Ethicaldigest

Faktor Risiko Hepatitis C

Virus hepatitis C, suatu virus RNA rantai tunggal, adalah penyakit yang menular melalui kontak darah paling sering ditemukan di Amerika Serikat. Sekitar 4 juta orang di AS memiliki infeksi kronis virus hepatitis C. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Rumah Tangga (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan, menemukan prevalensi hepatitis C sekitar 2 persen atau sekitar 4 – 5 juta jiwa.

Diperkirakan sekitar 130-170 juta orang terinfeksi hepatitis C di seluruh dunia. Dari 100 orang yang terinfeksi, 75–85% akan mengalami infeksi kronis, 60–70% akan mengalami penyakit liver kronis, 5–20% akan mengalami sirosis, dan 1-5% akan meninggal karena komplikasi, termasuk karsinoma hepatoselular.

Jumlah penderita hepatitis C lebih rendah dibandingkan dengan hepatitis B, tetapi kemungkinan menjadi kronik pada hepatitis C lebih besar. Jika hepatitis B atau C telah menjadi kronik, ada risiko menjadi sirosis hati atau kanker hati. “Kanker hati saat ini menjadi salah satu kanker yang sulit diobati. Tapi, jika diketahui lebih dini, kanker hati kurang dari 3 cm bisa diobati sampai sembuh,” kata dr. Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PHHI). Proses dari hepatitis C menjadi kanker, dapat dicegah dengan terapi hepatitis C yang baik.

Faktor risiko

Virus hepatitis C ditularkan melalui paparan darah yang terinfeksi virus. Obat-obatan suntik merupakan rute penularan hepatitis C tersering. Karenanya, sebaiknya orang yang menggunakan obat suntik, termasuk penggunaan kokain intranasal, harus menjalani skrining untuk virus hepatitis C. Prevalensi virus hepatitis C yang dilaporkan pada pengguna obat-obatan suntik sangat tinggi. Dalam 5 tahun setelah menggunakan obat suntik, satu dari tiga orang akan terinfeksi virus hepatitis C.

Orang yang berisiko terinfeksi virus hepatitis C lainnya adalah mereka yang mendapatka transfusi darah sebelum tahun 1992, tenaga kesehatan yang merawat orang yang terinfeksi, orang yang menjalani hemodialisa jangka panjang, orang dengan human immunodeficiency virus (HIV), anak-anak dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis C, dan mereka dengan banyak pasangan seks. Risiko penularan virus hepatitis C antara pasangan seksual monogamy, kurang dari 1%.

Orang yang telah menjalani hemodialisa dalam jangka waktu lama, mereka dengan kadar aminotransferase abnormal yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya dan mereka yang terinfeksi HIV, dianggap bersiiko karena tingginya prevalensi infeksi pada pasien-pasien ini. Menyusui tidak terkait dengan penularan virus hepatitis C. Meski paparan virus hepatitis C melalui tattoo, akupuntur dan body piercing bisa terjadi, jarang dilaporkan sebagai penyebab tunggal penularan.

Penderita hepatitis jarang sekali menunjukkan gejala. Walau demikian, seperti kata  dr. Rino, mereka yang berisiko tinggi untuk terinfeksi virus hepatitis B dan C sebaiknya melakukan pemeriksaan, apakah sudah terinfeksi atau belum. “Kita tidak boleh menunggu timbulnya gelaja. Kalau ada risiko tinggi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan agar diketahui terinfeksi atau tidak,” kata dr. Rino.