Ethicaldigest

Antifosfolipid Sindrom

Sindroma antifosfolipid (APS) pertama kali dijelaskan Hughes, Harris dan Gharavi pada tahun 1986. Kondisi ini merupakan gangguan autoimun yang ditandai adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena) berulang dan/ atau morbiditas kehamilan, yang berhubungan dengan tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid – aPL). Antifosfolipid antibodi mempunyai aktivitas prokoagulan terhadap protein C, annexin V dan trombosit dan menginhibisi fibrinolisis. Beberapa istilah lain untuk ada tapi dirasa kurang begitu tepat seperti sindrom lupus antikoagulan. Hal ini karena sebagian pasien dengan APS, tidak memiliki penyakit lain. Meski demikian beberapa pasien dengan SLE juga mengalami APS, atau penyakit autoimun lainnya.

Pada penderita APS, terjadi perubahan regulasi homeostatis pembekuan darah. Sayangnya penyebab pasti dari mekanisme trombosis ini belum diketahui pasti. Salah satu hipotesis yang ada menyebutkan, telah terjadi kegagalan dalam apoptosis sel, yang selanjutnya terpapar dengan membrane fosfolipid yang mengikat berbagai jenis protein plasma, seperti beta-2 glikoprotein 1.

Saat ini diketahui bahwa antibody terhadap β2-glikoprotein, merupakan antibodi utama yang berperan dalam patogenesis sindroma antifosfolipid. β2-glikoprotein akan berikatan dengan fosfolipid yang bermuatan negatif dan menghambat aktivitas kontak kaskade koagulasi dan konversi protrombin-trombin. β2- glikoprotein 1 berfungsi sebagai antikoagulan plasma natural, sehingga merangsang terjadinya trombosis. Dalam penelitian terbaru dinyatakan bahwa beta-2 glikoprotein 1 yang teroksidasi, selanjutnya mengikat dan mengaktifkan sel dendritik.

Aktifasinya mirip dengan aktifasi yang di picu oleh Toll-like receptor 4 (TLR-4), yang selanjutnya meningkatkan produktivitas autoantibodi. Dugaan lain terjadinya efek hiperkoagulasi dari aPL antibodi, yang tidak melibatkan mekanisme beta-2 glikoprotein 1, diantaranya: aktivitas platelet yang meningkat, peningkatan aktivitas vaskular yang selanjutnya mengikat platelet dan monocytes, reaksi antibodi yang mengoksidasi low-density lipoprotein, yang merupakan predisposisi aterosklerosis dan infark miokard.

Aktivasi komplemen semakin memegang peran penting, pada patogenesis APS. Hal ini ditunjukkan pada penelitian menggunakan hewan coba. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivasi komplemen APL sebagai penyebab utama keguguran. “Terjadinya keguguran pada sindrom antifosfolipid, diperkirakan akibat adanya thrombosis (pembentukan bekuan darah) yang akan menyumbat aliran darah plasenta,” jelas dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc.

Secara klinis, terjadinya hiperkoagulabilitas dan trombosis berulang dapat mempengaruhi semua sistim organ pada tubuh manusia, yang meliputi: trombosis vena dalam (DVT), pada sistim saraf pusat memungkinkan terjadinya stroke, sinus trombosis, kejang. Dapat terjadi juga neuropati perifer, termasuk di dalamnya guillainbarre syndrome. Pada bidang obstetri, terjadi keguguran dan eklamsia. Pada bidang paru kemungkinan dapat terjadi emboli paru dan hipertensi pulmonal dan beberapa kondisi lain, yang mungkin dapat mengancam penderita. Ginjal merupakan organ paling rentan terkena dampak APS.

Perlu diketahui, pada infeksi tertentu juga dapat ditemukan antibodi antifosfolipid, seperti halnya IgM dan aCL bahkan terkadang menyebabkan trombosis. Berikut ini jenis infeksi yang dapat menyebabkan antibodi antifosfolipid:

  1. Kelompok bakteri: septikemi, leptospirosis, sífilis, lyme disease (borreliosis), tuberkulosis, lepra, endokarditis infektif, demam rematik post infeksi streptokokus, dan infeksi klebsiella.
  2. Kelompok virus: hepatitis A, B dan C, mumps, HIV, HTLV-1, sitomegalovirus, varicella-zoster, Epstein-Barr, adenovirus, parvovitus, rubela.
  3. Kelompok parasit: malaria, pneumocystic carinii, leishmaniasis.

