Ethicaldigest

Tatalaksana Disfungsi Ereksi

Modifikasi gaya hidup yang lebih baik, umumnya direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, meningkatkan fungsi seksual pada laki-laki, termasuk latihan fisik, perbaikan gizi, mengontrol berat badan dan berhenti merokok.

Pengobatan disfungsi ereksi (DE) sebelumnya terbatas pada prosedur invasif, yaitu suntikan pada korpora kavernosus. Sekitar tahun 1999, diperkenalkan obat inhibitor PDE5. Beberapa obat lain  saat ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut. PDE5 inhibitors merupakan terapi lini pertama, untuk DE dengan penyebab organik kecuali ada kontraindikasi. Banyak digunakan karena efektivitas dan keamanannya yang baik. Interaksinya dengan obat kardiovaskular minimal, dengan pengecualian nitrat dan NO lainnya seperti nicorandil, yang dapat mengakibatkan vasodilatasi berat dan hipotensi. Gupta dan kawan-kawan dalam sebuah penelitian menyimpulkan, pada pasien DE dengan penyakit kardiovakular, modifikasi gaya hidup dan pemberian obat-obatan, mampu meningkatkan fungsi seksual secara lebih baik.

Data menunjukkan bahwa obat-obat PDE5 inhibitor (sildenafil dan tadalafil) tidak meningkatkan risiko infark miokard, stroke, hipotensi posturnal atau kematian akibat kardiovaskular setara dengan plasebo. Obat ini tidak memperburuk iskemia atau aktivitas seksual pada pasien dengan gangguan arteri koroner. Meski demikian pasien dengan riwayat penyakit jantung, angina excertional atau yang sedang mengkonsumsi obat anti hipertensi, perlu melakukan konsultasi dengan dokter ahli jantungnya, sebelum memulai terapi PDE5 inhibitor.

Lebih lanjut, mekanisme inhibitor PDE5 yaitu terjadinya vasodilatasi paru dan sistemik, mening-katkan kontraktilitas miokard, mengurangi kekakuan arteri besar, meningkatkan fungsi endotel, dan mengurangi apoptosis, fibrosis, dan hipertrofi melalui mekanisme yang melibatkan NO, siklik guanosin monofosfat, protein kinase G dan Rhokinase.

Sementara itu, atas balloon angioplasty telah dilakukan penelitian untuk terapi disfungsi ereksi pada pria dengan penyempitan pembuluh darah arteri penis. Wang dan kawan-kawan dalam penelitiannya melaporkan keberhasilan prosedur angioplasty balloon pada 22 pasien. Sayangnya, pada bulan ke-8 setelah prosedur dilakukan, terjadi restenosis biner pada 13 pasien.

Terapi DE menggunakan gelombang kejut, yang dikenal dengan istilah low-intensity shock-wave therapy, sudah mendapat persetujuan di Eropa untuk pasien-pasien DE derajat berat, yang tidak memberi hasil dengan terapi PDE5 inhibitor. Saat ini banyak digunakan di Indonesia. Mekanisme kerja alat ini adalah dengan revaskularisasi pembuluh darah di bagian penis.

Testosteron Terapi

Terapi testosteron pada pasien DE, diberikan jika terdapat indikasi ini: 1) Gejala DE atau penurunan libido akibat defisiensi testosterone; 2) Memiliki kadar testosteron rendah (<2,3 ng/mL). Pada pria batas tesosteron ialah 2,3-3,5 ng/mL.

Pengobatan testosteron dilakukan selama 3-6 bulan dan berkelanjutan. Dapat dipertimbangkan pemberian inhibitor PDE5 pada pasien yang belum respon dengan terapi testosteron. Terapi testosteron pada hipogonadisme terkait dengan risiko kardiovaskular. Terapi testosteron memiliki efek menguntungkan pada profil lipid selain HDL-C, mediator inflamasi dan pada keadaan glikemik. Beberapa penelitian menyebutkan, penggunaan testosteron pada usia lanjut tidak meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. “Terapi sulih hormon testosteron dapat diberikan peroral, suntikan, gel atau trasdermal,” ujar dr. Nugroho Setiawan, SpAnd.

