Ethicaldigest

Dokter Harus Terampil Kenali Hiperkoagulasi

Tingginya risiko hiperkoagulasi pada orang lanjut usia (lansia), menempatkan kelompok usia ini berisiko tinggi mengalami stroke, DVT dan emboli paru. Antikoagulan merupakan terapi sekaligus pencegahan trombosis, yang sama efektifnya bagi lansia. Ada beberapa hal harus dipertimbangkan dalam pemberian antikoagulan pada lansa.

Lebih jauh mengenai terapi hiperkoagulasi dan terapi antikoagulan pada lansia, Vitra Hutomo dari ETHICAL DIGEST mewawancarai dr. Cosphiadi Irawan,Sp.PD-KHOM, dari Divisi Hematologi dan Onkologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Indonesia.

Hiperkoagulasi merupakan salah satu masakah hemostasis pada lansia. Masalah apa lagi yang ditemukan pada kelompok usia ini?

Yang juga sering terjadi adalah kekurangan faktor pembekuan, menyebabkan lansia sering biru biru. Satu penyebabnya adalah masalah permeablitas pembuluh darah, yang sudah mulai renggang. Penyebab lainnya, kerusakan fungsi hati. Faktor pembekuan darah dibentuk di hati, sedangkan fungsi hati pada lansia menurun. Bisa karena hepatitis, usia, atau obat-obatan. Ini menyebabkan penderita mengalami kekurangan faktor pembekuan darah. Akhirnya darah menjadi encer. Jika ada luka di lambung, perdarahan akan terus terjadi.

Bisa jelaskan pengertian hiperkoagulasi?

Kalau bicara terkait hiperkoagulasi atau darah kental, definisinya adalah kecenderungan terbentuknya trombosis, yaitu sumbatan di pembuluih darah, baik pembuluh darah arteri atau vena.

Faktor risiko apa yang menyebabkan lansia  cenderung hiperkoagulasi?

Kita mengenal adanya faktor predisposisi atau faktor risiko. Antara lain usia. Kita memakai patokan lebih muda dibanding luar negeri. Di luar negeri, disebut lansia jika berusia diatas 65 tahun. Di Indonesia, lansia adalah diatas 60 tahun. Pada lansia, pembuluh darahnya mengeras dan mengecil, dan mobilisasinya sudah berkurang. Salah satu yang kita anggap faktor risiko hiperkoagulasi adalah imobilisasi. Misalnya, jika pasien tiduran lebih dari 24 jam, dia sudah berada dalam hypercoagulable state. Apa beda hiperkoagulasi dengan hypercoagulable state? Hiperkoagulasi dikaitkan dengan hasil laboratorium.

Banyak faktor pada lansia untuk hipergoagulasi, hiperkoagulabel state, atau trombofilia atau kecenderungan terjadi trombosis, mulai penggunaan obat-batan oral, operasi, cancer dan dehidrasi. Jadi banyak sekali.  Faktor predisposisi dibagi dua; faktor yang memang sudah ada, seperti diabetes, obesitas dan kekurangan faktor pengencer darah. Ada faktor yang didapat, misalnya infeksi, operasi, dan dehidrasi.

Seharunya, obat pengencer darah diberikan sejak usia berapa, karena risiko hiperkoagulasi meningkat seiring bertambahnya usia? 

Bicara mengenai sumbatan pembuluh darah, ada dua hal. Sumbatan aliran darah di arteri menyebabkan seragan jantung, stroke atau penyakit arteri perifer. Sumbatan pembuluh darah di vena bisa berupa trombosis vena dalam dan emboli paru. Jadi, menyumbatnya di pembuluh darah balik.

Soal mulai usia berapa, tergantung. Kalau dari kecil sudah punya kecendrrungan hiperkoagulasi dan hasil laboratorium memiliki darah kental, dia harus minum obat. Contohnya, tiba-tiba dia tidak bisa melihat, karena tersumbat pembuluh darahnya atau tiba-tiba tidak bisa mendengar. Mungkin dia punya satu antibodi, namanya antiphospolipid syndrome.

