Ethicaldigest

Definisi dan Epidemologi MRSA

Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicillinase dan penicillinase-stable betalactam, seperti methicillin, cloxacillin dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi utama dari infeksi S. aureus selama kurang lebih 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini sebagai pengobatan.

Pada tahun 1959, antibiotik semisintetik golongan penisilin yang bernama methicillin mulai diperkenalkan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus dan bakteri lainnya. Namun 2 tahun kemudian muncul strain S. aureus yang mengalami resistensi terhadap methicillin. Kuman ini kemudian disebut dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA.

Menurut Prof. Dr. dr. Pratiwi Sudarmono SpMK(K) dari departemen Mikrobiologi Klinik FKUI/RSCM, Jakarta, seperti kita ketahui sebelumnya penggunaan methicillin untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh S. aureus yang sebelumnya telah resisten terhadap penicillin. Namun kemudian di Inggris pada tahun 1961 telah di temukan adanya isolate S. aureus yang resisten terhadap methicillin (Brown et.al 2005). Yang selanjutnya menjadikan infeksi MRSA ini menyebar di seluruh negara eropa, Jepang, Australia, Amerika Serikat dan seluruh dunia selama puluhan tahun serta menjadi infeksi yang bersifat multidrug-resistant.

Definisi dan Epidemologi MRSA

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa terdapat di jaringan lunak, aksila, perineum dan juga sering ditemukan pada jaringan kulit normal pada 20-30% orang sehat. Namun dalam kondisi tertentu, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi di berbagai jaringan tubuh bila ia menembus sistem pertahanan tubuh. S. aureus dapat menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan timbulnya pus, enterotoksin yang menyebabkan gangguan pencernaan, toksin eksfoliatif yang menyebabkan kerusakan kulit, dan eksotoksin TSST-1 yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome. S. aureus tersebar di seluruh dunia, berdasarkan data CDC, 25-30% dari populasi masyarakat memiliki kolonisasi stafilokokus di hidungnya.

MRSA adalah strain S. aureus yang tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik pada infeksi yang diakibatkan S. aureus. Meski MRSA dikenal sebagai kuman yang resisten terhadap methicillin, namun ternyata ia juga memiliki resistensi tinggi terhadap beberapa jenis antibiotik lain. Oleh karena itu, MRSA dikenal juga sebagai “superbug”.

Pada umumnya, MRSA dapat menyebabkan infeksi yang serupa dengan strain Staphylococcus aureus lainnya. Bakteri ini dapat ditemukan pada daerah ketiak, pangkal paha, tenggorok, dan hidung. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS, hanya sekitar 1-2% penduduk yang terkolonisasi oleh MRSA, terutama di daerah hidung. Kolonisasi ini tidak menyebabkan penyakit. Namun jika ada kerusakan pada jaringan kulit atau cedera lainnya, pertahanan tubuh dapat menurun dan timbul infeksi.

MRSA masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan infeksi melalui luka terbuka, luka lecet, kateter, atau melalui tabung pernapasan. Manifestasinya dapat berupa infeksi ringan (misalnya jerawat), atau juga berat (melibatkan jantung, paru, darah, dan tulang). Infeksi berat oleh S. aureus umumnya terjadi pada mereka yang memiliki gangguan sistem imun. Di antaranya adalah pasien-pasien yang sedang dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang, penderita HIV, kanker atau yang sedang menjalani kemoterapi, pasien lanjut usia, serta pasien yang menjalani hemodialisa. MRSA merupakan S. aureus yang resisten terhadap antibiotik golongan β-laktam, termasuk juga penicillinase-resistant penicillins (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan cephalosporin. Sampai saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA. Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi kurang lebih 5% pada populasi yang berkelompok seperti militer dan penjara. Pada mereka orang-orang yang telah terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian besar akan tetap asimtomatik.