Ethicaldigest

Penting, Anamnesis Vertigo

Pasien perlu ditanya bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar, tujuh keliling, serasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo, seperti perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan.

Vertigo merupakan kondisi medis yang didasari adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh, seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya. Bisa sekelilingnya yang terasa berputar atau badan yang terasaberputar. Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yang berarti memutar. Vertigo termasuk gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti terjungkir balik.

Jenis vertigo yang paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap pasien yang datang dengan keluhan pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki merupakan BPPV. Umumnya kondisi ini sering disertai penyakit lain.

Sistem Keseimbangan

Manusia berjalan dengan dua tungkai, sehingga relatif kurang stabil dibanding dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki. Manusia lebih memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan, selain itu perlu informasi gerakan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan di sekelilingnya. Informasi diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh, yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasi. Fungsi penglihatan dan proprioceptif juga berperan dalam memberi informasi rasa, sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim ini saling berhubungan dan mempengaruhi, selanjutnya diolah di susunan saraf pusat.

Patofisiologi

Menurut dr. Satya Hanura, SpS, vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yangmengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya, dengan apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Terdapat beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut, di antaranya :

Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkanhiperemi kanalis semisirkularis, sehingga fungsinya terganggu. Akibatnya timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini, terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dariberbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum danproprioceptif. Aatau ketidakseimbangan /asimetri masukan sensorik, yangberasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkankebingungan sensorik di sentral, sehingga timbul respons yang dapat berupanistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguanvestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasikortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebihmenekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori ini,otak mempunyai memori /ingatan tentang pola gerakan tertentu. Sehingga, jikapada suatu saat dirasakan ada gerakan aneh atau tidak sesuai dengan polagerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang, akanterjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbulgejala.

Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom, sebagai usahaadaptasi gerakan/ perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistim simpatisterlalu dominan. Sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

Teori neurohumoral

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin(Lucat) yang masing-masingnya menekankan peranan neurotransmiter tertentudalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejalavertigo.

Teori Sinap

Merupakan pengembangan dari teori sebelumnya, yang meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres, yang memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya mengaktifkan susunan saraf simpatik, yang kemudian mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

Vertigo bukan penyakit tersendiri, melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda-beda. “Karena itu, pada setiap penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak lesi dan penyebabnya,” jelas dr. Satya.

Anamnesis

Yang pertama-tama kepada pasien perlu ditanyakan bentuk vertigonya, apakah melayang, goyang, berputar, tujuh keliling, serasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo, seperti perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronik progresif atau membaik. Tanyakan juga, apakah terdapat gangguan pendengaran yang biasanya menyertai /ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/ vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik.

Pemeriksaan Fisik

Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik-vestibuler atau serebeler. Dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/ nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab, apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat (korteks serebrim serebelum, batang otak) atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik. Dipertimbangkan pula faktor psiikologik /psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo.

Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan atau dicari antara lain aritmia jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, perlu ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai.

Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik, tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri, bising karotis, irama (denyut jantung). Pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa.

Semantara pada pemeriksaan neurologis, dilakukan dengan perhatian khusus pada:

Fungsi vestibuler/serebeler

  1. Melakukan uji Romberg. Pasien diminta berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Pastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler, hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi. Pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler, badan penderita akan bergoyang baik saat mata terbuka maupun mata tertutup.
  2. Tandem gait. Pasien berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler, penderita akan cenderung jatuh.
  3. Uji Unterberger. Test ini dilakukan secara berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan, dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi, dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
  4. Past-ponting test (Uji Tunjuk Barany). Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.
  5. Uji Babinsky-Weil. Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang, selama setengan menit. Jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.

Pemeriksaan OTO-NEUROLOGI

Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan, apakah letak lesinya di sentral atau perifer. Pada fungsi vestibuler, uji Dix Hallpike dapat dilakukan dengan memperhatikan adanya nistagmus. Dapat juga melakukan uji ini dari kanan dan kiri.

Pertama-tama dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis horizontal. Kemudian kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri. “Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus. Dengan uji ini dapat dibedakan, apakah lesinya perifer atau sentral,” paparnya.

Perifer, vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Pada lesi sentral, umumnya tidak terdapat periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

Tes Kalori. Pasien dalam posisi berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C), masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya, sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.

Canal paresis merupakan kondisi abnormalitas yang ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin. Sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labarin, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.

Elektronistagmogram. Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus. Dengan demikian nistagmus dapat dianalisis secara kuantitatif.

Fungsi Pendengaran

Beberapa tes diagnostik dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi vertigo. Di antaranya test Garpu Tala. Alat ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan Schwabach memendek.

Test Audiometri. Pada kondisi ini terdapat  berbagai jenis pemeriksaan audiometri, seperti Ludness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay.

Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebelar (tremor, gangguan cara berjalan).