Ethicaldigest

Tatalaksana Gagal Jantung Kongestif 2

Pasien dengan gagal jantung dan penurunan LVEF, diduga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami pembentukan trombus akibat rendahnya cardiac output. Untuk itu diperlukan pemberian antikoagulan, jika ada trombus pada ventrikel kiri, tromboemboli dengan atau tanpa trombus ventrikel kiri, dan aritmia paroksismal atau atrial kronis. Di sini, antikoagulan yang sering digunakan adalah aspirin.

Guidelines dari ACC/AHA menyatakan bahwa OAINS, calcium channel blocker, dan kebanyakan agen antiaritmia dapat menyebabkan eksaserbasi gagal jantung dan harus dihindari. OAINS dapat menyebabkan retensi natrium dan vasokonstriksi perifer, juga memperkuat efikasi serta toksisitas diuretik dan ACEI. Agen antiaritmia memiliki efek kardiodepresan dan dapat menyebabkan aritmia; hanya amiodarone dan dofetilide yang tidak mempengaruhi angka survival. Calcium channel blocker dapat memperburuk gagal jantung dan meningkatkan risiko renjatan kardiovaskuler. Hanya calcium channel blocker yang vasoselektif, yang tidak menunjukkan efek negatif terhadap survival.

Intervensi dan prosedur pembedahan

Selain dengan obat-obatan, gagal jantung dapat diatasi dengan intervensi pembedahan, bergantung pada penyebab dari gagal jantung itu sendiri.

  • Angioplasti

Alternatif dari CABG untuk pasien gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan arteri koroner, atau diduga akibat serangan jantung sebelumnya.

  • Pacemaker

Menjaga agar detak jantung tidak terlalu cepat atau tidak terlalu lambat.

  • Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)

Mengembalikan ritme jantung yang normal pada aritmia ventrikel, yang biasanya ditanam bersama pacemaker. ICD diindikasikan untuk pasien kardiomiopati iskemik maupun noniskemik, yang mengalami keterbatasan fisik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah, sehingga berisiko tinggi mengalami aritmia ventrikel.

  • Cardiac Resynchronization Therapy

Mensinkronisasikan kerja ventrikel kiri dan ventrikel kanan.

  • Temporary Cardiac Support

Merupakan balon intraaorta yang menjaga fungsi ventrikel kiri sementara waktu, misalnya pada serangan jantung.

Selain dengan intervensi di atas, pembedahan dapat memperbaiki penyebab terjadinya gagal jantung, seperti sumbatan pada arteri koroner, gangguan katup, penyakit jantung bawaan, dan penebalan perikardium. Untuk mengatasi sumbatan, dapat dilakukan prosedur CABG (coronary artery bypass graft). Gangguan katup diatasi dengan operasi penggantian katup. Jika gagal jantung sudah sangat berat, satu-satunya jalan adalah dengan transplantasi jantung. Jika donor tidak tersedia, dapat dilakukan pemasangan LVAD (left ventricular assit device) atau TAH (total artficial heart).

Transplantasi jantung

Menurut Prof. Reggy, beberapa pasien dengan gagal jantung berat, angina refrakter yang mengganggu aktivitas, aritmia ventrikel, atau penyakit jantung bawaan yang tidak dapat dikontrol menggunakan terapi farmakologis, device, atau terapi bedah alternatif harus dipertimbangkan kemungkinan perlunya transplantasi jantung. Berikan informasi dan motivasi yang baik kepada pasien. Pasien harus stabil secara emosional, mendapat dukungan sosial yang baik dari keluarga, dan mampu menjalani perawatan intensif.

Dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapat terapi obat, pasien yang menjalani transplantasi memiliki angka perawatan yang lebih kecil, perbaikan fungsi secara nyata, perbaikan kualitas hidup, dan masa survival yang lebih panjang. Yaitu 50% survival dalam 10 tahun setelah operasi. Transplantasi jantung memiliki angka survival 1 tahun sebesar 83%. Selanjutnya angka survival menurun secara linear sekitar 3,4% per tahun.

Hasil yang baik ditentukan oleh pemilihan donor dan resipien. Selain itu, tim pelaksana transplantasi harus menekan bahaya perioperatif sesedikit mungkin, termasuk masa iskemik, hipertensi pulmoner, support mekanik, dan stok kardiogenik.

Berdasarkan ACC/AHA, indikasi absolut dilakukannya transplantasi jantung meliputi gangguan hemodinamik akibat gagal jantung,  antara lain sebagai berikut:

  • Syok kardiogenik refrakter.
  • Ketergantungan terhadap inotropik IV agar mendapat perfusi organ yang adekuat.
  • Konsumsi oksigen puncak per unit waktu (VO2) kurang dari 10 mL/kg/menit.
  • Gejala iskemik berat dengan keterbatasan aktivitas sehari-hari yang tidak memungkinkan dilakukannya prosedur revaskularisasi (CABG, PCI).
  • Aritmia ventrikel simtomatik rekuren meski telah mendapat semua intervensi terapi.

Indikasi relatif untuk transplantasi jantung meliputi:

  • VO2 puncak antara 11 dan 14 mL/kg/menit (atau 55% dari prediksi), dengan limitasi berat aktivitas sehari-hari.
  • Iskemi tidak stabil yang rekuren, yang tidak memberikan respon terhadap terapi lain.
  • Ketidakstabilan balans cairan/fungsi ginjal yang rekuren, meski pasien dapat menerima terapi.

Transplantasi jantung dikontraindikasikan pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, kurangnya compliance, gangguan mental tidak terkontrol, keganasan aktif, juga penyakit multiorgan sistemik. Kemudian, infeksi aktif, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, atau penyakit paru, serta komplikasi tromboemboli baru, ulkus peptikum yang belum sembuh, atau penyakit komorbid lain dengan prognosis buruk.