Setelah penggunaan testosteron, pasien harus dievaluasi setiap 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun, untuk menilai respon terhadap pengobatan dan memantau efek samping. “Penilaian mencakup pemeriksaan fisik dan perhatian khusus pada prostat,” jelas dr. Nugroho Setiawan. Pemeriksaan kadar testosteron, hematokrit dan HDL harus dipantau. Kontraindikasi penggunaan testosteron yaitu pada kanker payudara dan prostat, atau teraba nodul pada prostat, atau pada pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) >4 ng/mL (atau >3 ng/mL pada laki-laki dengan risiko kanker prostat, seperti ras Afrika-Amerika. Atau laki-laki dengan riwayat keluarga yang menderita kanker prostat).

Pemeriksaan urologi harus dilakukan sebelum penggunaan testosteron. Kontraindikasi penggunaan testosterone, juga pada pasien dengan hematokrit >50% dan penyakit jantung kongestif yang tidak terkontrol (berisiko retensi cairan).

Pada kondisi tertentu, misalnya pasien dengan hipertensi, insiden DE dapat meningkat hingga 2 kali lipat. Patofisiologi hipertensi dapat menyebabkan DE, melalui beberapa mekanisme meliputi paparan tekanan darah yang meningkat berkepanjangan, sehingga meningkatkan kadar tekanan darah sistemik, disfungsi endotel dan sirkulasi vasoaktif (dengan peran penting dari angiotensin II), menyebabkan perubahan struktur dan fungsi pada arteri penis. Inhibitor PDE5 efektif aman digunakan pada pasien hipertensi dengan DE. Obat antihipertensi khususnya alpha blocker, dapat digunakan bersama-sama dengan inhibitor PDE5, dengan dosis yang rendah.

Sementara pada pasien gagal jantung yang mengalami DE, angkanya mencapai 60-90%, ditandai dengan penurunan hasrat seksual, dan seperempat kasus dilaporkan menghentikan aktivitas seksual. DE berkonstribusi terhadap penurunan kualitas hidup dan memperburuk depresi. Yang menjadi perhatian, banyak pasien gagal jantung lebih mementingkan peningkatan kualitas hidup (termasuk aktivitas seksual), dibanding mengobati penyakit kardiovaskularnya. Fungsi seksual berkorelasi dengan gejala (misalnya kelas fungsional NYHA dan tes berjalan selama 6 menit). Evaluasi peran DE pada program Saarland (EROSS), disfungsi ventrikel kiri merupakan faktor risiko tunggal terjadinya DE pada gagal jantung. Gagal jantung dapat menyebabkan DE atau memengaruhi aktivitas seksual. Aktivitas neurohormonal, kapasitas aktivitas seksual yang terbatas, dan depresi merupakan salah faktor risiko dari pasien gagal jantung.

Evaluasi kapasitas fungsional merupakan penanganan utama pada pasien dengan DE. Namun, harus diingat pada pria dengan gagal jantung aktivitas seksual dapat memengaruhi jantung, berbeda dari aktivitas fisik berdasarkan METS karena perbedaan pada dampak psikologik dan aktivitas simpatis. Pemeriksaan EKG dapat memberi informasi penting pada fungsi ventrikel kiri dan fungsi katup.

Diagnosis DE dapat memengaruhi penanganaan. Pertama, pasien DE yang sudah atau belum terdiagnosis mengalami penyakit kardiovaskular masuk dalam kelompok risiko tinggi, untuk masa yang akan datang. Pengobatan lebih agresif pada faktor risiko. Kedua, risiko yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Diagnosis DE harus ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk dapat menentukan penyebab DE yang disebabkan penyakit kardiovaskular, atau penyakit lain yang berkaitan maupun yang tidak menyebabkan DE (misalnya gagal jantung ringan, penyakit arteri perifer).

Masalah kesehatan seksual menyangkut hal yang rahasia, maka diskusi mengenai kesehatan seksual dapat dilakukan tidak pada saat kunjungan ke dokter. Konseling seksual dilakukan berdasar kepercayaan antara pasien dengan dokter, karena aktivitas seksual yang normal penting pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Dokter berperan untuk mendiagnosis DE dan mencari tahu risiko terjadinya DE, pada pasien penyakit kardiovaskular.

Seringkali konseling terkendala, karena persepsi yang salah dari pasien karena kurangnya informasi tentang kesehatan seksual. Konseling yang tepat dapat meningkatkan aktivitas seksual sebesar 50%, dan kepatuhan terhadap pengobatan penyakit kardiovaskular, terutama obat-obat hipertensi dan penggunan obat inhibitor PDE5. Seringk pasien tidak terbuka dengan masalah kesehatan seksual mereka, sehingga konseling seksual lebih efektif bila dilakukan bersama dengan pasangan.