Bagaimana penggunaan antikoagulan pada lansia?

Antikoagulan pada lansia sama efektif dan aman. Tapi jangan sampai kita berikan dosis kurang, sehingga pembuluh darah tidak terbuka. Kita juga harus memikirkan terapi yang aman bagi pasien. Karena itu, terapi pada masing-masing pasien harus tailored made, harus secara individual. Dilihat, apakah pasien memiliki gangguan ginjal atau adakah riwayat perdarahan dalam 6 bulan.

Prinsipnya, kalau mau efektif dan aman, kita lihat pada lansia adakah kecenderungan gangguan ginjal. Kemudian, apakah ada riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat hipertesi, kepatuhan pasien bagus atau tidak, pengaturan dosis dan sebagainya.

Sebenarnya, pada lansia tidak harus ada gangguan fungsi ginjal. Tapi pada lansia fungsi ginjal mulai menurun, sedangkan semua obat dibuang melalui ginjal. Kita perlu melakukan penyesuaian dosis. Biasanya, dosisnya dikurangi. Hal-hal seperti ini disesuaikan dengan risiko perdarahan pada pasien. Ada kriteria tertentu untuk mengukur risiko. Di antaranya usia diatas 75 tahun dan ada riwayat muntah darah.

Apakah risiko perdarahan bisa dikurangi dengan mengombinasikan dengan obat lain?

Tidak. Pasien datang dengan sumbatan pembuluh darah, tapi dia mengalami dusfungsi ginjal, gemuk dan mengalami tirah baring lama; apa obatnya? Tentu diberikan obat yang bekerja cepat. Tidak bisa diberikan obat yang kerjanya lama. Kita berikan unfractionated heparin. Kemudian kita berikan dosis penyesuaian dengan monitor setiap 6 jam. Tercapai atau tidak. Baru kemudan dievaluasi. Kalau tercapai dosis, kita bisa ubah ke obat oral. Karena ada beberapa obat yang sifatnya oral, yaitu vitamin K antagonist, seperti warfarin, caumarin dan ada obat new oral antikoagulation atau NOA. Sejauh fungsi ginjal masih diatas 30% masih boleh, tapi dosis harus dikurangi.

Di Indonesia, semua lansia yang rawat inap mendapat antikoagulan?

Kalau saya, begitu risiko trombosisnya besar harus diberikan. Kalau di luar negeri, semua kasus pasien penyakit kritis yang harus dirawat cenderung hypercoagulable state. Mereka semua harus mendapat antikoagulan. Di indonesa, karena masalah kemampuan maka dokter harus menimbang-nimbang, mana pasien yang harus mendapat antikoagulan.

Semua pasien cenderung mengalami hiperkoagulasi. Ada yang risiko tinggi, risiko menengah dan risiko rendah. Risiko rendah tidak perlu diberi antikoagulan. Risiko menengah, misalnya dia operasi lutut atau operasi tulang panggul, tanpa melihat lama perawatan harus dikasih. Kalau lansia dirawat karena pengangkatan tumor di paha, kemudian lama peratan kurang dari 24 jam, dikasih  atau tidak? Kita hitung risiko, ternyata fisiknya bagus, saya cenderung tidak kasih, karena tidak sampai 72 jam. Dengan mobilisasi, pasien bisa bagus.

Namun, kadang yang tadinya risiko menengah, karena harus dirawat 5 hari, maka harus dikasih antikoagulan. Begitu risiko tinggi, tapa melihat apa pun harus diberikan antikoagulan. Misalnya tiga bulan lalu pernah mengalami penyumbatan pembuluh darah, menjalani operasi ortopedi atau mengalami gagal jantung. Itu risiko tinggi, tanpa melihat lama perawatan sudah harus diberi antikoagulan.

