Ethicaldigest

Diagnosis Gagal Jantung: Pemeriksaan Biomarker Jadi Goldstandar

Diagnosis gagal jantung masih menjadi tantangan. berdasarkan data Riskesdas Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, prevelensi gagal jantung di Indonesia sebesar 0,13%. Pendataan ini dibuat berasarkan hasil wawancara dan pemeriksaan dokter, baik pada pasien langsung maupun wawancara dengan keluarganya. Dari kelompok usia, terlihat bahwa prevalensi populasi antara 65-74 tahun sebesar 0,5%, sedangkan yang lebih dari 75 tahun yakni 0,4%.

Tidak selalu mudah melakukan diagnosis gagal jantung, terutama pada kelompok usia lanjut dengan banyak penyakit, komorbiditas, keadaan deconditioning, dan penyakit paru. Banyak pakar menyatakan angka kesalahan diagnosis mencapai 30-50%. “Karena itu diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti,” jelas Prof. dr. Lukman H. Makmun, Sp.PD-KKV, KGer, FINASIM. Saat ini pemeriksaan biomarker gagal jantung yaitu NTproBNP dan ST2. Sebagai gold standard adalah pemeriksaan ekokardiografi, yang telah digunakan untuk menentukan ejection fraction (EF).

Pada penderita gagal jantung, bila terjadi peregangan dinding ventrikel maka akan terjadi pelepasan BNP (Brain Natriuretik Peptide) yang cukup banyak. Efeknya adalah terjadi peningkatan natriuresis/diuresis, vasodilatasi, penurunan sekresi renin, -NE, -aldosterone, -ET1; penurunan proliferasi otot polos di pembuluh darah, dan berkurangnya fibrosis miokard. Terdapat dua jenis pemeriksaan BNP yaitu NTproBNP dan BNP. Nilainya banyak dipengaruhi kelainan ginjal dan usia pasien.

Pemeriksaan yakni protein ST2, yang dihasilkan oleh growth stimulation expressed-gene2. Protein ST2 memiliki 2 bentuk isoform yaitu ST2L (ST2 Ligand) yang merupakan membrane-bound receptor, dan soluble  ST2 (sST2) yang biasanya ditulis dengan ST2. Reseptor ST2 termasuk dalam famili IL-1. Sebagai ligand terhadap ST2L adalah IL-33. Interaksi antara IL-33 dengan ST2L bersifat protektor terhadap jantung. Yaitu terhadap fibrosis otot jantung saat terjadi overload tekanan dan volume, sehingga menghambat proses remodeling (fibrotik dan hipertrofi).

Adapun ST2 utamanya distimulasi oleh regangan mekanis sel otot jantung. Gagal jantung kronik dan IMA meningkatkan kadar ST2 secara signifikan. Apabila kadar ST2 meningkat di dalam darah, IL-33 akan berinteraksi dengan ST2. Dengan demikian ST2 dan ST2L merupakan kompetitor sehingga ST2 disebut sebagai decoy receptor. Interaksi antara IL-33 dengan ST2 akan bersifat tidak protektor, sehingga tidak menghambat efek hipertrofi otot jantung, dan akan mempercepat terjadinya ganguan fungsi ventrikel dan remodeling.

Dikatakan oleh Prof. Lukman, pemeriksaan rutin lain seperti rontgen toraks, elektrokadriografi dan pemeriksaan laboratorium untuk melihat fungsi ginjal, kadar glukosa darah, hati dan kondisi lain yang terkait juga harus dilakukan.

Klasifikasi

Seperti telah dibahas, banyak penyakit yang dapat bermuara menjadi gagal jantung. Yang paling banyak menjadi kausa adalah penyakit jantung koroner, yang umumnya merupakan kelanjutan dari pasca miokard infark, hipertensi lanjut, kelainan katup, dan miokardiopati dengan kelainan pada miokard.

New York Heart Association (NYHA) setidaknya membagi klasifikasi gagal jantung ke dalam 4 kelas, berdasarkan reaksi keluhan klinis terutama sesak terhadap beban fisik; yaitu kelas I – IV. Pembagian lain berdasarkan berdasarkan ACCF/AHA dibagi menjadi stadium A – D, yaitu berdasarkan kelainan struktur jantung , dan dikaitkan dengan gejala.

Pada stadium A umumnya belum ada kelainan struktur jantung, tetapi terdapat faktor risiko seperti hipertensi. Pada stadium B biasanya sudah terdapat kelainan struktur tetapi belum terdapat gejala. Adapun pada stadium C, sudah terdapat kelainan struktur dan disertai dengan gejala. Sementara pada stadium D umumnya sudah terjadi kondisi lanjut, dan sudah memerlukan tindakan intervensi khusus.

Pembagian lain berdasarkan nilai EF dari ekokardiografi meliputi HFrEF (reduced): EF <40% disebut sebagai sistolik HF. Dan HFpEF (preserved): EF >50% disebut diastolik HF.