Antibodi antifosfolipid juga dilaporkan ditemukan pada kanker paru, kolon, seviks, prostat, ginjal, ovarium , payudara , tulang, linfoma Hodgkin dan non Hodgkin, mielofibrosis, polisitemia vera, lekemi mieloid serta limfositik.

Keadaan lain yang menyebabkan adanya antibodi antifosfolipid antibodi adalah pada pada sickle cell anemia, anemia pernisiosa, diabetes melitus, inflammatory bowel disease, terapi pengganti ginjal dialisis dan sindroma Klinefelter.

Prevalensi

Secara pasti, prevalensi APS belum diketahui. Tetapi diperkirakan sekitar 1 sampai 5% individu sehat memiliki antibodi aPL. Hal ini mengindikasikan kejadian APS sekitar 5 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya, dengan prevalensi sekitar 40-50 kasus per 100.000 orang. Antibodi aPL cenderung lebih sering ditemukan pada kelompok lanjut usia. Karena itu hasil titer positif harus ditafsirkan secara lebih berhati-hati pada kelompok usia lanjut usia.

Di sisi lain, antibodi aPL juga ditemukan pada sekitar 30-40% pasien SLE, tetapi hanya 10% yang memiliki APS. Setidaknya, setengah dari kasus APS tidak berhubungan dengan penyakit rematik lainnya. Dalam sebuah studi yang mengikut sertakan 100 pasien dengan trombosis vena, tanpa riwayat SLE, antibodi aCL, ditemukan pada 24% individu dan LA sebesar 4%. Di Indonesia, prevalensi APS tidak berbeda jauh dengan negara lain di dunia, namun demikian angka pastinya tidak dapat diperhitungkan.

Tidak ada data yang menyebutkan kelompok ras tertentu memiliki prevalensi APS yang lebih tinggi di ras/ negara lain. Meski demikian, kejadian SLE disinyalir lebih tinggi pada kelompok ras Hispanik dan Amerika/ Afrika. Dan perempuan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terjadi APS, terutama APS sekunder. Hal ini serupa dengan angka kejadian untuk SLE, dimana perempuan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi.

Data terbaru menujukkan, APS lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda dan dewasa. Namun bisa juga terjadi pada kelompok usia anak dan lanjut usia (lansia). Bahkan pernah terjadi pada bayi usia 8 bulan.

Secara klinis, sindroma antifosfolipid terdiri dari 2 jenis, yakni: Sindroma antifosfolipid primer dan Sindroma antifosfolipid sekunder. Sindroma antifosfolipid primer ditandai dengan adanya antibodi antifosfolipid pada penderita dengan trombosis idiopatik, tanpa adanya penyakit autoimun atau faktor lain seperti infeksi, keganasan, hemodialisis atau antibodi antifosfolipid yang diinduksi oleh obat-obatan. Sementara sindroma antifosfolipid sekunder, ditandai dengan adanya antibodi antifosfolipid dan trombosis pada penderita dengan penyakit autoimun, terutama lupus eritematosus sistemik dan artritis rematoid.

Dari 1000 kasus sindroma antifosfolipid, presentasi klinis yang ditemukan dapat berupa trombosis vena dalam (32%), trombositopenia (22%), livido retikularis (20%), stroke (13%), tromboflebitis superfisialis (9%), emboli pulmonal (9%), kematian fetus (8%), transient ischemic attack (7%) dan nemi hemolitik (7%).

Sementara untuk catastrophic APS hanya terjadi sebagian kecil kasus (0,8%). Penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami trombosis luas, dengan gagal organ multiple pada 3 atau lebih organ/sistem. Catastrophic APS sering berakibat fatal dengan angka mortalitas 44-48%, meskipun kepada pasien telah diberikan terapi antikoagulan dan imunosupresif.

Diagnostik didasarkan pada kriteria International Consensus Statement on an Update of the Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome tahun 2006, yakni bila didapatkan minimal 1 kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium. Kriteria klinis meliputi adanya 1 atau lebih episode trombosis vena, arterial atau pembuluh darah kecil dan/atau morbiditas kehamilan. Sementara kriteria laboratorium terpenuhi, jika terdapat aPL pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan jarak minimal 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis. IgG dan/atau IgM anticardiolipin antibodi dengan titer moderat atau tinggi (> 40 unit GPL atau MPL atau > 99 persentil).