Ethicaldigest

Infeksi Mengintai Pasien Kemoterapi

Kemoterapi pada pasien kanker stadium lanjut harus dilakukan secara agresif. Menurut Dr. dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD-KHOM, dari RS Dharmais, Jakarta, kemoterapi yang dilakukan secara agresif dapat menekan produksi sel-sel netrofil. Sel kanker sendiri dapat masuk ke sumsum tulang dan menghambat produksi sel darah putih. Akibatnya, penderita berisiko terserang penyakit infeksi.

Ada beberapa langkah untuk menghindari penyakit infeksi pada penderita berisiko. Antaranya menggunakan obat-obatan yang kecil kemungkinannya menyebabkan neutropenia “Obat-obatan kanker telah diklasifikasikan berdasar risikonya menyebabkan neutropenia,” kata dr. Dody. “Ada yang berisiko rendah, menengah dan tinggi.” Menengah jika risikonya lebih dari 20%. Berisiko tinggi jika risikonya lebih dari 40%.

Dulu, tindakan pencegahan diberikan pada pasien yang akan mendapat kemoterapi dengan risiko lebih dari 40%. Kini, pencegahannya lebih agresif. Pencegahan diberikan pada pasien yang akan menjalani kemoterapi, dengan risiko menengah (>20%). “Jika risiko neutropenianya lebih dari 20%, kita sebaiknya memberi pencegahan supaya tidak terjadi neutropenia,” kata dr. Dody.

Obat kanker yang memiliki risiko neutropenia paling besar adalah obat yang diberikan pada kanker darah, yaitu leukemia. Kemudian, limfoma, kanker usus besar, payudara dan kanker germ cell. Kanker germ cell terjadi pada usia yang lebih muda, dan kankernya lebih agresif. Kemoterapinya juga bersifat lebih agresif.

Sebagai standar, tujuan penanganan pasien-pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi adalah, jangan sampai mereka mengalami neutropenia dan jatuh pada keadaan infeksi. Salah satu caranya adalah menjauhkan pasien dari sumber infeksi. Sumber infeksi bisa berasal dari luar atau dari tubuh pasien sendiri. Yang sering, sumber infeksi berasal dari tubuh pasien. Bisa dari usus atau kulit.

“Kita berikan partial antibiotic decontamination (PAD). PAD memiliki standar, dan standar yang saat ini digunakan adalah antibiotik Levofloxacin,” kata dr. Dody. Antibiotik diberikan satu minggu sebelum kemoterapi. Selain itu, untuk saluran cerna bagian atas, seperti mulut, diberikan obat anti jamur, seperti nistatin atau mikostatin. Obat pencegahan yang lain diberikan berdasar indikasi.

Higinitas pasien juga perlu dijaga, mulai dari kebersihan kulit, hingga kebersihan mulut. “Kita bersihkan mulutnya dari sumber infeksi. Misalnya, kalau ada gigi berlubang atau karies, harus kita bersihkan atau bahkan mencabut gigi-gigi tersebut,” kata dr. Dody. Kemudian, harus dicari sumber-sumber infeksi potensial pada telinga hidung dan tenggorokan. Untuk bidang ini, spesialis THT yang melakukan evaluasi.

Pada pasien-pasien yang berisiko mengalami neutropenia, diberikan growth faktor atau faktor pertumbuhan untuk menstimulai pertumbuhan sel darah putih. Jenis yang biasa digunakan adalah granulocyte colony stimulating factor (GCSF). GCSF bisa diberikan sebagai pencegahan primer atau sekunder. 

Profilaksis primer diberikan pada pasien-pasien yang akan menjalani kemoterapi, dengan asumsi kemoterapi yang diberikn berisiko menyebabkan neutropenia lebih dari 20%. Profilaksis sekunder diberikan pada pasien-pasien yang pernah mengalami neutropenia, saat dilakukan kemoterapi sebelumnya.

Pencegahan lain yang sangat diperlukan pasien leukemia adalah, pasien dimasukkan ke kamar steril, ruang isolasi imunitas. “Di kamar steril, kita memantau indeks kuman, mulai dari udara, kita hitung indeks bakteri, evaluasi kebersihan dinding ruangan, peralatan yang ada di dalamnya, meja dan lantai,” kata dr. Dody. Ini dilakukan setiap hari. “Begitu diketahui indeks kuman melebihi ketentuan, ruangan harus dibersihkan dan dikosongkan sementara.”

Profilaksis antibiotic

Meski terapi antibiotika empiris untuk demam neutropenia adalah standar pengobatan, terapi ini masih kontroversial. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan, terapi profilaksis antibiotik mengurangi episode demam dan infeksi saat neutropenia, tetapi penurunan pada angka mortalitas tidak konsisten.

Suatu metaanalisa terhadap 100 penelitian klinis acak menunjukkan sedikit penurunan angka mortalitas dengan terapi profilaksis antibiotik, terutama dengan fluoroquinolon. Penelitian-penelitian terbaru dengan flukoroquinolon profilaksis,  menunjukkan penurunan angka kejadioan infeksi dan demam. Tapi, penelitian-penelitian ini tidak menemukan penurunan angka kematian yang signifikan.

Meski bukti ilmiah mendukung efikasi profilaksis antibiotic menurunkan infeksi, guideline terkini tidak menganjurkan profilaksis rutin dengan antibiotik. Ada kekhawatiran munculnya resistensi obat, bersamaan dengan meningkatnya penggunaan antibiotika dan tidak ada konsistensi hasil penelitian manfaat terapi ini, dalam mengurangi angka kematian.