Ethicaldigest

Sindroma Tangan Alien

Sindroma tangan alien (alien hands syndrome – AHS) merupakan kondisi medis dalam bidang neurologi yang cukup langka. Penyebabnya karena kerusaan bagian otak tertentu, ditandai tangan yang bergerak tanpa sadar. Sindrom ini berbeda dengan Mirror Movement disorder (MM).

Gerakan tangan tanpa sadar dapat berupa menyentuh muka, meraba-raba benda di sekitarnya  bahkan merobek-robek pakaian sendiri. Untuk kasus yang ekstrem, orang dengan AHS tanpa sadar  memasukkan makanan ke mulut, mencegah tangan normalnya menyelesaikan tugas-tugas sederhana sehingga tersedak atau mencekik leher sendiri.

“Kondisi ini sangat merisaukan. Terkadang orang dengan AHS harus menggunakan tangan yang normal untuk menahan, memaksa atau mengontrol gerakan dari tangan aliennya,” ujar dr. Frederic Assal dari Departemen Ilmu Saraf University Hospital di Jenewa, Swiss.

Sindrom ini lebih dipandang sebagai gangguan saraf ketimbang ancaman medis. Pasien sering mengalami masalah psikologis, malu dan kadang-kadang mengalami kondisi yang membahayakan diri sendiri. Sindrom tangan alien yang juga dikenal dengan sindrom tangan anarkis (anarchic hand syndrome/AHS), pertama kali diidentifikasi tahun 1909 dan hanya ada 40 – 50 kasus yang tercatat pada waktu itu.

Untuk membantu mengidentifikasi gangguan ini, Assal dan rekan menggunakan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) untuk melakukan scan (skrining) otak. Scan otak dilakukan pada  pria usia 70 tahun yang menderita AHS, setelah yang bersangkutan menderita stroke. Scan otak dilakukan saat lengan pria tersebut diikat, sementara ia beristirahat. Saat orang tersebut memindahkan tangannya, hasil scan otak menunjukkan aktivitas di beberapa daerah otak.

Menurut Assal, selama terjadi gerakan-gerakan tangan alien, scan otak hanya menunjukkan aktivitas di sisi kanan otak, yaitu di daerah yang disebut korteks motor. Gerakan spontan dan sukarela yang melibatkan korteks motor ini, tidak melibatkan bagian-bagian lain dari otak. Tapi Assal dan rekan tidak dapat menemukan pasien lain yang mengalami AHS, sehingga tidak jelas apakah gejala pada pasien ini mewakili gejala yang terjadi pada semua pasien sindrom ini.

Namun dengan hasil ini, dokter setidaknya mengetahui bahwa temuan ini memberi penjelasan baru tentang kontrol otak gerakan sukarela dan spontan. Penelitian terbaru dari AHS menunjukkan, sindroma ini dapat diakibatkan adanya trauma dan penyakit kanker otak. Selain corpus callosum, daerah lain pada otak yang berhubungan erat dengan kejadian AHS meliputi korteks motorik dan sumplementari korteks motorik. Terapi yang saat ini digunakan adalah penggunaan obat untuk mengontrol otot, seperti botulinum toxin dan beberapa agen penghambat neuromuscular. Juga dilakukan terapi kognitif, dengan hasil yang cukup memuaskan.