Ethicaldigest

Rejimen Terapi Dermatitis 1

Terapi dermatitis perlu pendekatan sistematis dan multifaktorial yang merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres emosional.

Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka lama (long term control), bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan. Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Agen topikal digunakan untuk terapi penyakit yang terlokalisasi dan ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan untuk yang lebih luas dan berat.

Menurut dr. Rachel Djuanda, SpKK, berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang-  kacangan yang dapat mencetuskan DA harus diidentifikasi secara teliti, melalui anamnesis dan beberapa pemeriksaan khusus. Eliminasi makanan esensial pada bayi/anak harus hati-hati, karena dapat menyebabkan malnutrisi sehingga sebaiknya diberikan makanan pengganti. Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari, lalu bilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan pewangi, akan membersihkan kotoran dan keringat, juga skuama yang merupakan medium baik untuk bakteri. Keadaan itu akan meningkatkan penetrasi terapi topikal. Hindari sabun atau pembersih kulit yang mengandung antiseptik /antibakteri secara rutin, karena mempermudah resistensi; kecuali bila ada infeksi sekunder.

Tiga menit setelah mandi, pasien seharusnya mengaplikasikan pelembab untuk memaksimalkan penetrasinya. Salap hidrofilik dengan ceramide rich barrier repair mixtures, akan memelihara kelembaban dan berfungsi sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan, patogen dan mikroba. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pelembab, mengurangi penggunaan kortikosteroid hingga 50%. Sebuah penelitian pada 100 pasien Dermatitis Atopik (DA) dengan pelembab urea 5% atau losion urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari, efektif dan aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan sedang.

“Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau kain kasar karena dapat mengiritasi kulit,” jelasnya. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit (erosi, eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien atau kompres basah. Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi, kemudian dibalut basah dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya.

Cara ini sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan dengan mengoleskan emolien di bawahnya, sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan, sehingga mempercepat penyembuhan. Bila tidak disertai pelembab, balut basah dapat menambah kekeringan kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi, sehingga memudahkan infeksi sekunder.

Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling sering digunakan pada DA di Amerika Serikat, khususnya untuk DA fase akut. Terapi kortikosteroid untuk DA bersifat efektif, relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan dan harganya tidak semahal terapi alternatif lain. Pada sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada 83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total. Penelitian pada 231 anak dengan DA menerima terapi 0,05% fluticasone propionate dengan pelembab dua kali perminggu, menunjukkan pada pasien kontrol lebih cenderung mengalami relaps.

Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak pada semua lokasi tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil terapi pada penggunaan preparat potensi lemah jangka pendek dan panjang, pada anak dengan derajat penyakit ringan sedang. Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah terhambatnya pertumbuhan oleh supresi adrenal, karena absorbsi sistemik. Namun belum ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan kortikosteroid pada anak mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan. Perlu penelitian lebih lanjut, apakah penggunaan steroid dua kali sehari lebih efektif dibanding sekali sehari.

Inhibitor Kalsineurin Topikal

Takrolimus dan pimekrolimus topikal terbukti efektif. Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1% terbukti mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal. Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibanding kortikosteroid, adalah tidak menyebabkan penipisan kulit. Namun pada penggunaan awal akan menimbulkan sensasi terbakar di kulit.

Takrolimus tersedia dalam bentuk salap 0,03% dan 0,1% untuk DA derajat sedang hingga berat. Kadar 0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim pimekrolimus 1% diindikasikan untuk DA derajat ringan hingga sedang, pada pasien diatas usia 2 tahun. Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari terbukti aman, dengan respon klinis pada anak dan dewasa akan terjadi dalam 1 minggu setelah terapi. Dapat digunakan di wajah serta daerah lipatan kulit (aksila, leher, inguinal) dan kulit yang tipis (wajah, kelopak mata). Selain efek samping rasa terbakar pada kulit, juga eritem dan pruritus. Belum ada bukti peningkatan risiko hipertensi dan neurotoksik, namun masih perlu  penelitian jangka panjang.

Strategi Terapi Kombinasi

International Consensus Conference on Atopikc Dermatitis II (ICCAD II) merekomendasikan kortikosteroid topikal untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare, sedangkan inhibitor kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi pemeliharaan. Penelitian pada ko-aplikasi betametason valerat dengan takrolimus atau pimekrolimus, meningkatkan penetrasi keduanya sehingga efektivitasnya meningkat. Kombinasi kortikosteroid dan antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi dengan infeksi ringan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai terapi kombinasi dan menetapkan dosis optimal, untuk kombinasi kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin atau alteransi.

Ter

Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi, walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal. Sampo yang mengandung ter dapat digunakan untuk lesi di skalp. Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada lesi akut, karena dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antara lain folikulitis, fotosensitivitas dan potensi karsinogenik.

Terapi Sistemik

Kortikosteroid sistemik seperti prednison, jarang digunakan sebagai terapi primer pada DA. Namun terkadang dapat digunakan pada masa akut sementara transisi ke agen lain. Prednisolon 1 mg/kg berat badan dapat digunakan pada anak, namun sebaiknya tidak lebih dari 1 atau 2 minggu. Penggunaan jangka waktu lama tidak dianjurkan pada anak.

Inhibitor Kalsineurin Sistemik. Siklosporin oral sebagai terapi sistemik DA tersedia dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi, setelah penghentian terapi siklosporin. Siklosporin merupakan obat kategori C yang berisiko nefrotoksik, hipertensi dan hiperlipidemia. Efek samping dapat diminimalisir dengan dosis yang tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi dengan obat-obat lain, seperti obat untuk jantung dan hipertensi (diltiazem, verapamil, diuretik hemat Kalium), statin, antibiotik dan antijamur (klaritomisin, eritromisin, flukonazol, ketokonazol), antikejang (karbamazepin, fenitoin), antidepresan (selective serotonin reuptake inhibitor, nefazodone), dan obat-obat inhibitor protease HIV (indinavir, saquinavir).

Anti Infeksi

Bila terdapat tanda infeksi sekunder oleh kolonisasi Staphylococcus aureus (madidans, krusta, pustul, pus) yang luas, dapat diberikan antibiotik sistemik misalnya sefalosporin atau penisilin yang resisten terhadap penisilinase (dikloksasilin, kloksasilin, flukloksasilin). Bila lesia tidak luas dapat dipakai antibiotik topikal, misalnya asam fusidat atau mupirosin. Eritromisin atau makrolid lain dapat diberikan kepada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topikal atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi jamur.

Bila terdapat tanda infeksi sekunder oleh kolonisasi Staphylococcus aureus (madidans, krusta, pustul, pus) yang luas, dapat diberikan antibiotik sistemik misalnya sefalosporin atau penisilin yang resisten terhadap penisilinase (dikloksasilin, kloksasilin, flukloksasilin). Bila lesi tidak luas dapat dipakai antibiotik topikal, misalnya asam fusidat atau mupirosin. Eritromisin atau makrolid lain dapat diberikan kepada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topikal atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi jamur.

Rejimen Terapi Dermatitis 2