Ethicaldigest

Puasa Penderita Dispepsia 1

Selama bulan suci Ramadhan, penderita dispepsia dapat berpuasa. Tentunya dengan memperhatikan beberapa hal.

Tidak terasa, kita kembali dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan, bulan di mana umat Islam diwajibkan berpuasa selama 12-14 jam setiap harinya, selama satu bulan penuh. Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan momen yang dinanti-nanti untuk berlomba-lomba beribadah, terutama berpuasa. Ibadah yang diwajibkan bagi muslim dewasa ini, yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan seperti makan, minum, serta hubungan imtim suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Di Indonesia, ibadah puasa Ramadhan berlangsung sekitar 14 jam.

Tidak semua umat Islam berada dalam kondisi prima, saat masuk bulan Ramadhan. Beberapa di antaranya ada yang menderita penyakit kronis, seperti dispepsia dan diabetes yang perlu perawatan khusus dengan memperhatikan pola makan. Pada satu sisi, ada keinginan yang kuat untuk berpuasa, di sisi lain ada ketakutan, apakah dengan berpuasa penyakit akan kambuh atau bertambah parah?

Muncul pertanyaan, bolehkah seseorang dengan penyakit dispepsia, misalnya, berpuasa? Sebab, jangankan tidak makan dari pagi sampai sore, telat makan siang saja gejala dispepsia akan kambuh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, suplemen ETHICAL DIGEST kali ini membahas mengenai puasa pada penderita dispepsia, diabetes dan orang berusia lanjut (lansia).

Dispepsia

Dispepsia merupakan nyeri abdomen episodik atau rekuren, yang terjadi pada saluran cerna proksimal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan pasien, yang datang ke klinik saluran cerna. Gejala yang sering muncul biasanya kembung, mual, muntah, cepat kenyang, rasa penuh dan sakit di abdomen bagian atas atau ulu hati.

Meski prevalensinya beragam, sebagian besar penelitian menunjukkan, hampir 25% orang dewasa mengalami gejala dispepsia pada suatu waktu dalam hidupnya. Suatu survey menyebutkan, sekitar 30% orang yang berobat ke dokter umum, disebabkan gangguan saluran cerna terutama dispepsia. Dan, 40-50% pasien yang datang ke spesialis gastroenterologi mengeluhkan gangguan pencernaan, terutama dispespia. Sementara itu, dari sebuah survey di DKI Jakarta, hampir 60% orang yang disurvey pernah mengalami dispepsia.

Penyebab dispepsia bisa bermacam-macam. Namun, secara garis besar, dispepsia dibagi dua, yaitu organik dan fungsional. Dikatakan organik, jika setelah dilakukan endoskopi, ditemukan adanya kelainan struktural, seperti ulkus, kanker, gastritis, duodenitis, pengguna obat-obatan, infeksi dan gangguan metabolik. Sementara untuk dispepsia fungsional, penyebabnya bisa berupa abnormalitas pada akomodasi gastrik, hipersensitifitas viseral, terlambatnya pengosongan lambung, disfungsi saraf vagal dan masalah psikologis.

Ada peran penting dari meningkatnya sekresi asam lambung, dalam patofisiologis terjadinya dispepsia atau maag. Pada penyakit ulkus, misalnya. Diperkirakan, penyebab ulkus adalah kuman H.pylori, OAINS dan asam lambung. Asam lambung juga mengaktifkan  kemoreseptor nosiseptif lokal dan menyebabkan nyeri.

Sementara, pada penderita dispepsia fungsional diketahui adanya kelainan pada sekresi asam. Ada sebuah penelitian yang menilai, apakah pasien dengan dispepsia fungsional memiliki kelainan dalam sekresi asam. Dari penelitian tersebut terlihat, pada pasien yang positif H. pylori memiliki konsentrasi gastrin basal dan output asam basal yang lebih tinggi, dibanding pasien yang negative H. pylori.

Ada beberapa hal yang berpotensi meningkatkan keluhan dispepsia pada pasien dengan dispepsia fungsional, yaitu:

  1. Meningkatnya sekresi asam lambung
  2. Meningkatnya respon terhadap gastrin releasing peptide
  3. Meningkatnya sensitifitas viseral terhadap asam
  4. Perubahan respon terhadap sekretin dan kolesistokinin
  5. Perubahan motilitas terhadap pengaruh asam

Berdasarkan hal-hal ini, beralasan untuk mengobati dispepsia menggunakan obat-obatan yang dapat menekan sekresi asam, seperti proton pump inhibitor (PPI). PPI adalah golongan antiasam yang sangat kuat.