Pemberian antikoagulan tidak ditanggung asuransi?

Tergantung dokternya, asuransi akan berdosa kalau dokter sudah menganjurkan pemberian antikoagulan, tapi asuransi tidak mengkover. Dokter harus tahu kalau pasien ini risiko tinggi atau menengah cenderung tinggi; dokter harus memberikan.

Apa implikasi klinis dari hiperkoagulasi?

Menurunkan kualitas hidup. Kasus hiperkoagulasi seperti fenomena gunung es. Penderita yang bergejala, hanya sedikit dari sekian banyak penderita hiperkoagulasi tanpa gejala. Banyak yang tidak bergejala tapi sudah mengalami sumbatan. Kalau dibiarkan, dia bisa meninggal. Kalau yang kelihatan, bisa bengkak pada kaki. Kalau ada bengkak pada kaki, sekitar 40% ada emboli yang lepas, dan masuk paru-paru. Ini menyebabkan sesak, batuk darah dan macam-macam. Bisa syok dan seterusnya. Ini semua berujung pada penurunan kualitas hidup dan menurunnya angka harapan hidup.

Apa efek samping pemberian antikoagulan?

Efeknya perdarahan dan kebanyakan osteoporosis. Bagaimana mencegahnya? Pemahaman mengenai risiko trombosis dan perdarahan sangat penting. Dengan anamnesis yang baik, kita sudah bisa memilah 50% kasus perdarahan. Misalnya, dicari tahu pasien menggunakan obat apa saja, lalu dilihat apakah ada riwayat luka dan perdarahan yang tidak kering-kering, atau pasien pernah cabut gigi dan ada perdarahan yang tidak berhenti. Kemudian dilihat fungsi ginjal dan hatinya. Ini semua harus dievaluasi, sehingga risikoya bisa diminimalkan. Tapi, pemberian antikoagulan berarti membawa pasien berada dalam kondisi cair, pasti ada risiko. Mana ada obat yang 100 persen bebas efek samping.

Jadi pada kondisi tertentu, obat ini harus dihentikan?

Kalau sudah biru-biru, gusi berdarah dan mimisan, pemakaian obat harus dihentikan. Kita monitor dengan melakukan pemeriksaan INR, targetnya adalah 2-3. Kalau di luar negeri, seperti Belanda, pasien sudah mandiri. Mereka cek sendiri ke laboratorium dan kemudian melapor ke dokter. Di Indonesia, pasien belum teredukasi. Istilah INR saja masih asing. Jadi daripada repot, kita bilang, ”Bu, hari Jumat periksa, hasilnya SMS ke saya. Nanti ibu baca lagi, Senin kurangi setengah tablet, Selasa pertahankan, Rabu kurangi setengah tablet lagi”.

Kepatuhan pasien terkait masalah kebiasaan, intelegensia, dan sebagainya. Jadi tidak berani kita lepas pasien ini. Kita perlu pendamping. Bila tidak ada pendamping, sementara pasien harus ke rumah sakit, minta bantuan orang laboratotrium untuk melaporkan ke kita. Kitai cari jalan  supaya pasien aman.

Ini bicara di jakarta. Bagaimana di Lebak, Banten, di mana hasil laboratoriumnya saja baru 3 hari keluar. Sedangkan INR-nya sudah berubah. Belum lagi kalau bicara Ambon atau Papua. Dokter indonesia itu bagus, bisa menyesuakan kondisi di lapangan. Mereka tetap memberi penanganan, meski dengan keterbatasan dengan menggunakan kearifan lokal. Itu artinya, mereka harus benar-benar mumpuni. Selama interval, dari pemeriksaan hingga hasil keluar, dokter bekerja dengan klinis. Dilihat, apakah ada rasa hangat, nyeri dan adakah perbedaan ukuran kaki kanan dan kiri. Kalau risiko tinggi, berikan antikoagulan.