amphetamine, sehingga efek stimulat yang ditimbulkan dari
penggunaan obat ini menjadi terbatas. Dengan dosis pemberian immediate release 25 mg 3×1 hari, sementara yang sustain release 75 mg/hari.

Di Amerika Serikat, diethylpropion masuk kategori schedule IV control
substance. Obat ini digolongkan sebagai oabat yang memungkinkan efek timbulnya dependency (ketergantungan). Tetapi schedule IV ini paling rendah menimbulkan ketergantungan.

Ada studi randomized double blind, untuk mengetahui bagaimana
penggunaan diethylpropion jangka panjang (12 bulan) pada pasien obesitas. C.Certaco dan kawan-kawan melakukan penelitian yang mengikut sertakan 101 pasien, yang selanjutnya dievaluasi dengan beberapa kriteria eksklusi.

Dari 101 pasien didapatkan 69 pasien, kemudian dirandom, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat placebo (32 subject) dan kelompok sebanyak 37 pasien mendapat diethylpropion. Keduanya diterapi selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, pada kedua kelompok diberi terapi menggunakan diethylpropion, selama 6 bulan lagi (total 12 bulan). Hasilnya, penurunan berat badan pada enam pertama pada kelompok yang di berikan diethylpropion sangat baik. Rata-rata pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 9,2 kg. Sementara pada kelompok placebo
pada 6 bulan pertama, hanya terjadi penurunan berat badan sekitar 3,2 kg. “Ini jelas berbeda bermakna” jelas dr. Samuel.

Pada 6 bulan kedua, semua kelompok diberi diethylpropion. Hasilnya, trend pada kelompok yang sebelumnya telah mendapatkan placebo, terjadi penurunan berat badan sangat signifikan, hampir 7 kg. Sementara pada kelompok yang sebelumnya pernah mendapat diethylpropion, penuruna berat badan tidak begitu tajam. “Bahkan terjadi re-gain,” tambah dr. Samuel.

Lingkar pinggang pasien yang mendapatkan placebo hanya turun 2,3 cm,
sementara pada kelompok yang mendapat diethylpropion sejak awal, mencapai 8,8 cm. “Ini jelas berbeda bermakna” kata dr. Samuel. Sementara pada 6 bulan kedua, kelompok yang sebelumnya mendapat placebo turun 4,6 cm dan pada kelompok  diethylpropion turun 9,2 cm.

Menurut dr. Samuel, efek samping penggunaan diethylpropion dalam 3 bulan pertama berupa mulut kering dan insomnia. Efek samping lain seperti konstipasi, sakit kepala, tremor, dizziness dan iritabilitas tidak berbeda bermakna, dibandingkan dengan kelompok yang hanya menggunakan placebo. Bisa disimpulkan, pemberian diethylpropion selama 6 bulan sangat efektif menurunkan berat badan, bahkan sampai dengan 6 bulan kedua (12 bulan) terbukti masih efektif, meski sudah berkurang. “Karena ada kecendurngan plateu” kata dr. Samuel.

ANVISA (National Health Survillence Agency Brasil) tahun 2000 menyatakan bahwa penggunaan diethylpropion pada pasien obesitas sangat efektif, murah, dengan efek samping minimal.

 

Diagnosa Obstructive Sleep Apnea: dari Anamnes hingga Polisomnografi