Ethicaldigest

Interaksi TB – HIV 2

Konseling HIV pada penderita TB

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB, sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.

Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda, yang  diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat  risiko tinggi terpajan HIV. Jadi, tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:

  1. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV.
  2. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan.
  3. MDR TB / TB kronik.

Manifestasi klinis tuberkulosis pada HIV

Di awal perjalanan penyakit, secara klinis gejala-gejala TB adalah tipikal. PPD biasanya positif, foto dada tipikal menunjukkan gambaran paru lobus atas, TB ekstra paru jarang ada, mikobaktremi tidak ada, adenopati hilus/ miastenum tidak ada, dan efusi pleura jarang ada. Namun, pada fase lanjut, tampilan klinis tidak menunjukkan gejala tipikal. PPD biasanya negatif, foto dada atipikal, gambaran paru lobus bawah atau tengah, TB ekstra paru sering atau banyak, mikobakteremia ada, adenopati hilus/ mediastinum ada, dan efusi pleura sering. Lihat tabel 1.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. BTA dilakukan 3 kali, lalu dilakukan kultur dan identifikasi. ”Hasil negatif dari satu kali pemeriksaan BTA, belum bisa menyingkirkan TB,” ucap dr. Adria.

Jika hasil pemeriksaan BTA positif, pengobatan perlu diberikan. Kultur darah yang positif, 20-40% ada koinfeksi antara HIV dengan tuberkulosis. Proporsi pasien dengan tuberkulosis paru yang mempunyai smear BTA positif. Dalam suatu publikasikasi terlihat bahwa pada HIV negatif, smear BTA positif tinggi. Tapi, pada awal HIV lebih rendah. Dan, saat HIV sudah lanjut, temuan BTA positif lebih rendah.

Tabel 1. Gambaran klinis HIV-TB

  Infeksi dini (CD4>200/mm3) Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier / interstisial
Adenopati hilus/ mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada

Pengobatan OAT pada TB-HIV

“Penting untuk memberi terapi yang lengkap, pada penderita TB dengan HIV,” ucap dr. Andria Rusli, SpP. Kombinasi terapi TB sama seperti pada pada pasien HIV negatif. Kecuali, jangan gunakan rifampisin atau rifambutin 2x seminggu, jika jumlah sel CD4 kurang dari 100 sel/ mikroliter. “Waspada terhadap interaksi obat dan reaksi paradoksikal,” kata dr. Andria. Paling sedikit, terapi diberikan selama 6 bulan. Pada kasus tertentu diberikan hingga 9 bulan.

Mulai terapi antiretroviral pada semua pasien tuberkulosis HIV, berapa pun jumlah CD4-nya. Mulai dengan terapi tuberkulosis, dilanjutkan dengan terapi antiretroviral sesegera mungkin. “Gunakan EFV jika ODHA sedang dalam terapi tuberkulsis. Jika tidak ada EFV, bisa digunakan NVP (2 minggu pertama 200mg/ hari. Selanjutnya, 2 x 200 mg).

Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS, terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan. Karenanya, dosis standar obat anti tuberkulosis yang diterima suboptimal, sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV, harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada.

Interaksi TB – HIV