Ethicaldigest

Terapi Nyeri

Analgesik sederhana cukup untuk menghilangkan nyeri. Jika belum terkendali, bisa digunakan OAINS, baik selektif atau pun non selektif, atau injeksi intraartikuler.

Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita osteoartritis pada lutut atau pinggul. “Ada beberapa pilihan terapi untuk mengurangi nyeri, mulai dari analgesic sederhana, seperti asetaminofen, OAINS, opioid, sampai kombinasi beberapa analgesik,” ucap dr. Irfan Saleh Sp.OT, dari Divisi Ortopedi dan Traumatologi, FK Universitas Indonesia.

Bagi sebagian besar pasien osteoarthritis, mengurangi nyeri sendi ringan sampai berat hanya memerlukan analgesik sederhana, seperti asetaminofen, yang dalam beberapa penelitian memiliki efikasi setara dengan OAINS. Bradley dan rekan-rekannya tidak bisa menunjukkan perbedaan respon terhadap asetaminofen dan ibuprofen, pada pasien osteoarthritis lutut, dengan tanda-tanda adanya peradangan sendi.

Eccles dan rekan-rekannya dalam satu metaanalisis, membandingkan analgesik sederhana dengan OAINS, pada pasien dengan osteoartritis lutut. Mereka menemukan, pasien yang diobati dengan OAINS mengalami perbaikan signifikan baik untuk nyeri saat istirahat, atau saat bergerak.

Dua penelitian lain juga menunjukkan efikasi relatif dari asetaminofen dan OAINS, pada pasien dengan osteoartritis. Penelitian yang dilakukan Altman RD dan kawan-kawan memperlihatkan, asetaminofen dan ibuprofen sama efektifnya pada pasien dengan nyeri ringan sampai moderat. Tapi, ibuprofen lebih baik dari asetaminofen pada pasien dengan nyeri berat. Penelitian lain dilakukan oleh Pincus T dan kawan-kawan, yang memperlihatkan diklofenak secara statistik lebih baik dari asetminofen untuk nyeri dan fungsi gerak.

Terlebih lagi, dua penelitian pada pasien osteoartritis menunjukkan efikasi yang lebih baik dari OAINS dibanding asetaminofen, meski banyak pasien masih menggunakan asetaminofen. Dan, walau banyak pasien yang tidak mengalami pengurangan nyeri dengan menggunakan asetaminofen, walau dengan dosis penuh sekali pun, asetaminofen tetap digunakan sebagai lini pertama. Hal ini berdasarkan pertimbangan biaya yang dikeluarkan secara keseluruhan, efikasi dan profil toksisitas.

Bagi pasien yang tidak membaik dengan asetaminofen, bisa dipertimbangkan obat alternatif atau tambahan. Pilihan pengobatan dibuat dengan mempertimbangkan faktor risiko timbulnya efek samping, pada saluran cerna bagian atas dan ginjal. Sebab, penggunaan OAINS yang tidak terkendali, menyebabkan gangguan saluran cerna bagian atas, yang menjadi penyebab 20-30% pasien usia 65 tahun ke atas menjalani rawat inap dan meninggal.

Tabel 2. Faktor risiko komplikasi gastrointestinal bagian atas.

  • Usia>65
  • kondisi medis komorbid Glukokortikoid oral
  • Riwayat penyakit ulkus peptikum
  • Riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas
  • Antikoagulan

Pada penderita osteoartritis lutut yang menderita nyeri moderat sampai berat, tidak merespon asetaminofen dan tidak ingin menggunakan terapi sistemik, penggunaan analgesik topical (seperti methylsalicylate atau krim capsaicin krim) bisa sebagai terapi tambahan atau monoterapi. Krim Capsaicin digunakan pada sendi yang nyeri 4 kali sehari. Penderita mungkin akan merasakan rasa terbakar, tapi jarang yang putus terapi.

Suatu tinjauan sistematik terhadap OAINS topikal, juga menunjukkan efikasi pada pasien osteoartritis. Hingga saat ini belum ada penelitian membandingkan OAINS dalam bentuk sistemik dan topikal. Pilihan pengobatan pada pasien dengan faktor risiko pada saluran cerna, dapat menggunakan penghambat COX 2 spesifik, seperti celecoxib dan refecoxib.

Celecoxib diketahui lebih efektif dari plasebo, dan memiliki efikasi setara dengan naproxen pada pasien dengan osteoartritis pinggul dan lutut. Rofecoxib juga terbukti lebih efektif dari plasebo, dan sama efektif dengan ibuprofen dan diklofenak pada pasien dengan osteoartritis pinggul atau lutut.   Beberapa penelitian menggunakan endoskopi menunjukkan, celecoxib dan rofecoxib lebih sedikit menyebabkan ulkus gastroduodenal daripada obat OAINS pembandingnya, dan sebanding dengan plasebo. Data ini menunjukkan kelebihan profil keamanan penghambat COX2 selektif dibanding non selektif, terutama pada pasien berisiko tinggi.