Ethicaldigest

Staphylococcus aureus 1

Staphylococcus aureus merupakan anggota dari family staphylococcaceae. Pada pemeriksaan mikroskopis, organisme ini tampak sebagai kelompok kokus gram positif. Bentuk sel-nya bulat dengan diameter sekitar 0,8-1 µm, dan berkelompok seperti anggur (staphyle) yang memungkinkan dirinya dapat berbagi dalam beberapa bentuk. S. aureus dapat tumbuh dengan optimum pada suhu 37 derajat celsius, dengan waktu pembelahan berkisar antara 0,47 jam. S. aureus merupakan mikro flora normal pada manusia.

Bakteri ini biasanya terdapat di saluran pernafasaan atas dan juga kulit. Keberadaan S. aureus pada saluran pernafasaan atas dan kulit pada individu umumnya jarang sekali menyebabkan suatu penyakit, sementara individu yang sehat disini hanya berperan sebagai carrier. Infeksi serius baru akan terjadi jika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormone, adanya penyakit, luka, atau perlakukan dari penggunaan steroid atau obat-obatan lain yang mempengaruhi imunitas individu sehingga terjadi pelemahan inang.

Menurut Prof. Dr. dr. Amin Soebandrio SpMK (K), dari departemen Mikrobiologi Klinik FKUI/RSCM, Infeksi dari S. aureus dikaitkan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya; bisul, jerawat, pneumonia, meningitis dan penyakit arthritis. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini akan memproduksi nanah. Karenanya bakteri ini juga disebut sebagai piogenik.

S. aureus dikatakan mampu menghasilkan katalase yaitu sebuah enzim yang mampu mengkonversi H­2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase yakni sebuah enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal. Koagulase dikaitkan dengan pathogenesis infeksi S. aureus, karena pengumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini akan terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang kesulitan untuk mencapai bakteri sehingga fagositosis menjadi terhambat.

Disisi lain S. aureus juga termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut yang luas (contohnya adalah garam), serta ia dapat hidup dalam konsentrasi NaCl sekitar 3 molar. Habitat alami dari S. aureus pada manusia adalah didaerah kulit, hidung, mulut dan usus besar. Pada keadaan sistim imun yang normal, S. aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia). Dikatakan bahwa S. aureus juga memiliki kemampuan Quorum sensing menggunakan sinyal oligopeptida untuk memproduksi toksin dan juga faktor virulensi.

Beberapa faktor virulensi yang diproduksi oleh S. aureus seperti telah disebutkan diatas adalah koagulase. Namun terdapat pula faktor virulensi dari S. aureus lainnya, diantaranya; Protein A, Eksotoksin sitolitik, Enterotoksin, Leukocidin, dan Exfoliatin. Protein A terletak di dinding sel S. aureus yang kemudian dapat menggangu sistim imun inang, dengan mengikat antibody immunoglobin G (IgG). Pada eksotoksin sitolitik, terdapat beberapa bagian diantaranya α-toksin, β-toksin, g-toksin dan δ-toksin yang dapat menyerang membrane sel pada mamalia.  α-toksin, β-toksin dan δ-toksin dikatakan dapat menyebabkan hemolisis. Sementara δ-toksin juga dikatakan dapat menyebabkan leukolisis sel inang. Semantara itu g-toksin akan menyebabkan terbunuhnya sel inang. 

Enterotoksin akan menyebabkan keracunan makanan. Enterotoksin disini merupakan superantigen yang akan lebih stabil pada suhu panas jika di bandingkan dengan S. aureus. Enterotoksin A,B,C,D dan E akan menginduksi dan menyebabkan diare, muntah dan juga shock. Leukocidin, menurut para ahli, mampu memusnahkan leukosit sel inang. Exfoliatin, termasuk dalam golongan superantigen juga, yang diketahui dapat menyebabkan sidroma kulit melepuh pada anak.

Staphylococcus aureus dapat dibedakan dengan spesies staphylococcus lain dari pigmentasi keemasan koloninya (aureum), dan hasil positif tes koagulase, fermentasi manitol, dan deoksiribonuklease. Mereka juga dapat hidup dalam lingkungan aerob dan anaerob, dan sebagian besar strain fermentasi manitol merupakan anaerobik. Genom staphylococcus terdiri dari kromosom melingkar (+2800 bp), dengan prophages, plasmid, dan transposons. Gen-gen yang akan menetukan virulensi dan resistensi terhadap antibiotik ditemukan dalam kromosom ini. 50% berat dinding sel Staphylococcus terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan ini berisi subunit polisakarida dari N-acetylglucosamine dan N-acetylmuramic acid. Rantai peptidoglikan ini nantinya akan terikat pada N-acetylmuramic acid melalui jembatan pentaglisin spesifik untuk S. aureus. Peptidoglikan bekerja layaknya endotoksin, yakni dengan merangsang pelepasan sitokin oleh makrofag, aktifasi komplemen dan melakukan agregasi platelet. Perbedaan struktur peptidoglikan dari strain staphylococcus akan memberikan kontribusi pada variasi kemampuan untuk menimbulkan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) (Lowy, 1998).