Ethicaldigest

Dermatitis: Pengertian, Prevalensi, Penyebab dan Patogenesis

Dermatitis adalah peradangan non-inflamasi pada kulit yang bersifat akut, sub-akut atau kronis, dipengaruhi banyak faktor. Menurut dr. Djuanda dalam publikasinya tahun 2006, kondisi ini dikategorikan sebagai peradangan kulit (epidermis dan dermis), sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal. Terdapat berbagai dermatitis, diantaranya: dermatitis atopik, nummular dermatitis, dermatitis kontak dan statis dermatitis.

Sebagian besar tipe dapat didiagnosis, melalui pemeriksaan pada lokasi yang mengalami iritasi kulit. Pada dermatitis kontak, dokter mungkin melakukan pemeriksaan tambahan seperti patch test dengan beberapa alergen.

Menurut dr. Suksmagita Pratidina, SpKK, dari RS Pondok Indah – Puri Indah, Jakarta, dermatitis kontak disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Terdapat dua macam: dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA). Keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik. Kerusakan kulit dapat terjadi langsung tanpa diketahui proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang mengalami sensitasi terhadap suatu alergen.

Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup.

Dermatitis kontak iritan dapat diderita semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data dermatitis kontak iritan sulit didapat. Data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan, 249.000 kasus penyakit okupational nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit kedua terbesar untuk semua penyakit okupational. Berdasar survey tahunan dari institusi yang sama, incident rate untuk penyakit okupational pada populasi pekerja di AS menunjukkan, 90-95% dari penyakit okupational adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit itu adalah dermatitis kontak iritan.

Di Amerika Serikat, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lain. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembantu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan, ditemukan sebesar 55,6% di Intensive Care Unit (ICU) dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan, frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13).

Penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan, namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini karena penderita dengan gejala ringan dan tanpa keluhan tidak datang berobat. Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak, sedangkan dermatitis kontak alergik hanya 10-20%. Insiden dermatitis kontak alergik diperkirakan terjadi pada 0,21% dari populasi penduduk (Sumantri, 2010).

Sekitar 80-90% kasus dermatitis kontak iritan, disebabkan paparan iritan berupa bahan kimia dan pelarut. Inflamasi dapat terjadi setelah satu kali pemaparan atau pemaparan berulang (Keefner, 2004). Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama disebut DKI akut. Biasanya disebabkan oleh iritan yang kuat, seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa aromatic dan polisiklik. DKI yang terjadi setelah pemaparan berulang disebut DKI kronis, biasanya disebabkan oleh iritan lemah.

Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan bahan iritan, melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. “Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit. Sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti,” jelasnya.

Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.

DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit, tergantung bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Iritan lemah hanya pada mereka yang rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik merah-merah itu. Reaksi inflamasi bermacam-macam mulai dari gejala awal seperti ini, hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit akan mengalami radang, mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan.