Ethicaldigest

TSH pada Hipogonadisme 3

Memonitor pengobatan

Setelah terapi penggantian testosteron dimulai, pasien harus dimonitor dengan baik. Karena ada kekhawatiran munculnya kanker prostat, penting untuk memonitor kadar PSA dan melakukan DRE secara regular, selama terapi. Di bulan ketiga dan 1 tahun setelah terapi, respon klinis testosteron harus dievaluasi dengan melakukan pemeriksaan kadar testosteron serum, memantau kadar PSA dan melakukan uji colok dubur.

 Guideline American Cancer Society menyarankan skrining kanker prostat setiap tahun, bagi pria berusia >50 tahun, pria Afrika-Amerika berusia >45 tahun, dan pria berusia > 40 tahun yang berisiko tinggi. Setiap peningkatan yang signifikan kadar  PSA, pasien  layak dirujuk ke urolog. Pengobatan harus dihentikan sampai dievaluasi.

Testosteron merupakan stimulan eritropoiesis, sehingga jika ada kenaikan hematokrit perlu dilakukan pemeriksaan. Insiden eritrositosis adalah antara 3% dan 18%, dengan formulasi transdermal dan sampai 44% dengan suntikan intramuskular. Peningkatan nilai hematokrit di atas 54%, memerlukan tindakan. Biasanya terapi dihentikan sampai nilainya turun ke kadar yang aman.

Pengukuran kepadatan mineral tulang, juga harus dilakukan di awal karena hipogonadisme adalah penyebab penting dari osteoporosis pria. Pengukuran BMD pria dengan osteopenia / osteoporosis atau patah tulang trauma rendah, dapat diulang dalam 1-2 tahun setelah terapi penggantian testosteron dimulai.

Pengukuran kepadatan tulang harus dilakukan pada baseline, karena hipogonadisme adalah penyebab penting osteoporosis pada pria. Pengukuran IMT pada pria dengan osteopenia/osteoporosis atau fraktur trauma ringan, bisa diulang dalm 1-2 tahun setelah terapi sulih testosteron diberikan.

Benign Prostate Hyperplasia

Pasien dengan benign prostatic hyperplasia (BPH) yang diobati dengan androgen, berisiko tinggi mengalami pemburukan tanda dan gejala BPH. Berkembangnya BPH memerlukan androgen. Tetapi, banyak penelitian gagal menunjukkan asosiasi dengan pengobatan testosteron. Meski begitu, volume prostat mengalami pembesaran selama terapi testosteron. Biasanya, dalam 6 bulan pertama. Tetapi, biasanya hanya membesar sampai volume normal, yang ditemukan pada pria eugonadal.

Kanker Prostat

Salah satu yang menarik dari penelitian yang dipublikasikan tahun 2007, bahwa salah satu ketakutan dokter memberikan terapi testosteron adalah persepsi bahwa terapi ini dapat meningkatkan risiko kanker prostat. Lebih dari 68% dari sampel dokter di seluruh dunia, menganggap terapi ini lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Peneliti menunjukkan, akibatnya sekitar 35% pasien yang mengalami hipogonadisme tidak mendapat pengobatan.

Munculnya kekhawatiran, berasal dari sebuah tulisan yang diterbitkan tahun 1941 yang melaporkan bahwa androgen menstimulasi kanker prostat. Sedangkan pemberian estrogen atau operasi pengangkatan buah zakar, dapat menguranginya. Sementara laporan-laporan kasus kanker menunjukkan adanya efek stimulasi kanker, dari pemberian testosteron. Selain itu, 5 alpha-reductase inhibitor, seperti finasteride dan dutasteride, dapat mengurangi volume prostat dan kadar PSA. Hal ini konsisten dengan peran testosteron, dalam pertumbuhan kanker prostat.

Analisis terbaru menunjukkan, walau ada studi kasus mengenai berkembangnya kanker, data itu hanya menyertakan pasien dalam jumlah yang sangat kecil dari 200.000 kasus kanker prostat yang terdiagnosa di Amerika Serikat. Dan, tidak ada bukti kausalitas. Bahkan, kanker prostat berkorelasi dengan usia pria, dan usia yang lebih tua, cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih sedikit.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, tidak ada perbedaan signifikan kadar testosteron pada pria dengan atau tanpa kanker prostat. Jadi, bukti yang meyakinkan bahwa terapi testosteron pada pria meningkatkan risiko kanker prostat masih sangat kurang. Tidak ada bukti bahwa hal itu akan mempromosikan kanker subklinis menjadi kanker metastatik.

Bukti yang ada adalah bahwa testosteron akan merangsang pertumbuhan kanker prostat, yang sudah ada sebelumnya. Dan, tentu saja, kanker prostat berkontraindikasi terhadap terapi testosteron. Penjelasannya, kanker prostat sangat sensitif terhadap perubahan testosteron serum, ketika konsentrasinya rendah. Tetapi, menjadi tidak sensitif dalam konsentrasi yang lebih tinggi, karena saturasi reseptor androgen.

Perlu diingat, terjadinya kanker prostat pada pasien dengan diabetes tipe 2, lebih rendah daripada yang terlihat pada populasi umumnya. Ada bukti bahwa konsentrasi PSA lebih rendah pada pasien tipe 2 diabetes, begitu juga kadar testosteronnya. Masih belum diketahui, apakah referensi kisaran nilai PSA normal harus diturunkan untuk pria dengan diabetes tipe 2.

“Sudah dibuktikan lewat berbagai penelitian, kalau orang yang tidak mempunyai kanker prostat, baik dengan perabaan colok dubur atau pemeriksaan PSA, pemberian testosteron tidak meningkatkan risiko kanker prostat,” ujar Dr. dr. Nur Rasyid, SpU. Untuk menegakkan diagnosa, biasanya, jika ditemukan kadar PSA yang tinggi pasien akan dibiopsi. “Jika bukan kanker, baru boleh diberikan,” ujarnya.

Institute of Medicine menyatakan, untuk menilai peningkatan moderat resiko kanker prostat akibat pengobatan dengan testosteron, dibutuhkan penilitian berskala besar melibatkan 5.000 orang yang diikuti selama 3-5 tahun. Sampai saat ini, penelitian seperi ini belum pernah dilakukan.